istanbul-karya-orhan-pamuk

Wajah Masa Lalu dan Kebohongan Lainnya

Membaca Istanbul seperti merasakan lagi kemurungan Turki yang pernah dia tulis dalam bukunya Snow (dalam keheningan salju). Ibaratnya Orhan Pamuk sedang menyanyikan kesedihan yang sama dari dua lagu berbeda. Jika di dalam Snow ada seorang penyair melankolis bernama Ka yang selalu murung karena diliputi kegundahan misterius selama di Kars maka dalam Istanbul Pamuk melihat dirinya sendiri sedang berkabung untuk reruntuhan kotanya

Dan untuk dua kemurungan tersebut, salju menjadi elemen penting yang digunakan Pamuk. Dalam dua novelnya, baik snow maupun Istanbul salju menjadi media untuk memerangkap setiap tokoh kedalaman kemurungan. Sebuah paragraf yang saya suka dari Orhan Pamuk dalam tulisannya mengenai Istanbul berbunyi ‘Yang paling kusukai dari salju adalah kekuatannya untuk memaksa orang-orang melampaui diri mereka sendiri dan bertindak sebagai satu kesatuan; terputus hubungan dari dunia luar, kami terdampar bersama-sama.

Dengan membicarakan salju, Pamuk menggiring pembacanya pada gambaran mengenai rumah-rumah yang menggigil, daun jendela tertutup, pohon yang gemetar; semuanya dalam warna hitam putih yang sama. Warna hitam putih telah menjadi warna yang konstan dalam ingatan Pamuk mengenai Turki di mana semua yang tampak dari sisa kejayaan kesultanan Usmani hanya akan berkisah kembali mengenai kekalahan, kehancuran, kesedihan, kemiskinan dan kehilangan. Pamuk kecil akan menghadapi kegundahan Istanbul, yang seolah hendak menghapus kenangan lama kota mereka yang pernah diramal bakal menjadi ibu kota dunia; seperti seorang kekasih yang membuang seluruh kenangan usai putus cinta. Dengan cara demikian, Pamuk mengingat kota kelahirannya. Istanbul suatu masa pernah gemerlap,    sebelum kesultanan Usmani jatuh (dan ibu kota Turki dipindahkan ke Ankara).

Di masa lalu yang didekatkan oleh kenangan-kenangan, kota ini berdiri agung dengan nama Konstaninopel. Di sana ada selat Bosphorus yang sarat dengan kapal-kapal, menjadi perairan sangat sibuk. Pamuk mengingat ketika dia dan ibunya berjalan-jalan melintasi perairan Bosphorus dia masih bisa melihat Yali-yali yang berdiri kokoh di tepi air, dengan sisa kemewahannya namun dindingnya sudah berlumut dan tampak seperti lelaki tua yang kehilangan masa muda.

istanbul-wajah-masa-lalu-orhan-pamuk

Sumber gambar: bookabookofticket

Istanbul sudah menjadi titik temu antara Asia dan Eropa, menjadikannya sebagai pusaran yang menarik segala hal yang berbau timur dan berbau barat teraduk di dalamnya. Istanbul di tepi Bosphorus adalah sesuatu yang Asia tetapi berbau Eropa. Pamuk menggandeng Melling untuk kembali pulang melihat Bosphorus yang lama. Melling lahir di Jerman tetapi telah menghabiskan banyak tahun hidupnya di Istanbul, dan ketika membuat lukisan tentang kota itu di kemudian hari Pamuk mengklaimnya sebagai pelukis yang paling tepat.

Bila salju mendekatkan Orhan kecil pada kemurungan kotanya saat itu, Melling adalah sosok yang mendekatkan Pamuk kepada sesuatu yang jauh dari tempatnya dia berpijak kini. Dari semua pelukis (pelukis barat yang melukis tentang Istanbul) ada sikap yang jelas dari Pamuk kenapa lebih memilih Meling untuk melihat masa lalu Istanbul. Bagi Pamuk, dari semua penulis barat yang melukis Bosphorus hanya Melling yang paling meyakinkan. Lukisan-lukisan Melling diyakininya begitu bernuansa, terasa kebenarannya sehingga membuat Pamuk merasa bersedih menyadari apa yang dilukis adalah sesuatu yang lampau, sebuah kejayaan yang menjadi kenang-kenangan pahit (bukan lagi suatu kebanggaan).

Pamuk bilang, Melling melukis sebagai ‘orang dalam’. Dia mengetahui banyak seluk-beluk dan detil, setiap sudut dan puncak, sehingga ketika dia melukis lukisannya tidak mengada-ada. Dalam hal menyanjung karya engraving Melling, Pamuk telah membandingkannya dengan karya-karya pelukis barat lainnya yang menurutnya terlalu dramatik atau sentimentil. Melling menyukai perspektif tetapi tidak pernah dramatis. Meskipun saat itu tengah bertiup dari Barat gerakan romantisme dalam hal intelektual, seni dan sastra; Melling sepertinya tidak tertarik. Dia tidak pernah mencoba melukis untuk mengisahkan kisah lampau yang dahsyat dan emosional atau yang getir dan menyentuh kalbu (penderitaan karakter.)

Pamuk menyebut, ketepatan engraving karya Melling sangat mengejutkan. Melling tidak punya fokus dalam setiap lukisannya, setiap objek mempunyai porsi yang sama, dengan detail yang menakjubkan. Sehebat apa pun monumen dan semegah apapun sebuah pemandangannya Melling tidak pernah membiarkannya mendominasi lukisan-lukisan. Melling tidak menjebak orang dalam fantasinya sendiri. Berkat ketepatan Melling, Pamuk bakal mampu memisahkan mana yang hilang dan mana yang masih tersisa; tiap detail mengenai topografi, air mancur, sudut bangunan atau alun-alun.

Pada akhirnya saya melihat Melling mirip sebuah anjuran tentang tidak menggurui pembaca atau tentang cara menulis cerita yang tidak sentimentil, dramatisir dan fokus yang dibuat-buat untuk mendapatkan efek tertentu. Seperti kata pamuk, Melling mewakili cara ‘orang dalam’ untuk menggambarkan sebuah negeri yang pernah gemilang sebelum padam. Membaca Istanbul, menghantar saya pada negeri sendiri. Memang Indonesia tidak semurung Turki (Jakarta bukanlah Istanbul yang pernah megah). Tetapi ada aspek yang sama tentang sejarah yang bisa saja didramatisir dan dimelankoliskan. Andaikan Pamuk tidak mengenal lukisan Melling, barangkali dia seperti kita saat ini; kehilangan sentuhan masa lalu yang sesungguhnya. Terjebak oleh romantisme yang mengaburkan detail-detail pentingnya.

Catatan kecil;

  1. Buku ini belum selesai dibaca.
  2. Saya baru tahu usai membaca buku ini bahwa Turki pernah beribukotakan Istanbul sebelum Ankara. Dan kota Istanbul pernah punya nama sebagai Konstantinopel. Jadi, saya baru tahu kalau Konstantinopel itu adalah nama lain dari Istanbul.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan