Saya selalu terngiang dengan kisah yang ditulis oleh Paulo Coelho yang dikutip oleh Sitok Srengenge [2012]. Alkisah seorang bocah menyaksikan neneknya sedang menulis sepucuk surat. Seketika si bocah bertanya, ” Apakah Nenek menulis tentang apa yang telah kita kerjakan? Apakah itu cerita tentang aku?”
Sang Nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya ; “Nenek memang menulis tentang kamu, tapi yang lebih penting daripada cerita ini adalah pensil yang Nenek gunakan. Nenek harap ketika dewasa kamu akan seperti pencil ini.” Nenek pun mengisahkan keistimewaan pensil.
Pertama, kamu berbakat menghasilkan sesuatu yang hebat, tapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing langkahmu. Kita sebut itu tangan Tuhan, dan dia senantiasa membimbing kita sesuai kehendak-Nya. Kedua, sekarang dan nanti Nenek harus berhenti menulis dan menggunakan sebuah rautan. Itu akan membuat pensil ini sedikit menderita, tapi setelah itu ia akan lebih tajam. Kamu juga begitu, harus belajar menahan sakit dan derita. Agar kamu menjadi pribadi yang lebih baik. Ketiga, pensil ini mengingatkan agar kita menggunakan penyetip untuk menghapus kesalahan. Artinya, mengoreksi segala yang telah kita lakukan bukanlah hal buruk. Keempat, apa yang berharga dari sebuah batang pensil terletak pada grafit didalamnya. Maka selalu perhatikanlah apa yang ada dalam dirimu. Terakhir pensil selalu meninggalkan jejak. Maka sadarilah setiap tindakanmu.
Apa yang dikatakan Coelho seperti wejangan bagi seorang penulis pula. Kelima filosofi pensil itu adalah petuah yang sama bagi penulis.
Seorang penulis ibarat sebuah pensil. Ia hanyalah wayang. Pikiran, tangan dan juga idenya adalah dari Tuhan. Karena itulah, penulis mesti menyadari keterbatasannya. Seorang penulis tahu, tidak ada yang pantas disombongkan dari apapun yang telah ditulis.
Seorang penulis adalah seorang pembaca. Sebagaimana Coelho yang menggambarkan bahwa pensil mesti diraut agar makin tajam, penulis pun demikian halnya. St. Kartono dalam bukunya Menulis Tanpa Rasa Takut [2009], ia menuliskan kewajiban yang harus dijalani sebagai penulis. ” Membarui diri dengan buku, data, atau informasi mutakhir menjadi keharusan. Penulis musti rajin mengunjungi perpustakaan, toko buku, atau pajangan koran”. Ini adalah bagian dari mengasah kemampuan diri seorang penulis. Tanpa itu mustahil penulis bisa konsisten berkarya dan bertahan puluhan tahun.
Ide merupakan kekuatan seorang penulis. Ia ibarat ruh yang akan membuat tulisan menarik. Walau begitu, teknik juga adalah hal penting. Ide yang hebat tanpa teknik yang jitu bisa membuat orang kurang tertarik dengan tulisan kita.
Seorang penulis adalah seorang ikon di mata pembaca. Penulis yang berhasil menaklukkan pembaca bukan hanya akan dicari tapi juga dinanti karya-karyanya. Ia akan memiliki tempat spesial di ruang pembaca.
Zaman yang bergerak cepat tidaklah selalu harus dikejar dengan kecepatan pula. Tulisan menjadikan waktu berhenti bergerak. Ada jeda yang dihentikan sejenak dan diisi dengan aktifitas membaca. Disitulah ruang antara pembaca dan penulis bersua. Saat kata-kata dibaca dalam ruang digital maupun dalam bentuk cetak.
Kekuatan kata-kata ini pernah dituliskan oleh Sartre. Filsuf paling eksistensialis itu mempercayai satu kata tidak adalah sebuah sikap, sebuah pernyataan yang memiliki kekuatan.
Dalam hidup yang berjubel informasi palsu, penulis memiliki peran menjadi suluh. Di era derasnya arus kata kata yang dangkal, seorangpenulis adalah mata air.
Tulisan memiliki arti, dalam ruang singup ia memendarkan cahaya, membisikkan suara. Tetap bergerak walau sunyi, sepi. Ia diam diam menjadi riak gelombang, tanpa gemuruh memberikan pengaruh dan menyerang pikiran kita. Melawan opini publik, memberi sudut pandang lain, dan membuat orang lekas menolak atau mendukung.
Itulah mengapa Bertrand Russel mengatakan seorang penulis adalah seorang yang berpolitik sekaligus. Ia mengajukan argumen penting dan menginterupsi gagasan lain.
Dalam ruang pikiran itulah, ada ruang dialektik antara setuju dan tidak setuju, antara ide umum dengan ide privat, antara realitas dan gagasan. Tulisan dengan demikian adalah sebuah ruang keadaban. Dari tulisan lahir laku, lahir dialog yang membuat peradaban manusia penuh dengan gemuruh perubahan perlahan atau cepat. Dari perubahan itu, seorang penulis memang tak tampak, namun ia ada, hadir sebagai penyeru, sebagai penyiar, sekaligus sebagai yang didengar saat semua orang diam.
Belum ada tanggapan.