menulis-untuk-keabadian

Menulis Untuk Berbagi Harapan

Menulis belum membudaya dalam masyarakat Indonesia. Ini kenyataan. Kita masih berat tangan menghurufkan gagasan. Rendahnya minat baca ditenggarai sebagai sebabnya. Ini menunjukkan peradaban lisan masih meraja. Pertanda juga kita masih bangsa pengobrol.

Namun, secercah harapan mulai terbit. Budaya menulis mulai berkecembah tumbuh. Penulis Indonesia mulai berani unjuk diri. Media daring yang menjamur sebagai pemrakarsanya. Mereka membuka ruang untuk pengarang berkarya. Kolom menyebar opini tak lagi dikuasi harian nasional. Tentu ini kabar yang menggembirakan!

Banyak alasan untuk menulis. Ada yang menulis untuk mengejar kemasyuran diri. Ada juga yang menulis untuk mengeruk pundi-pundi rupiah. Sementara yang lain hanya untuk menyalurkan hobi. Intinya menulis untuk kesenangan pribadi saja.

Roman Anak Semua Bangsa karangan Pramoedya Ananta Toer memberi pelajaran berharga perihal menulis. Khususnya adegan ketika Kommer menilai ulang tulisan Minke.

Kommer bisa disebut bidan yang melahirbarukan Minke dalam dunia tulis-menulis. Dialah yang membuka cakrawala Minke bahwa menulis adalah mengabdi untuk keabadian. Keabadian tulisan, kata Kommer, muncul dari pergaulan pada kemanusiaan. Itu sumber tulisan abadi, tandasnya.

Tulisan harus berpihak pada perikemanusiaan. Itu sebabnya setiap penulis wajib mengenal manusia. Dia harus tahu pergumulan kehidupan yang vital. Apa itu kehidupan yang vital? Seturut pidato alumnus dokter jawa dalam Jejak Langkah, kehidupan yang vital adalah tentang kebahagiaan, kesengsaraan, kesejahteraan, keberuntungan, penderitaan, cinta kasih sayang, pengabdian, kebenaran, keadilan, dan kekuatan.

Wejangan ini membangunkan Minke dari tidur panjangnya. Dia tersadar. Dia yang mendaku sebagai anak kandung Revolusi  Prancis, tapi tak mengenal manusia sebangsanya. “Sungguh memalukan kalau kau menulis tentangnya, hei, kau pengarang kepala besar!” bentak Minke pada dirinya sendiri.

Kesadaran baru ini memperjumpakan Minke dengan Surati. Perempuan korban adat pemujaan terhadap laki-laki. Tulisannya tentang perempuan malang inilah yang dikritik Kommer; untuk membawa Minke pada kesadaran yang lebih maju.

Kommer menilai tulisan Minke berwajah murung. Goresan penanya tak berseri. Ia tak mampu melihat keceriaan hidup. “Terlalu serius.” katanya. Artinya tulisan itu tak berdaya menunjuk arah kebahagiaan. “Tanpa kegembiraan, tanpa keceriaan mengalahkannya, orang akan berputar-putar dalam penderitaan saja.” begitu penilaian tajam dari Kommer.

Adegan ini mengajarkan prinsip penting perihal menulis. Tulisan yang baik seyogyanya dapat memberi kegembiraan pada pembacanya. Torehan tinta itu sebisanya mempersembahkan asa bagi penikmatnya. Dia harus menjauh-jauhkan diri dari sikap pesimis. Goresan elok adalah yang menebalkan impian tentang hari depan.

Azasnya adalah keseimbangan. Tulisan adalah karya seni. Didalamnya, penderitaan dan cita-cita berpadu padan merangkai harmoni. Celaan dan jalan keluarnya bergandengan dengan derap langkah sama. Tulisan yang hanya menyajikan hujatan akan mendatangkan dendam semata. Sementara pemaparan tentang kebahagiaan saja adalah fatamorgana belaka; hanya ilusi!

Nasehat ini tentu sangat berharga, khususnya dimasa sekarang. Tulisan bukan semata rangkaian kata dan aksara. Melampaui itu, dia adalah surya. Dia menyinari gelapnya jalan kemanusiaan. Guratan pena memberi kekuatan pada kaki yang lesu dalam menjalani kehidupan. Sebuah karangan harus mengobarkan daya hidup tentang hari depan penuh harapan.

Akhirnya, menulis itu bernilai luhur. Sungguh agung dia sebenarnya. Tanggung jawabnya membangun dunia yang lebih baik. Dia berkewajiban menjaga arah langkah sejarah. Tugasnya merawat kehidupan. Dia pengampu pendidikan generasinya. Perannya menabur benih optimis ditengah sesaknya penderitaan. Ditengah kusutnya kehidupan, tulisan harus mampu mereka-cipta asa. Ya, memang menulis untuk berbagi harapan untuk dunia yang lebih baik.

 

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan