Apakah kemerdekaan masih bermakna jika kita tidak mengenal literasi? Pertanyaan ini merupakan refleksi saya di tengah kemeriahan perayaan kemerdekaan Indonesia ke 72. Kegelisahan ini bermula saat saya berdialog dengan mahasiswa baru. Saya mendapatkan kesempatan diskusi tersebut pada penyelenggaraan program orientasi mahasiswa baru di berbagai fakultas.
Tema diskusi saat itu adalah sejarah gerakan pemuda di Indonesia. Kami membincangkan tokoh-tokoh kemerdekaan serta aktifitas mereka sewaktu menjadi mahasiswa. Perbincangan kemudian menyinggung kontribusi pemuda terhadap perjuangan kemerdekaan dan pembentukan identitas bangsa. Kemudian kami mencoba merefleksikan bersama eksistensi keberadaan pemuda di era saat ini pada akhir waktu
Pada suatu waktu, kami menyinggung karya buku yang ditulis oleh tokoh kemerdekaan. Sayangnya, saat saya tanyakan kepada peserta diskusi apakah mereka pernah membaca buku karya tokoh kemerdekaan bangsa Indonesia? Mereka mengaku belum pernah. Peserta diskusi bahkan belum pernah melihatnya. Mereka tidak pernah menyentuh atau melihat secara langsung kumpulan surat Kartini “Habis Gelap, Terbitlah Terang”, “Lahirnya Pantjasila”-nya Soekarno, maupun brosur “Perdjoeangan Kita” milik Sjahrir.
Hal tersebut membuat saya bertanya, apakah guru di sekolah masing-masing peserta tidak mengenalkan literatur sejarah penting tersebut? Dugaan saya kemudian dibenarkan oleh lulusan sekolah menengah tersebut bahwa tidak ada pengenalan buku karya tokoh perjuangan. Perpustakaan sekolah juga diragukan menyediakan literasi sejarah jika melihat kurangnya guru memberikan perhatian pada pengenalan buku-buku. Siapa lagi yang akan mengusulkan belanja buku sejarah perpustakaan jika bukan dari usulan guru?
Jika melihat kasus ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ribuan lulusan sekolah bangsa kita, menamatkan studi dengan buta literasi pada tiap tahunnya. Meskipun buta huruf sudah mampu diberantas oleh pendidikan kita, namun buta literasi belum sepenuhnya hilang. Murid-murid terus memperingati kemerdekaan tiap tahunnya tanpa mengerti pemikiran dan cita-cita para pejuang kemerdekaan.
Pemupukan rasa kebangsaan untuk pelajar masih sebatas upacara,twiboon, berbaris, karnaval, maupun kemeriahan lomba-lomba 17 agustusan. Kebhinekaan hanya dipahami dalam baju-baju daerah. Padahal persoalan kebangsaan kita tidak cukup diselesaikan dengan persoalan baju tradisional semata. Problematika yang mengancam kebhinekaan seringkali berpangkal pada persoalan pemikiran dan sosial ekonomi.
Literasi Kemerdekaan
Jika kita menelaah arus makro siklus pendidikan kita, problematika literasi sudah sedemikian memprihatinkan. Kampus sebagai “hulu” pendidikan, pencetak guru-guru, ternyata tidak jauh berbeda keadaannya dengan sekolah sebagai “hilir” pendidikan. Dosen kampus kurang mengenalkan buku-buku pada mahasiswanya.
Materi praktis dalam bentuk Power Point bahkan seringkali menyingkirkan buku-buku induk dalam pelajaran kuliah. Kebiasaan dosen ini lalu ditiru oleh mahasiswa yang kemudian mengajar sebagai guru di sekolah-sekolah tempat mereka bekerja. Murid-murid pun menjadi korban buta literasi.
Bangsa kita tentu sangat membutuhkan warga yang melek literasi sejarah. Kita bisa membayangkan bagaimana faham radikalisme baik kanan maupun kiri dapat ditangkal jika kita membaca Buku “Lahirnya Pantjasila”? Ketidaktahuan tersebut menyebabkan ia rentan terhadap pengaruh doktrin ekstrim tersebut karena dianggap memuaskan nalar dan rasa ingin tahu mereka.
Pemuda tidak akan mengerti bagaimana Pancasila merupakan filosofi bangsa yang sangat hebat diantara bangsa yang lainnya jika tidak membaca Pidato Soekarno tersebut. Pemuda tidak faham bahwa dalam perumusan Dasar Negara tersebut merupakan sebuah sintesa budaya yang diambil dari jiwa bangsa seluruh Bangsa Indonesia. Pemuda tidak ikut merasakan bagaimana Soekarno menggali “lima mutiara” tersebut dalam kalbunya Rakyat Indonesia.
Ketidaktahuan perempuan terhadap apa isi hati dan cita-cita Kartini dalam Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” juga berakibat sama. Mahasiswi tidak tahu bahwa di balik kebebasan untuk belajar di sekolah maupun kampus, terdapat amanah besar untuk perempuan. Hak yang sama mendapat ruang dalam pendidikan tidak dimanfaatkan dengan menghabiskan buku-buku dan berproses sebagai seorang pelajar.
Sebagian perempuan yang gandrung persoalan gender namun mengabaikan literasi sejarah seringkali salah paham. Wacana kesetaraan gender seringkali dipahami sebagai persaingan antara laki-laki dan perempuan. Padahal Kartini berkata bahwa kesetaraan bukanlah untuk kedua jenis tersebut bersaing, namun bekerja sama membangun bangsa.
Sejarah mencatat bangsa kita menaruh perhatian besar dalam pemberantasaan buta huruf . Kampanye pemberantasan buta huruf dilakukan secara masif sejak 1948. Bung Karno sendiri menjadi pengajar pertamanya. Upaya ini dilanjutkan oleh Soeharto dalam program paket ABC. Program tersebut tentu bertujuan agar bangsa kita mampu membaca dan menjadi cerdas. Kecerdasan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Kecerdasan tentu tidak akan terwujud jika melek huruf tidak dibarengi melek literasi. Bangsa kita akan tetap menjadi bodoh jika tidak mengakrabi buku-buku. Kemerdekaan tidak akan banyak berarti jika generasi muda tidak merdeka dari buta literasi. Merdeka haruslah merdeka dari kebodohan. Merdeka harus membaca. jika tidak, bangsa kita akan menjadi korban hoax dan isu-isu yang menyesatkan. Merdeka!
Belum ada tanggapan.