Tulisan ini terinspirasi film “Che”. Film yang disutradarai Stephen Soderberg yang berkisah tentang pejuang tentara revolusioner di Kuba asal Argentina bernama Ernesto “Che” Guevara. Ada satu adegan yang berkesan buat saya pribadi. Suatu malam, para gerilayawan beristirahat di hutan. Che memilih duduk terpisah dari regunya. Cahaya remang yang memancar dari obor perkemahan menemani Che dengan secarik kertas dan penanya. Dalam keterbatasan situasi yang dihadapinya, Che sedang menulis.
Menulis adalah sebuah kegiatan yang menuntut obyektifitas. Ada kerangka silogisme yang harus dibangun agar tulisan bisa dipahami. Penalaran harus sistematis agar pembaca mengerti pesan yang ingin disampaikan. Tulisan harus dibangun dalam struktur logika yang tepat agar tidak disalahartikan.
Namun, kegiatan menulis tentu tidak sesederhana itu. Persoalan-persoalan subyektif, yang terkait tentang permasalahan personal, kadang juga berperan. Persoalan pribadi, seperti putus cinta, uang kontrakan yang belum dibayar, jadi korban PHK, dan berbagai persoalan lainnya, turut serta mempengaruhi kegiatan menulis. Persoalan-persoalan seperti ini, tak jarang mempengaruhi mood untuk menulis. Banyak penulis akhirnya memilih berhenti karena tenggelam dalam situasi seperti ini.
Jika kita melihat penulis-penulis besar yang berhasil dalam sejarah, kita akan melihat ada kesamaan diantara mereka. Mereka adalah orang-orang yang berhasil keluar dari persoalan-persoalan seperti yang disebutkan sebelumnya. Mereka tidak membiarkan mood menguasai. Sebaliknya, merekalah yang menguasai mood. Mereka tidak membiarkan situasi mendikte. Mereka adalah raja atas diri sendiri.
Contoh yang paling mudah dikenal adalah Pramoedya Ananta Toer. Dari pengantar “Bumi Manusia”, kita mendapat informasi bahwa Tetralogi Buru ditulisnya waktu masih mendekam di kamp kerja paksa tanpa proses hukum pengadilan di Pulau Buru. Kita bisa membayangkan bagaimana pergumulan batin Pram ketika menghadapi ketidakadilan yang menimpanya. Haknya sebagai manusia merdeka dicuri. Kebebasannya dipasung. Usia produktifnya dirampas. Dan yang terpenting adalah identitas kemanusiaannya dinihilkan.
Situasi yang dihadapi Pram sebenarnya lebih dari cukup untuk membuat dia bermuram durja menyerah pada situasi. Bahkan, seandainya Pram memilih jalan singkat untuk berhenti hidup, pilihan itu pun bisa dimaklumi. Tapi kenyataan bicara lain. Pram tidak menyerah. Pulau pembuangan itu adalah saksi karya besar Tetralogi Buru dibidani.
Karl Marx, seorang pemikir yang banyak dikutip gagasannya oleh intelektual modern sekarang, kondisinya setali tiga uang dengan Pram. Dalam kata pengantar untuk edisi pertama “Das Kapital 1”, Marx mengatakan bahwa ada penyakit yang bertahun-tahun terus menganggu pekerjaannya. Bukan rahasia kalau Marx adalah orang miskin. Keluarganya melarat. Bahkan pernah suatu kali Marx tidak bisa keluar rumah di musim dingin karena jasnya terpaksa harus digadaikan untuk biaya hidup keluarganya. Adalah Friedrich Engels, sahabat sekaligus rekan seperjuangannya, yang setia membantu membiayai kehidupan Marx dan keluarganya.
Kisah yang paling menggetarkan saya adalah pengalaman Howard Engel, novelis asal Kanada. Walau lahir dengan tangan kiri yang kurang sempurna, Howard Engel tumbuh seperti anak-anak lainnya. Sedari kecil, dia suka membaca. Dia bilang, “Aku kecanduan buku. Aku kecanduan kata-kata yang dicetak.” Sifat adiktifnya terhadap buku mengantarkan Engel jadi seorang penulis novel yang cukup terkenal. Disebutkan dalam biodatanya, Engel sudah menghasilkan selusin novel best seller fiksi detektif yang terkenal di dunia. Dua diantaranya sudah diadaptasi ke layar kaca.
