Sebagai salah satu negara-bangsa berkembang dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia kini berada dalam arus modernisasi zaman. Arus globalisasi modern didominasi oleh tesis universal demokrasi negara-negara bangsa (Nation States), dengan komitmen yang damai, tanpa kekerasan dan tidak ‘berlumuran darah’ (Andalas, 2010: 11). Namun ternyata, komitmen yang etis tersebut tidak selalu hadir di dalam praksisnya. Hal ini tampak dalam berbagai macam persoalan dan konflik yang kini mengancam kedamaian hidup setiap negara saat ini, termasuk negara Indonesia. Salah satu persoalan yang kini marak terjadi dan sungguh mengancam kehidupan negara Indonesia saat ini adalah kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal dan kaum fundamentalis agama.
Pada bulan Maret – April 2016, Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia mengadakan survei tentang posisi intoleransi dan radikalisme sosial – keagamaan di kalangan Muslim Indonesia. Hasil survei itu menyatakan bahwa 600.000 orang pernah melakukan radikalisme atas nama agama dan 11 juta jiwa berpotensi berbuat radikal kalau ada kesempatan. Bentuknya berupa pemberian dana atau materi kepada kelompok radikal sampai penyerangan rumah ibadat. Dari survei khusus di kalangan aktivis kerohanian Islam di sekolah, lebih dari 60% responden setuju berjihad saat ini ataupun di masa depan (Kompas, 17/02/2016).
Realitas yang ditampilkan di atas mau menunjukan bahwa aksi radikalisme kini marak terjadi di Indonesia saat ini. Aksi radikalisme ini tentunya dapat mengancam kenyamanan hidup bangsa Indonesia yang telah lama hidup dalam prinsip persatuan dan kesatuan sebagaimana yang tertera dalam Pancasila. Prinsip persatuan ini dijiwai oleh semangat toleransi yang mengikat dan mendamaikan masyarakat Indonesia yang hidup dalam pluralitas budaya. Namun, maraknya aksi teror dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal dan kaum fundamentalis membuat semangat toleransi itu pudar dari kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia kini hidup dalam krisis toleransi. Oleh karena itu, di tengah krisis toleransi yang melanda kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, maka satu hal yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi nilai-nilai toleransi.
Toleransi
Toleransi berasal dari kata Latin tolerare yang berarti “membiarkan” atau “memikul sesuatu”. Sebagai sebuah keuletan yang pasif, toleransi mengungkapkan kemampuan menahan penderitaan lantaran hal-hal yang tidak menyenangkan seperti rasa sakit, siksaan dan bencana. Dalam perkembangan selanjutnya terutama dalam bidang agama, toleransi tidak lagi dilihat sebagai “memikul hal-hal yang tidak menyenangkan”, melainkan membiarkan agama atau keyakinan-keyakinan asing bertumbuh. Jadi toleransi mengalami pergeseran makna dari sikap terhadap diri sendiri menjadi sikap terhadap orang lain. Toleransi sebagai keutamaan moral individual pada akhirnya berkembang menjadi sikap etis sosial atau moral politik.
Konsep toleransi memiliki dua tingkatan kualitas yang dikenal dengan kualifikasi toleransi pasif dan toleransi aktif atau otentik (Madung, 2016: 48-50). Pertama, toleransi pasif atau dikenal juga dengan konsep toleransi klasik tampak dalam sikap terpaksa membiarkan yang lain hidup karena realitas sosial yang plural. Toleransi pasif biasa juga disebut dengan “toleransi izinan” terpaksa (widerwillige Erlaubnis-Toleranz). Di sini, penguasa membolehkan kelompok minoritas hidup sesuai dengan keyakinannya yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas sejauh mereka tidak mempersoalkan otoritas penguasa. Kedua, toleransi aktif dan otentik. Toleransi jenis ini mengiakan hak hidup atau keberadaan, kebebasan dan kehendak yang lain sebagai yang lain untuk berkembang. Atau dalam rumusan yang lebih radikal dari Rosa Luxemburg: “kebebasan selalu berarti kebebasan berpikir lain. Toleransi aktif dikenal dengan “toleransi respek” (Respekt Toleranz).
Merawat Toleransi
Toleransi merupakan salah satu aspek penting yang dapat menjamin perdamaian dan kenyaman dalam suatu ruang lingkup kehidupan yang dipenuhi pluralitas budaya, agama dan keyakinan. Toleransi mengandung berbagai macam nilai yang dapat merajut persatuan di tengah berbagai macam perbedaan yang ada dalam kehidupan bersama. Nilai-nilai toleransi itu nyata dalam berbagai konsep dan pandangan tentang toleransi itu sendiri. Dalam agama Kristen, pandangan tentang toleransi bukanlah hal baru. Dalam teks tentang toleransi yang paling berpengaruh yang pernah ditulis, A Letter Concerning Toleration (1689), John Locke, leluhur dari liberalisme politik, menyatakan dalam kalimat pertama bahwa toleransi adalah “tanda khas yang utama dari Gereja yang sejati (Clark, 2014: 246-247).” John Locke menyampaikan dua gagasan utama tentang toleransi dalam umat Kristen.
Pertama, toleransi dan kebebasan. Keyakinan yang pertama berkaitan dengan kebebasan untuk beriman. Sifat dari iman adalah bahwa tidak seorangpun dapat dipaksa untuk percaya. Memeluk (atau menolak) iman Kristen merupakan upaya mengarahkan kembali seluruh komitmen fundamental dari hidup seseorang. Jika kita dipaksa untuk percaya, kita akan percaya dengan tidak ikhlas dan dengan demikian tidak menghormati Tuhan sekaligus bertentangan dengan kesadaran kita sendiri. “Agama yang benar dan menyelamatkan”, tulis Locke, “berisi keyakinan batin dari dalam, yang tanpa hal itu, tak sesuatupun dapat diterima oleh Allah.” Maka iman semacam ini dapat bertumbuh hanya dalam kebebasan.
Kedua, toleransi dan kasih. Alasan kedua mengapa Locke berpendapat bahwa toleransi merupakan tanda terpenting bagi Gereja yang sejati adalah karena kasih merupakan pelaksanaan iman Kristen. Rasul Paulus menulis pernyataan yang terkenal bahwa sekalipun aku memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran agamaku, sekalipun aku telah mencapai prestasi moral yang mengesankan, “jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (1 Korintus 13:2). Dengan menirukan Rasul Paulus, Locke berpendapat bahwa jika seseorang mempunyai pernyataan yang benar tentang ajaran, tentang keunggulan moral, atau tentang ketepatan liturgis, “namun jika kurang berbuat amal, kurang bersikap lemah lembut, dan kurang berkehendak baik bagi semua orang, apalagi terhadap mereka yang bukan Kristen, dia belum tentu menjadi seorang Kristen yang benar. Intoleransi tidak sesuai dengan kasih yang sejati, karena tidaklah masuk akal bahwa penderitaan yang disebabkan oleh siksaan dan segala macam bentuk tindakan jahat merupakan perwujudan sikap kasih – sikap yang mendukung kasih yang keras dari Agustinus mengundang banyak perdebatan. Bagi Locke, intoleransi dengan demikian tidak sejalan dengan iman yang otentik. Intoleran itu sangat membahayakan.
Dari berbagai penjelasan yang cukup rinci tentang toleransi, seperti yang telah dijelaskan di atas, kita dapat melihat berbagai macam nilai toleransi. Beberapa nilai penting yang termaktub dalam toleransi itu adalah kebebasan, adanya penghargaan atau penghormatan, dan kasih. Kebebasan berarti setiap orang atau siapapun diberi kebebasan untuk memeluk agama atau keyakinan sesuai dengan keinginan masing-masing. Apalagi dalam konteks negara Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi, kebebasan niscaya menjadi satu syarat mutlak. Namun, kebebasan yang dimaksudkan tentunya bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Bebas yang dimaksudkan di sini adalah bebas yang bertanggung jawab dan tidak mengganggu kepentingan orang lain.
Pengakuan juga menjadi salah satu nilai penting dalam toleransi. Toleransi selalu menuntut adanya pengakuan. Setiap orang yang hidup dalam suatu komunitas plural wajib untuk memberi pengakuan terhadap keyakinan atau agama yang dianut oleh orang lain. Pengakuan menuntut setiap orang untuk menanggalkan egoisme dan kesombongan diri. Pengakuan mewajibkan setiap orang untuk menerima apa yang diyakini oleh orang lain. Dengan kata lain, pengakuan menuntut setiap orang untuk mengakui adanya perbedaan. Dalam bahasa Ricoeur, pengakuan berarti mengidentifikasi lewat proses pembedaan (Baghi, 2012: 160). Selain kebebasan dan pengakuan, kasih merupakan nilai yang tidak bisa dilepaskan dari prinsip toleransi. Kasih merupakan fundamen utama bagi terciptanya kehidupan bersama yang damai dan nyaman. Dalam konsep Trilogi ranah interaksi Alex Honneth, kasih atau cinta merupakan salah satu aspek penting. Cinta mengungkapkan relasi intim manusia dan membantu individu untuk mengembangkan rasa percaya diri (Madung, 2016: 91).
Untuk konteks negara Indonesia, nilai-nilai toleransi itu sebetulnya sudah termaktub jelas dalam Pancasila. Namun, nilai-nilai itu kini hilang dan mati ditelan oleh buasnya aksi radikalisme. Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban untuk merevitalisasi atau menghidupkan kembali nilai-nilai toleransi yang terkandung dalam Pancasila. Revitalisasi nilai-nilai itu adalah salah satu cara untuk merawat toleransi. Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila harus menjadi kekuatan utama untuk menghadapi liberalisasi agama yang berujung pada egoisme agama. Soekarno telah jauh-jauh hari mengingatkan bahwa ketuhanan jangan sampai terjangkiti liberalisme agama yang berujung pada egoisme agama. Soekarno berpesan agar bangsa ini bertuhan secara kebudayaan. Bertuhan secara kebudayaan adalah bertuhan yang mengedepankan sifat toleransi, solidaritas dan kertebukaan. Soekarno berkata, “marilah kita amalkan di jalan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban; ialah hormat-menghormati satu sama lain”(Kompas, 14/01/2017).
Tugas untuk revitalisasi ini tentunya bukan hanya tugas negara, melainkan tugas dari semua warga negara Indonesia. Sebagai salah satu bentuk dari revitalisasi nilai-nilai toleransi itu, semua anggota masyarakat harus mampu menggunakan media sosial secara bijak. Artinya, media-media sosial itu tidak boleh digunakan untuk menyebarkan hoax, melainkan lebih dari itu, media harus digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan tentang pentingnya toleransi dalam kehidupan bersama. Dengan dan melalui media sosial itu masyarakat juga dapat membangun dialog dengan berlandaskan semangat toleransi.
Belum ada tanggapan.