Ini tulisan keempat dari rangkaian artikel ‘menulis flash fiction’. Lebih enak flash fiction atau fiksi kilat? Dan sampai tulisan keempat ini RetakanKata (RK) masih menggunakan istilah ‘flash fiction’. Ini menjadi sesuatu yang dilematis ketika di satu sisi banyak kawan kita yang sudah akrab dengan istilah flash fiction sementara di sisi lain, kita mestinya menggunakan kata yang barangkali sepadan dengan istilah tersebut.
Pada tulisan pertama, RK mengusulkan istilah ‘kisah sepintas lalu’ sebagai padan kata flash fiction ini. Namun sepertinya itu masih kurang enak didengar. Maka, mari sedikit bicara tentang istilah ini dulu. Short story telah kita terjemahkan sebagai cerita pendek. Jika kita ingin ikut-ikutan menerjemah langsung, maka flash fiction bisa saja kita padankan dengan fiksi kilat. Atau mungkin sahabat RetakanKata punya usul lain, silakan tulis di kolom komentar. Mengenai perbedaan penyebutan flash fiction bisa dirunut pada Menulis Flash Fiction 2: Beda Flash Fiction dengan Puisi
Semoga pengantar tersebut cukup menghangatkan pikiran kita. Sekarang mari kita kembali berbicara tentang fiksi kilat lebih jauh. Pada dasarnya, fiksi kilat tidak berbeda jauh dengan cerita pendek. Kali ini kita akan berdiskusi tentang elemen dalam cerita (penokohan, konflik, klimaks dan resolusi ) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya pada tulisan pertama. Sebelumnya mari kita simak beberapa fiksi kilat berikut ini:
Pelacur Tua
“Lima ribu atau kupotong kelaminmu!” bentaknya pada lelaki bermandi keringat di depannya. Setengah telanjang ia melirik pekuburan yang tidak keberatan menerima satu mayat lagi.
Fiksi kilat ini diambil dari Kumpulan Fiksi Super Mini. (Inilah akibat kalau tidak ada kesepakatan penggunaan padanan kata antara flash fiction dan microfiction, istilah yang digunakan jadi berbagai macam).
Fiksi ini memiliki kata sejumlah 26 kata termasuk judul. Sahabat tentu dapat menebak siapa tokoh antagonis dan protagonis di cerita tersebut. Ya, seorang pelacur tua dan lelaki pengguna jasanya. Latar cerita tertulis jelas bahwa kejadian prostitusi tersebut di komplek pemakaman.
Inilah kenyataan yang menyedihkan, prostitusi bisa terjadi di mana saja. Dan yang lebih menyedihkan, harga seorang pelacur tua bisa begitu murah. Bahkan sangat murah. Namun apa yang terjadi kemudian? Meski sangat sangat murah, masih saja ada pelanggan yang tidak mau membayar. Lima ribu rupiah harga sekali kencan, namun masih ditawar. Barangkali, si pelanggan meminta harga tiga ribu rupiah. O la..la, hanya sedikit lebih mahal dari kencing. Inilah konflik yang terjadi dalam cerita.
Dan apakah konflik ini hanya khayalan semata? Tidak. Ini salah satu realitas dunia kita. Dan puncak kemarahan dari harga diri yang terinjak-injak menjadi puncak konflik dalam cerita itu sekaligus klimaks cerita: “Lima ribu atau kupotong kelaminmu!”
Pilihan bagi sang pelanggan hanya dua, bayar uang lima ribu atau mati. Mungkin sahabat dapat membayangkan seorang lelaki kelelahan di bawah ancaman senjata tajam. Dan sekali lagi realitas di sekitar kita seperti itu, demi sedikit rupiah, orang tega memperdaya sesamanya, atau bahkan melakukan pembunuhan. Hanya demi uang lima ribu rupiah! RetakanKata yakin, lelaki itu membayar. Itulah resolusi. Atau sahabat punya ide lain untuk mengembangkan cerita? Silakan.
Selanjutnya, mari kita simak fiksi kilat berikut ini:
Pengakuan Dosa
Suster muda seranum pagi tunduk dalam-dalam di hadapan Pastur yang menyambutnya dengan,”semoga Tuhan mengampunimu.”
Binar mata tidak disembunyikannya ketika ia berkata,”Pastur, saya hendak mengaku dosa. Dosa saya yang pertama adalah aku mencintaimu.”