Hingga pada suatu pagi, 31 Juli 2001, Engel mengalami suatu kejadian tak wajar. Surat kabar Globe and Mail yang dipegangnya pagi itu, tak bisa dibacanya. Dia melihat huruf-huruf itu seperti aksara yang berasal dari Eropa Timur dan Tengah dan disaat berikutnya seperti aksara Korea. Halaman demi halaman dibaliknya, tapi situasi tak berubah. Kemampuan membacanya hilang seketika.
Baru kemudian dia ketahui dari dokter yang memeriksanya kalau dia menderita penyakit alexia sine agraphia. Sebuah penyakit yang diakibatkan oleh kerusakan otak dibagian occipital cortex, sebuah bagian untuk penglihatan di otak. Seperempat dari kemampuan melihatnya rusak. Penyakit ini membuat Engel bisa melihat huruf, tapi tidak bisa memaknainya. Otaknya tidak mampu menerjemahkan simbol-simbol yang dilihat. Uniknya, walau penyakit ini membuat dia tidak bisa membaca, tapi dia masih bisa menulis. Dampaknya adalah walau dia bisa menulis, tapi dia tidak bisa membaca apa yang dia tulis.
Jelas saja, penyakit ini adalah kiamat bagi seorang penulis. Kepanikan melanda. Dia mulai bertanya-tanya, “Dengan cara apa aku hidup? Bagaimana membayar semua tagihan? Bagaimana aku harus membiayai hidup anak-anakku? Apakah aku harus jadi pengemis di pinggir jalan?” Ini adalah pertanyaan kekhawatiran dari seseorang yang menggantungkan hidupnya sebagai penulis. Dia terpuruk dalam frustasi yang dalam.
Namun, apa yang terjadi? Apakah Engel menyerah pada situasi sulit ini?
“Pikiran adalah awal dari perubahan.” Begitu dia bertekad. Dia secara sadar menolak status sebagai “mantan pembaca”. Dia tidak menyerah pada situasi. Dia melatih dirinya agar keluar dari persoalan ini. Dia tekun mengikuti instruksi terapisnya. Dengan segala kreatifitas dan imajinasi yang tersisa, dia mencari cara sendiri untuk mengatasi segala kelemahannya.
Melewati terapi yang panjang dan melelahkan, dengan pelan dan kesusahan, Howard Engel mulai bisa menerjemahkan huruf, walau tidak selincah dulu. Dia mulai bertekad untuk menulis kembali. Tapi dia tak tahu harus memulai dari mana. Baru kemudian dia ingat pesan ibunya, “Tulislah tentang apa yang kau ketahui.” Kemudian dia bertanya, “Apa yang kuketahui?” Penyakitnya ternyata mempengaruhi ingatannya juga.
Hingga akhirnya Engel menemukan sesuatu yang dia ketahui. Dia tahu tentang penyakitnya dan menuliskan itu. Buku “The Man Who Forgot How to Read” adalah hasilnya.
Selain kegiatan intelektual, menulis adalah seni. Karena itulah menulis menuntut olah rasa. Perasaan memang sesuatu yang rentan dan mudah terpengaruh oleh dunia diluarnya. Tapi, disinilah tantangannya. Seberapa hebat karya seorang penulis akan diuji oleh situasi-situasi sulit yang dihadapinya.
Penulis-penulis besar seperti yang disebutkan di atas adalah contoh kecil yang menunjukkan ternyata dibalik sebuah karya besar ada pribadi tangguh yang tak mengenal apa itu arti menyerah. Situasi sulit dan persoalan-persoalan yang mendera, tidak dibiarkan menggerogoti visinya. Penulis besar adalah mereka yang tidak pernah mengizinkan situasi sulit menghalanginya untuk berkarya.
Dalam kehidupan, masa-masa sukar selalu datang silih berganti. Tapi itulah alat uji konsistensi. Bertahanlah dan tetap menulis walau masa-masa yang sukar menghampiri.
Belum ada tanggapan.