pramoedya-ananta-mastoer

Sepenggal Jejak Pramoedya Ananta Toer

Hari ini, 30 April 2016, tepat sepuluh tahun Pram berpulang.  Tentang Pramoedya Ananta Toer, kita bisa sejenak menengok peristiwa sepuluh tahun lalu melalui lembar-lembar catatan, -30 April 2006, orang besar itu, diujung hidupnya tetap mencoba menolak untuk takluk; ia ingin mati sesuai kehendaknya sendiri. “Bakar saya sekarang!” perintahnya pada orang-orang di sekeliling ranjangnya tempat ia berbaring menunggu sakratul maut. Menolak takluk seolah telah merasuk pada relung dirinya yang paling dalam hingga ajal pun ia tak ingin ditentukan oleh Yang Lain.

karya-pramoedya-ananta-tourPram bukanlah sosok yang takut pada kematian. Empat belas tahun selama masa pembuangan oleh pemerintah kolonial hingga orda baru adalah masa yang begitu dekat dengan kematian, dan ia tidak pernah melangkah mundur sedikit pun. Barangkali percik api Pram pada diri Nyai Ontosoroh dapat mewakili penjelasan mengapa ia minta dibakar saja (supaya cepat mati).

“Dengan melawan kita takkan sepenuh kalah,” dan nada ucapannya adalah pengetahuan bakal kalah.

Jika Anda telah membaca Bumi Manusia, percakapan Minke dengan Nyai Ontosoroh tentang mengapa seseorang harus berlawan dapat Anda temukan pada halaman-halaman 400-an. Kisah pada penggalan akhir Bumi Manusia yang mengisahkan Nyai Ontosoroh dirampas segala hak dan miliknya oleh Maurits Mellema, anak tiri yang juga representasi bangsa penjajah masa itu. Nyai Ontosoroh dan Minke, -tokoh kita yang dijadikan pemeran utama oleh Pramoedya ini, menyadari sepenuhnya bahwa pertarungan yang akan dihadapi bukanlah antara Ibu dan anak, melainkan antara Pribumi dan Belanda, antara kaum yang dijajah dan yang menjajah. Nyai Ontosoroh juga sadar sepenuhnya ia tak bakalan menang, tetapi ia pantang diam saja.

“Kita kalah Ma,” bisikku. (Ku di sini adalah Minke yang berbicara dengan Nyai Ontosoroh).

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Percik api Pram pada diri Nyai Ontosoroh ini menegaskan bahwa “bakar saya sekarang!” bukanlah menyerah, bukan ketakutan pada kematian tapi perjuangan mempertahankan kemerdekaan pribadi.

Kita bisa menengok lebih jauh ke sana, ke tempat yang jauh, ke masa yang lebih silam pada masa hidupnya, ia begitu keras kepala menyuarakan perlawanan. Bahkan lebih ke sana, masa-masa sebelum kelahirannya, melalui tulisan-tulisannya yang mencampurkan sejarah dengan fiksi, kita pun bisa menangkap apa yang ingin dipertunjukkannya: anti penindasan, anti kolonialisme! Entah apakah kini, seorang bisu yang bernyanyi itu, menyaksikan pergerakan sejarah karya dan pribadinya yang kadang juga digunakan untuk menindas yang lain.

Pada hari pemakamannya, -konon yang tertuang pada beberapa catatan, dihadiri berbagai kalangan. Penguasa, pemodal, buruh, kaum muda, kaum kiri, kaum kanan, kaum liberal, kaum agamawan dan entah dari golongan mana lagi, berduyun-duyun mengiringi pemakamannya. Jauh kontras dengan perjalanan hidup yang digambarkannya sendiri dalam karya-karyanya, kurang lebih 38 tahun hidup dalam kesunyian yang bisu (3 tahun ditahan pemerintah kolonial, 1 tahun pada jaman Soekarno, 4 tahun di Nusakambangan pada jaman Soeharto dan lanjut diasingkan di Pulau Buru selama 10 tahun, lalu dari tahun 1979 – 2009 berstatus tahanan, baik tahanan rumah maupun tahanan kota). Sepanjang masa itu, ia tidak lepas dari status sebagai tahanan. Dan pada perjalanan panjang di kesunyian itu ia melahirkan hingar bingar karya besar yang di kemudian hari menjadi sumbangan Indonesia pada dunia.

Barangkali kita bisa sedikit menengok permenungannya di Bumi Manusia; ketika bangsa-bangsa lain telah menyumbang pada manusia, apa yang telah disumbangkan salah satu pelosok dunia bernama Jawa ini pada umat manusia? Pada mulanya, apa yang ditulisnya itu bergerak dari keprihatinan betapa terjajahnya manusia-manusia pinggiran Jawa, manusia yang tidak saja terjajah oleh bangsanya sendiri (para priyayi, penguasa dan kepanjangan tangan Nederland) namun juga oleh bangsa-bangsa asing kulit putih dan berwarna. Di kemudian hari, keprihatinan itu bergerak menuju kemarahan ketika Jawa menjelma menjadi penjajah bagi bangsa lain. Di sini Pram dikenal menolak java-centris dan konon pernah mengusulkan agar ibukota Republik dipindahkan ke luar jawa. Pemihakan Pram pada kemanusiaan jelas melampaui pemihakannya pada ras atau golongan tertentu.

Kini kita bergerak ke jaman sekarang ketika penindasan demi penindasan terus berjalan. Cerita serupa seabad yang lalu diputar-putar di kemudian hari dengan latar yang berbeda, dengan pelaku yang lebih baru, beberapa lebih liar dan ganas melebihi srigala. Dan sepertinya kita mesti memaklumi, selalu ada pejabat yang menindas bangsanya sendiri, menjual negerinya sendiri pada orang luar sana. Melestarikan budaya korup dan serakah dan di sisi lain melestarikan sifat-sifat rendah diri –hamba sahaya yang tidak begitu jauh berbeda dengan perbudakan. Seabad lalu menjadi budak tidak membutuhkan gelar. Di jaman ini semakin banyak manusia menyandang gelar namun tetap saja budak. Berbeda jaman, namun apa yang dikatakan Pram masih bertahan pada kebenarannya: tidak ada kolonialisme yang tidak jahat! Jika keburukan semakin merata di penjuru negeri pada jaman-jaman ini, maka apa yang telah disumbangkan salah satu pelosok dunia bernama Jawa ini pada umat manusia?, adalah bentuk keprihatinan mendalam kegagalan generasi ini untuk menumbuhkembangkan ‘kemajuan’ adab manusia yang merdeka, bersatu, berdaulat, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Baik melalui karya sastra maupun sikapnya, kita bisa sedikit mengintip bagaimana konsistensi Pramoedya dalam berpihak pada kemanusiaan. Dan dari manusia pelosok Jawa yang bernama Blora ini, Pramoedya boleh berbangga, karya-karyanya telah melampaui batas-batas suku dan bangsa, sebuah sumbangan pada dunia. Barangkali ini juga yang membawa berbagai kalangan, kaum dan kelompok manusia datang pada hari pemakamannya. Apa boleh buat, karya dan pribadinya kini lepas bebas sebagai sebuah simbol perlawanan pada ketidakadilan. Bahwa ada manusia yang memanfaatkannya sebagai alat penindas pihak lain pun adalah konsekwensi dari sebuah nama besar.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan