Berita Buku – Jika saya kembali membahas atau menyoal teks naratif yang berkait dengan Kurikulum 2013 (K13), itu bukan berarti saya pakar dalam K13 atau tidak suka pada K13. Akan tetapi, saya termotivasi untuk menunjukkan bahwa K13—terutama pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia—membawa “pembaharuan” yang semestinya dicermati sebagai akibat dari perkembangan teori dan pendekatan dalam linguistik dan sastra yang terjadi dewasa ini. (Baca juga: Menyilik Teori Kebahasaan di Kurikulum 2013: Mata Pelajaran Bahasa Indonesia)
Teori atau pendekatan lama memang semestinya diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan (sains) lazim untuk direvisi, entah oleh si empunya teori sendiri maupun oleh orang lain yang tertarik dan mempertanyakan teori tersebut. Bahkan, Kuhn (1962) menguraikan tentang terjadi revolusi dalam sains di mana sebuah teori lama digantikan oleh teori baru sebab sering terjadi anomali-anomali pada teori yang lama. Jadi, wajar bukan apabila ada revisi terhadap teori atau pendekatan yang lama?
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendekatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada K13 berbasiskan teks. Akibatnya, bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pun harus didekati sebagai sebuah teks atau harus dianggap sebagai teks yang memiliki strutur berbeda pada setiap genre teks. Misalnya, pembelajaran tentang cerpen sebagai bagian dari kesusastraan yang biasanya membahas tentang unsur intrinsik dan ekstrinsiknya, maka pada K13 pembahasannya bergeser kepada struktur yang ada pada teks cerpen.
Teks cerpen termasuk ke dalam teks naratif yang memiliki struktur sebagai berikut: (1) abstrak, bagian yang mengandung inti atau ringkasan cerita (2) orientasi, bagian yang berisi latar yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana di dalam cerpen (3) komplikasi, bagian yang menceritakan adalah urutan kejadian yang saling berhubungan dan berkaitan secara sebab-akibat (4) evaluasi, tahapan setelah terjadi klimaks, yang menuntun pembaca menemukan pemecahan masalah dari konflik dalam cerita (5) resolusi, tahap di mana pengarang akan mengungkapkan solusi dari berbagai konflik yang dialami tokoh dan (6) koda, bagian yang mengandung nilai-nilai atau pelajaran yang dapat dipetik oleh pembaca dari sebuah teks. Abstrak dan koda bersifat optional, sedangkan empat yang lainnya bersifat wajib.
“Memaksakan” cerpen dipelajari dengan pendekatan teks menyebabkan pembelajaran cerpen tereduksi hanya berfokus pada plot atau alur saja. Padahal, plot hanya salah satu unsur intrinsik cerpen, di samping unsur intrinsik lain, seperti tema, latar, sudut pandang, dan amanat. Sekadar memahami struktur cerpen menyebabkan pembelajaran karya sastra menjadi kering. Sebab, baik sekadar apresiasi maupun keterampilan menulis karya sastra, pengenalan unsur intrinsik secara komprehensif akan sangat bermanfaat bagi murid. Karena itu, guru-guru di sekolah harus pandai-pandai memanfaatkan waktu yang tersedia dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat sehingga unsur-unsur intrinsik lain bisa terbahas atau terajarkan kepada murid-muridnya.
Selain masalah tereduksinya pembelajaran karya sastra hanya pada plot, hal lain yang perlu kita khawatirkan adalah hilangnya kreativitas murid-murid dalam menulis karya sastra (fiksi), terutama dalam mengembangkan cerita. Penekanan pembelajaran struktur naratif dengan urutan abstrak^orientasi^komplikasi^evaluasi^resolusi^koda dikhawatirkan ditafsirkan sebagai urutan baku yang tidak boleh diubah-ubah. Padahal, kita tahu bahwa secara tradisional, plot terdiri dari tiga jenis, yaitu plot maju, plot mundur (flashback), dan plot campuran. Pemilihan plot yang akan dipakai bergantung pada selera penulis, pilihan genre cerita, dan kepawaiannya menggarap cerita. Plot flashback tidak kurang menariknya dibandingkan plot maju. Roman klasik dalam khazanah sastra kita, yaitu Atheis karya Achdiat Kartamihardja, menggunakan flashback dan tetap menjadi salah satu roman yang sering dibicarakan dalam dunia sastra kita. Sebab itu, sekadar saran saja agar guru-guru pun tidak memegang erat-erat bahwa urutan struktur harus seperti yang telah ditentukan. Guru-guru harus menekankan pentingnya kelengkapan struktur pada teks naratif, bukan pada urutannya.
Wallahu a’lam
Mampang Prapatan X, Jakarta Selatan
Belum ada tanggapan.