Dan tugas sahabat RK adalah menguraikan elemen dalam cerita di atas. Jika sudah berhasil, mari kita melakukan identifikasi elemen cerita dengan lebih detil dari contoh fiksi kilat berikut:
Jadi ceritanya begini. Malam itu sudah mendekati larut, kautahu, itu waktunya orang beranjak masuk kamar, tidur! Aku menemaninya, entah kegiatan apa aku harus menyebutnya, yang jelas berdua di lantai balkon, lebih tepatnya tempat jemuran. Lebih dari 3 jam aku menasehatinya dengan berbagai kata-kata bijak yang kupungut dari mana saja. Ia diam. Aku berpikir, pasti kata-kataku telah memikat hatinya.
Lalu malam itu, ya, malam itu, rambutnya tertiup angin, tepat menampar mukaku. Wanginya menggoda. “Aroma apa?” tanyanya. “Bunga lili,” jawabku sok tahu. “Ngawur! Cobalah lebih dekat.” “Jangan, itu tidak baik. Nanti jadi gosip gak sehat.”
Entah kenapa dia tiba-tiba marah. Aku ditinggalnya sendiri di atap rumah. Sebulan tanpa kabar hingga aku memberanikan diri bertanya, kenapa?
Lalu jawabannya mengejutkanku. “Aku ingin kaudiam dan segera mencium rambutku. Bukan memberi kotbah sepanjang jam!”
Cerita di atas terdiri dari 131 kata termasuk judul. Kita tidak akan berbicara lagi tentang penokohan, konflik, klimaks dan resolusi sebab RetakanKata yakin, para sahabat RK sudah menguasai dengan baik. Jadi mari kita bermain-main menamai sesuka kita. Anggaplah ini contoh elemen dalam cerita.
Jadi ceritanya begini. Malam itu sudah mendekati larut, kautahu, itu waktunya orang beranjak masuk kamar, tidur! –> pengantar cerita dan waktu kejadian.
Aku menemaninya, entah kegiatan apa aku harus menyebutnya, yang jelas berdua di lantai balkon, lebih tepatnya tempat jemuran. –> pengantar cerita dan tempat kejadian.
Lebih dari 3 jam aku menasehatinya dengan berbagai kata-kata bijak yang kupungut dari mana saja. –> karakter tokoh utama, pokok cerita utama dan latar waktu kejadian.
Ia diam. Aku berpikir, pasti kata-kataku telah memikat hatinya. –> karakter tokoh antagonis, karakter protagonis, konflik mulai berjalan.
Lalu malam itu, ya, malam itu, rambutnya tertiup angin, tepat menampar mukaku. –> menghadirkan situasi
Wanginya menggoda. “Aroma apa?” tanyanya. –> menghadirkan tangkapan indera
“Bunga lili,” jawabku sok tahu. “Ngawur! Cobalah lebih dekat.” –> menunjukkan sifat dan karakter tokoh
“Jangan, itu tidak baik. Nanti jadi gosip gak sehat.” –> konflik berkembang dan memuncak
Entah kenapa dia tiba-tiba marah. Aku ditinggalnya sendiri di atap rumah. –> menunjukkan sifat tokoh, resolusi.
Sebulan tanpa kabar hingga aku memberanikan diri bertanya, kenapa? –> klimaks pada cerita fiksi
Lalu jawabannya mengejutkanku. “Aku ingin kaudiam dan segera mencium rambutku. Bukan memberi kotbah sepanjang jam!”–> resolusi.
Mungkin contoh di atas belum terlalu pas. Semoga sahabat RetakanKata dapat melengkapinya. Nah, sekarang giliran sahabat RetakanKata menulis fiksi kilat dan mengurai elemen-elemennya.
Oh ya, sebagai tips tambahan dalam menulis fiksi kilat, untuk mencapai suatu jumlah kata tertentu, tulis saja karangan apa adanya, kemudian hilangkan kata-kata yang tidak penting. Artinya, misal sahabat telah menulis hingga 400 kata, kemudian buanglah kata-kata hingga menjadi 200 atau 250 kata tanpa mengurangi esensi cerita. Syukur-syukur bisa lebih pendek lagi. Boleh kok hasil tulisan sahabat diunggah di komentar tulisan ini atau sekalian jadi artikel di RetakanKata. Salam menulis.
Sumber: RetakanKata.com
Belum ada tanggapan.