Di antara para bapak republik yang jatuh bangun mendirikan Republik Indonesia, Tan Malaka, paling tidak bisa dikatakan sebagai sosok yang paling angker, legendaris atau bahkan terlupakan. Selain karena memang hampir separuh hidupnya diwarnai dengan pelarian di pelbagai negara, tendensi pemikiran radikal kiri (Marx-Lenin) Tan cukup untuk melegitimasi orde baru mencampakkannya ke lembah keterlupaan. Namun, Tan punya peran penting bagi republik ini, terutama lewat pemikirannya yang brilian dan kaya gagasan filosofis. Tulisan ini mengenang Tan Malaka dan sekadar membongkar ingatan kita akan jasa Tan Malaka bagi republik ini serentak melawan sindrom amnesia kolektif akan sosok Tan yang acap kali diindoktrinasi oleh pemerintah Orba selama 32 tahun.
Sosok Misterius
Tan Malaka memang sosok yang misterius. Mendiang peneliti LIPI, Dr. Alfian, pernah menyebutkan bahwa Tan Malaka yang lahir 2 Juni 1896 di Nagari Pandan Gadang, Sumatra Barat adalah tokoh yang rumit (Alfian, 1978:132). Tokoh ini rumit karena tak banyak yang mengenalnya dari dekat atau bertemu muka secara fisik. Perkenalan banyak tokoh pergerakan kemerdekaan dengan Tan justru lebih banyak terjadi secara intelektual, melalui pelbagai tulisannya seperti Madilog atau memoarnya Dari Penjara ke Penjara serta karya-karya tulisnya yang lain. Kenyataan ini cukup untuk menempatkan Tan sebagai sosok yang misterius dan legendaris.
Perjalanan hidup Tan memang penuh dengan drama dan misteri. Tan memulai petualangannya ke luar negri pada usia belia. Selama enam tahun ia studi di negri Belanda. Ketika kembali ke Indonesia, Tan sebenarnya memperoleh tempat kerja yang bagus di Deli sebagai seorang guru di perkebunan teh. Namun, nuraninya kemudian memberontak terhadap segala kemapanan yang telah ia peroleh. Akibat sikap radikalnya terhadap penjajah Belanda dan pilihan politiknya sebagai seorang Marxis, Tan kemudian 20 tahun hidup mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hongkong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Ranggon, Singapura, Penang, kembali ke Indonesia.
Tan mahir menyamar dan menguasai bermacam-macam bahasa. Kelebihan ini membuat ia dengan mudah tinggal di daerah-daerah pelariannya. Namun, walau berada di luar negri, hati Tan tetap terarah ke Indonesia. Ketika ia akhirnya bisa masuk ke Indonesia, Tan langsung berupaya menemui para pelopor kemerdekaan kala itu. Ia dekat dengan beberapa pemuda dan disinyalir berhasil mengorganisasi masa untuk ikut dalam peristiwa proklamasi tahun 45. Namun, dinamika politik memang tak pernah dapat diduga. Sikap menentang pemerintahan kala itu berbuah pahit.Tan Malaka, yang menyuarakan kemerdekaan 100% dan menolak sikap konformistis Sjahrir akhirnya dieksekusi begitu saja pada 16 April 1949. Sungguh ironis, karena sosok yang justru dengan sekuat tenaga berupaya bagi kemerdekaan Indonesia dan selalu lolos dalam pelarian di luar negri justru akhirnya harus kehilangan kepala di negri sendiri.
