pluralisme-dan-kebhinekaan

Menatap Masa Depan Pluralisme

Agama, pada dasarnya menghendaki kebaikan serta menuntun umatnya berbuat adil. Keyakinan kita akan misi suci agama, belum sepenuhnya ditanamkan dalam hati orang-orang beragama. Akibatnya, para pemeluk agamapun ada yang masih memiliki pandangan bahwa ada agama lain yang mengajak pada kejahatan dan ketidakadilan. Hingga mereka pun merasa tak nyaman, marah, kecewa bahkan ikut pula memusuhi pemeluk agama lain.

Singgungan serta gesekan agama muncul bukan hanya karena adanya perbedaan tafsir antar sesama pemeluk agama. Gesekan atau konflik antar agama muncul juga karena ketidaksiapan kita memahami misi suci agama. Ada kekhawatiran iman kita menjadi lemah, iman kita menjadi terlepas saat kita memiliki keterbukaan dengan pemeluk agama lain. Orang juga semakin takut untuk belajar memahami, menerima, dan saling menghargai, hingga bekerjasama antar pemeluk agama berbeda.

Fenomena ini menjadi wajar manakala dalam lingkungan paling kecil, keluarga, sudah diterapkan batasan-batasan agar kita bergaul dengan orang sesama pemeluk agama. Akhirnya ketika dewasa kelak, ada pandangan yang tak jauh berbeda, hingga memunculkan ketakutan, phobia, untuk belajar berproses terus-menerus menerima iman kita, dan menerima iman orang lain sebagai sebuah hak.

Dalam sejarah kenegaraan kita, ada satu peristiwa yang sebenarnya mencerminkan bagaimana sebuah fenomena keanekaragaman agama di negeri kita adalah fitrah. Peristiwa itu adalah ketika umat islam rela menghapus bunyi sila pertama yang semula berbunyi  Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Umat Islam dengan rela hati, tidak memaksakan kehendak, tetapi menghargai dinamika, proses, sampai dengan mengakui adanya kebhinnekaan negeri ini. Tentu saja ini sejajar dengan konsep dalam firman Alloh SWT Q.S. Al-Maidah (48) yang menyatakan  : Sekiranya Tuhan menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Tuhan tidak menjadikan kita satu jenis, bahkan beragam suku, budaya, agama, hal itu untuk saling mengenal, saling membantu, serta saling bekerjasama. Saya jadi ingat tatkala Emha Ainun Najib begitu akrab dengan Romo Mangunwijaya. Keduanya sudah seperti seorang sahabat. Meski lintas agama dan keyakinan, keduanya bisa saling menerima dan menghargai. Begitu pula ketika saya melihat Romo Magnis dengan Buya Syafii. Melihat mereka saya jadi berfikir, seandainya umat beragama di Indonesia mencoba menerima dan saling menghargai, mendalami ajaran agama masing-masing serta dipraktikkan dalam kehidupan keseharian, maka tak akan ada ketakutan untuk saling mencurigai, saling memfitnah, apalagi saling menghina.

Bukan seperti selama ini, gesekan antar pemeluk agama semakin hari justru semakin kencang. Hal ini nampak karena semakin sering kelompok-kelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu mencoba memaksakan kehendaknya agar keyakinannya diterima dalam masyarakat kita yang bhinneka. Para teroris menganggap orang diluar kelompoknya sebagai taghut, bahkan layak dimusnahkan. Sehingga kita faham, musuh teroris bukan hanya para islam moderat, tapi juga islam kanan bahkan kiri yang tak sepaham dengan mereka. Terlebih lagi mereka yang tak beragama islam, dianggap kafir, para pendosa dan pelaku maksiat dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Agama pada ujungnya dilekatkan dengan kekerasan, permusuhan, saling bunuh dan perang.

Saya jadi ingat shalawat yang dinyanyikan oleh Almarhum Gus Dur: akeh kang apal Quran hadiste, seneng ngafirke marang liyane/kafire dewe gak digatekke yen iseh kotor ati akale/gampang kabujuk nafsu angkara/ ing pepaese gebyaring donya/ iri lan meri sugihe tonggo /mula atine peteng lan nista ( Banyak yang hafal Quran dan Hadist, suka mengkafirkan seseorang/ kafirnya sendiri tidak diperhatikan, kalau masih kotor hati dan pikirannya/ mudah terbujuk nafsu angkara/ yang terjebak pada gemerlap dunia/ iri dan dengki kekayaan tetangga/maka hatinya gelap dan nista. Inilah mengapa semakin tinggi seseorang utamanya di Indonesia yang hafal Quran dan Hadist, tidak menjamin dirinya semakin arif dan bijak menyikapi fenomena keanekaragaman agama di Indonesia.

