Ketika ada acara pelatihan menulis bersama guru-guru di SD Muhamadiyah Banyudono, ada pertanyaan yang boleh dibilang “klise” dari salah satu guru “ bagaimana memulai hal ini (menulis)?”. Bila mengingat pertanyaan itu, aku jadi ingat apa yang pernah dikatakan Radar Panca Dahana : “ apa yang kita alami semenjak bangun tidur sampai tidur lagi begitu banyak, tapi kita sendiri membatasi apa yang kita terima, karena itulah, menulis bukan hanya sebagai cara untuk menyeleksi yang banyak itu, tetapi juga merawatnya”.
Cara yang paling sederhana dari itu adalah menulis keseharian sebagaimana yang ditulis Edgar Keret (2016) di bukunya yang berjudul The Seven Good Years, buku diterbitkan penerbit Bentang Yogyakarta. Buku ini diberi pengantar oleh Eka Kurniawan. Buku ini menarik bukan hanya karena tulisannya begitu lancar dan mengalir, tetapi juga mampu menembus batas-batas yang politik, yang pribadi, yang privat dan publik.
Edgar punya cara tersendiri untuk memberikan kritik, untuk memberikan pandangannya tentang situasi yang ia alami dan mungkin orang lain juga mengalaminya. Meskipun ia adalah seorang keturunan Yahudi, ia tak merasakan ada yang berbeda dengan yang lain ketika ia membicarakan tentang kepercayaannya.
Kita akan menemukan bagaimana Edgar bercerita tentang perjalanannya keliling dunia bersama buku yang ia tulis, kita bakal disuguhi konflik antara penulis dengan istrinya yang disebabkan karena sopir taksi yang dibawa Edgar masuk ke toilet di rumahnya saat istrinya tak sedang memakai pakaian lengkap.
Ada juga kisah Edgar yang menautkan apa yang terjadi dengan anaknya, komentar-komentarnya, hingga kisah Edgar yang tersisih dari gosip perempuan di taman karena ia seorang lelaki sendiri.
Inilah mengapa buku ini diberi tagline “memoar”. Memoar memang lebih intim, lebih merembes dan asali. Saat penulis sedang menulis tentang peristiwa, tentang kesehariannya, saat itulah sebenarnya penulis sedang mencapai yang tak selesai, meski pendek. Esai-esai Edgar memang pendek-pendek, tapi esai pendeknya tak kehilangan daya dobrak untuk menghantam apa yang ada di kehidupannya, di sekitarnya, bahkan dunia yang dihadapinya.
Aku jadi ingat tatkala guruku Dewi Candraningrum dulu pernah mengisahkan kalau orang barat sering membuat catatan harian, melalui catatan harian itu pula barat bisa menjadi maju. Sebab buku-buku yang hadir justru sering dari catatan harian. Dari catatan harian itulah, kejujuran mengalir, dan permenungan dan kedalaman ada di sana.
Itu pula yang saya rasakan saat Murakami menuliskan memoarnya dalam buku berjudul What i talk about, When i talk about, Running (2016) yang kebetulan diterbitkan oleh penerbit Bentang juga. Murakami mengisahkan kehidupannya sebelum menjadi tenar seperti sekarang. Ia merasakan perubahan yang langka saat ia memutuskan mesti mendidik tubuhnya sendiri. Bersama itu pula, pikirannya dan juga perasaan-perasaannya menjadi lebih tertata.
Ia juga bisa merasakan bagaimana ketika berlari justru membuat ide-ide bertebaran, sekaligus membuat tubuhnya terpacu untuk lebih kuat dan menyelesaikan garis finish. Tak main-main, lari yang ia lakoni tiap harinya, ia targetkan pula ikut lomba di setiap tahunnya.
Kita selaku pembaca jadi tahu, Haruki Murakami, penulis ampuh itu, ternyata melakoni aktifitas yang cukup berat meski usianya sudah tua. Aku jadi ingat tatkala istriku melahirkan putriku. Setelah kelahiran, aku jadi kembali ke aktifitas yang dulu pernah aku alami. Kini, aku mesti menggunakan motorku melaju dari rumah sampai tempat kerja. Perjalanan kutempuh dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. Maka hal ini menuntutku untuk berangkat lebih pagi.
Ini berbeda tatkala aku masih menghuni kontrakan, perjalanan cuma sekitar lima menitan. Dan aku merasakan perbedaan yang jauh. Jantungku menjadi memompa lebih segar, udara di pagi hari memicuku untuk bernafas lebih bebas. Berbeda tatkala di Kartasura, pagi sudah disesaki asap kendaraan, dan udara jadi tak bersih lagi.
Ternyata, menikmati pagi bisa membuat pikiran dan hati kita menjadi lebih tenang. Terlebih saat di jalan, aku merasakan betul, bahwa orang Indonesia ternyata selalu dan tetus bergerak. Saat di jalan itulah, aku menemukan, bahwa kita tak pernah ingin kalah dan mengalah, meski nyawa taruhannya.
Maka aku pun menjadi heran, tatkala para penguasa kita begitu inlander saat menghadapi dunia luar sana. Optimisme tak hanya dibangun dari dalam jiwa, saat itulah kita mesti optimis.
Begitu pula pengalaman saat aku menyaksikan kejadian sepulang memberikan materi di pelatihan menulis di SD Muhammmadiyah Banyudono (24/9/2016). Di jalan raya, perempatan Juwiring, aku menyaksikan keberanian dua anak muda yang berkendara.
Mereka boleh dibilang masih pelajar seumuran SLTP. Motornya sudah dibuat acak-acakan (tak utuh) lagi. Ketika lampu merah, aku pun menyempatkan berhenti, tapi dua remaja ini dengan nekatnya dan dengan beraninya terus melaju, saat dari arah berlawanan ada truck yang hendak belok, maka dua remaja ini pun sekarat dan pingsan.
Aku membandingkan antara para kaum dewasa yang bergegas di pagi hari demi mengejar asa mereka dengan dua remaja yang hampir tewas sia-sia ini. Bila kita meniru remaja yang hampir tewas ini, maka bisa dipastikan nasib kita pun tak bakal berumur panjang.
Jalanan mengajarkan kepada kita, bahwa aturan mesti ditaati. Keberanian mendahului, mengalahkan yang lambat bukanlah hal yang salah tatkala mentaati aturan. Atau sebaliknya, bila kita hendak melanggar dan mendahului nasib teman-teman kita, kita tak boleh seperti dua remaja tadi, melanggar batas dan aturan.
Di jalan kita juga bisa melihat bagaimana pemerintah kita sebenarnya tak serius mengurusi kita. Terbukti ketika jalan berlubang dibiarkan terus-menerus rusak. Padahal, negara lain tak terlampau sering membuat dan memperbaiki jalan. Sistem transportasi kita yang campur aduk membuat jalan menjadi tak awet.
Dan dari keseharian yang kita alami, ternyata kita bisa membincangkan politik, sosial, masyarakat, kebudayaan sampai kebijakan negara. Inilah barangkali mengapa esai keseharian merupakan esai yang tak ada tanda titik (tak selesai).
Marilah menulis keseharian kita, dengan misi bahwa tak selamanya perlawanan terhadap realitas dan ketidakadilan di sekitar kita dilawan dengan bersuara lantang. Barangkali dengan lirih, kita juga bisa menghantam kekuasaan, menghantam dan mendidik diri. Meminjam kata-kata dari Gao Xingjian : “Hanya tatkala perasaan-perasan si penulis sebagai seorang individual merembes di dalam karyanya, maka perasaan-perasaan itu akan bertahan dari terekam waktu dan terus hidup untuk waktu yang lama”.
Saya percaya, saat esai ditulis dengan hal yang tak jauh dari keseharian, saat itulah, kita bisa menemukan kedalaman, permenungan, dan refleksi yang lebih jauh dan memiliki kekuatan yang lebih besar dan lebih panjang jangkauan waktunya.
*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Penulis buku Ngrasani (2016)
Belum ada tanggapan.