Marxisme Vs Nasionalisme
Selama hidupnya, dalam diri seorang Tan Malaka terdapat tegangan yang unik. Ia adalah seorang Marxis-Leninis tulen; tetapi ia pun seorang nasionalis sejati. Sebagai seorang marxis, Tan seorang yang sangat radikal dalam berpikir. Ia melahap habis semua literatur kiri dan menulis sebuah buku yang berdasarkan konsep marxis-Lenninis yang berjudul Madilog (materialisme, dialektika dan logika). Dalam praktik, Tan adalah seorang anggota partai Komunis Indonesia. Ia juga bahkan, dalam pelariannya ke Belanda pernah menjadi calon kuat nomor tiga dalam partai komunis Belanda
Namun, Tan adalah seorang Marxis yang kontekstual, tidak fundamental. Ia lebih nasionalis daripada Marxis. Hal ini tampak dalam pelbagai sikap yang diambilnya ketika harus memilih untuk memihak negaranya atau partai yang dibelanya. Dalam segala situasi dilematis, Tan selalu mantap memilih mendahulukan yang kedua. Sikap Tan ini tampak dalam pandangannya yang ingin menggagas kerja sama dengan Pan-Islamisme jika ingin mengusir kolonialisme Belanda dari Indonesia. Gagasan ini sangat riskan sebab seluruh keluarga besar komunis yang berpusat di Uni Soviet telah sepakat bahwa Pan-Islamisme merupakan salah satu produk kapitalisme, dan karena itu bekerja sama dengan mereka adalah sebuah larangan keras. Namun, Tan melawan. Ia bahkan mengusulkan gagasannya ini dalam pertemuan komitern di Moskow.
Tampak secara jelas, sikap Tan ini menjelaskan komitmen jelasnya akan Indonesia. Tujuan absolutnya jelas dan tegas: menutup buku kolonialisme selamanya dari bumi pertiwi. Marxisme dan partai komunis hanya salah satu sarana untuk menggapai tujuannya ini.
Madilog
Untuk merealisasikan gagasannya ini, Tan melakukan banyak hal. Salah satunya adalah dengan menulis. Tan adalah penulis yang produktif dan punya ketrampilan menulis yang baik. Bukunya yang paling fenomenal dan paling jelas serta orisinal dalam menyuarakan gagasannya untuk Indonesia ialah Madilog. Menurut Magnis-suseno, madilog merupakan karya Tan yang paling orisinal. Bukan semacam “ajaran partai” atau ideologi proletariat, melainkan cita-cita dan keyakinan Tan sendiri. (Magnis-Suseno, 2006:165).
Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) memang merupakan sintesis seluruh perjuangan Tan untuk Indonesia. Dalam buku ini, Tan secara lugas mengkritik paradigma berpikir orang Indonesia yang masih kolot karena masih percaya akan hal-hal gaib. Orang indonesia masih berkutat dengan keterbelakangan karena secara dogmatis menerapkan “logika mistika” dalam menjalani kehidupan. Pemikiran menurut alam gaib inilah yang menurut Tan harus dibongkar dengan menerapkan secara holistik filsafat dan sains. Melalui pemikiran logis dan diakletis, Tan yakin Indonesia niscaya akan mampu mengusir penjajah secara tuntas. Kemerdekaan yang paling utama yang didambakan Tan adalah kemerdekaan dari keterbelengguan intelektual dan mental. Kebebasan untuk berpikir merupakan langkah paling awal dari terwujudnya masyarakat Indonesia yang merdeka dan sejahtera dalam pelbagai elemen kehidupan.
Namun, Tan mati ketika revolusi Indonesia masih seumur jagung. Ia bahkan belum benar-benar bisa mengalami hidup negara secara lebih jauh yang begitu ia cintai. Kalau seandainya ia masih hidup kini, apakah “merdeka 100%” yang didambakannya sudah tercapai? Kita mungkin bisa mereka-reka bahwa Tan pasti akan menjawab “belum”. Indonesia masih belum merdeka dalam pelbagai hal. Penjajahan modern dalam bentuk pengerukan sumber daya alam oleh investor asing, mafia korupsi, manipulasi hukum, serta ketidakadilan struktural masih menghantui masyarakat Indonesia kini. Kemerdekaan tidak lebih daripada upacara-upacara formalistik dan ritualistik pada setiap tanggal 17 Agustus atau seruan-seruan sloganistis yang hampa makna. Nyatanya, belenggu kemiskinan dan penderitaan rakyat masih terus menghiasi bumi pertiwi. Boleh jadi, untuk benar-benar merdeka 100% dari tangan para penjajah, kita butuh tokoh kuat dan konsisten seperti Tan Malaka. Namun, kini, setelah 71 tahun Indonesia merdeka, masih adakah sosok seperti Tan di bumi pertiwi?
Belum ada tanggapan.