Semakin kedepan, kita melihat makin muncul dan marak pula golongan yang hendak mencoba mengembalikan kembali konflik di masa silam dengan mengusung panji-panji khilafah islamiyah. Meski gagal dalam tataran merebut kepemimpinan, mereka pun beralih pada metode syariahisasi perda. Anggapannya dengan melakukan hal itu, maka cita-cita islam pun makin terwujud. Padahal, cita-cita islam dengan terwujudnya masyarakat madaniah justru didukung oleh tenteramnya minoritas, tenteramnya pemeluk agama lain, merasa diayomi, dan dipayungi oleh kesejukan dan keberkahan. Itulah etik yang sebenarnya diajarkan dalam Piagam Madinah. Bila mereka beranggapan bahwa kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan islam akan terwujud dengan memaksakan, mengatur orang diluar islam untuk mengikuti kehendak kita, mereka justru salah. Islam yang demikian, sebenarnya belum memahami secara utuh bagaimana situasi dan konteks piagam madinah.

Mengutip Zuhairi Misrawi dalam bukunya Madinah (2009), di buku itu penulis mengutip Nasyirah Hosen dalam Sharia and Constitutional Reform in Indonesia menegaskan bahwa Piagam Madinah merupakan salah satu potret konstitusi yang demokratis. Piagam tersebut menggarisbawahi hak orang-orang Islam dan orang-orang Yahudi yang terlibat dalam perjanjian. Mereka yang terlibat di dalm perjanjian disebut ummah, meskipun diantara mereka adalah kelompok minoritas di Madinah. Uniknya, di dalam piagam tersebut tidak disebutkan terma Negara Islam (h.7).

Buya Syafii sendiri pun menegaskan tentang penerapan Syariah di Indonesia dalam buku Ilusi Negara Islam: Jika syariah islam benar-benar diterapkan sebagai hukum negara, maka perpecahan tidak hanya terjadi antara kelompok Muslim dan Non-Muslim, tetapi juga antar sesama umat Islam sendiri. Kekhawatiran Buya sebenarnya bisa dilihat dari cara-cara kelompok-kelompok yang memaksakan syariah menjadi hukum negara  tidak melihat realitas kebhinnekaan masyarakat kita.

Cara-cara kekerasan seperti bom bunuh diri, teror gereja, hingga pusat-pusat kenegaraan, menunjukkan bahwa kelompok kelompok yang mendaku sebagai islam garis keras ini justru bertentangan dengan ajaran islam yang penuh kasih. Saya jadi ingat kata-kata Abdul Munir Mulkan di bukunya Sufi Pinggiran (2007) : apakah aksi kekerasan dan teror akan membuat semua manusia memilih agama yang diyakininya, atau sebaliknya semakin menjauhkan agama dari kebutuhan hidup manusia di dunia dan membuat manusia terpaksa menjadi kafir?.

Islam, dalam masa-masa mendatang, diuji dan terus digembleng agar memantapkan identitasnya. Identitas umat muslim Indonesia, tentu berbeda dengan umat islam di negara manapun. Sebagai umat yang menyadari kebhinnekaan, menyadari fakta historis masyarakat kita yang plural dan beragam, kita dituntut untuk menjadi payung yang memberi keteduhan bagi minoritas, tanpa harus meninggalkan misi kita sebagai agama rahmat.

Sikap keagamaan yang lebih dewasa, lebih toleran perlu dikedepankan daripada sikap keagamaan yang gampang memusuhi, dendam, bahkan saling bunuh. Sejenak kita renungkan kalimat hikmah dari Kahlil Gibran berikut ini:  Manakala kau telah mampu membunuh kedirianmu yang keji, maka kau akan mampu menjejakkan kaki diatas langit ketujuh.

Inilah sebenarnya puncak dari sikap keagamaan kita, mengalahkan diri, mendidik diri, serta tak menuruti ego diri sendiri, terlebih dalam beragama. Dengan demikian, pluralisme dan kebhinnekaan akan tetap terjaga. Begitu pula sebaliknya, bila yang diajukan, diandalkan adalah ego dalam beragama, apalagi pemaksaan kehendak dengan kekerasan, apalagi saling menyakiti dan menyinggung keyakinan umat agama lain, maka pluralisme kita semakin redup, bahkan semakin ditanggalkan dalam realitas kehidupan beragama kita.

*) Tuan rumah Pondok Filsafat Solo

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan