24 Oktober merupakan tanggal lahirnya Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Semua civitas akademika UMS bergembira menyambut bertambahnya umur kampus UMS yang ke 59 tahun. Berbagai acara dipersiapkan untuk memeriahkan hari jadi UMS yang akan diselenggarakan akhir Oktober tahun ini. Saya pun ikut bergembira karena menjadi salah satu mahasiswa UMS yang akan berpanjang umur.
Luapan kegembiraan saya jatuh pada sebuah buku kumpulan Pidato Rektor pertama sekaligus pemprakasa berdirinya UMS yaitu Moh Djazman (Menatap Masa Depan, Humas UMS 1991). Rasa penasaran menuntun saya membuka dan mencermati setiap isi pidato yang ia sampaikan setiap peringatan Dies Natalis UMS selama ia menjabat. Bagi saya, peringatan Hari Jadi UMS seyogyanya tidak boleh mengabaikan Djazman.
Lembaran pertama yang saya buka adalah biografi ringkas Moh Djazman di halaman terakhir. Saya ingin mengenal Djazman lebih dekat. Biografi ringkas itu menjelaskan karier Djazman selama hidupnya. Ia dikenal sebagai tokoh penting berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Karier nasionalnya tercatat sebagai anggota DPRGR/MPRS pada tahun 1966-1971. Selain itu, ia juga pernah diangkat menjadi anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPN) dan Lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam (LPTAIS) Departemen Agama.
Kiprah Djazman dalam persyarikatan Muhammadiyah juga sangat besar. Ia pernah menjabat sebagai Pimpinan Umum Suara Muhammadiyah. Selain mendirikan IMM, ia juga dikenal sebagai pencetus terbentuknya Badan Pendidikan Kader. Badan ini kemudian menjadi Mejelis Pendidikan Kader (MPK) Muhammadiyah saat ini.
Keterangan tersebut memberi informasi kepada saya bahwa Djazman merupakan seorang intelektual yang bergerak dalam bidang pendidikan dan perkaderan. Penguasaan Djazman dalam soal pendidikan bisa dilihat dalam setiap isi dan ruh tulisannya. Salah satunya adalah pidatonya dalam Dies Natalis UMS ke 31 yang berjudul “Mimbar Perguruan Tinggi adalah Mimbar Akademik, bukan Tempat Hura-Hura”.
Pidato tersebut berisi soal kebebasan mimbar akademik. Djazman menyampaikan bahwa kehidupan akademik tidak mengenal istilah orang lain. Ilmu bersifat universal, karena itu ilmuwan disatukan oleh etika akademik untuk mengabdikan ilmu bagi kepentingan masyarakat. kehidupan akademik tidak mengenal dinding antar kampus karena yang ada adalah kebersamaan yang bertanggungjawab.
Kebersamaan dan hilangnya istilah the other memiliki konsekuensi bahwa mimbar akademik menjamin kebebasan untuk belajar kepada siapapun. Ras, agama, bangsa, dan batas primordial lainya tidak menjadi sekat untuk berguru. Hal ini juga dicontohkan oleh Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, dengan mendirikan sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu modern produk bangsa Barat.
Kebebasan mimbar perguruan tinggi adalah hak sekaligus martabat perguruan tinggi. Kebebasan mimbar perguruan tinggi terpimpin oleh kode etik akademik. Oleh karena itu, ia bukanlah mimbar bebas yang boleh seenaknya digunakan untuk orasi dan hura-hura. Hal semacam itu tentu sangat jauh dari cermin masyarakat ilmiah.
Djazman mengingatkan bahwa kebebasan mimbar perguruan tinggi tidak boleh disalahgunakan. Ia menyebutkan banyak prestasi akademik yang telah dicapai dan tidak sedikit yang jatuh di mimbar tersebut. Sebab itu, perguruan tinggi tidak perlu jatuh di mimbar karena mengubah fungsinya menjadi sekadar mimbar oratorik dan hura-hura. Mimbar bebas yang demikian akan mengorbankan tugas dan fungsi pokok perguruan tinggi sebagai lembaga keilmuan.
Bukan Mimbar Politik
Saya termenung setelah membaca pidato Djazman tersebut. Angan saya kemudian menerawang kehidupan akademik yang saya alami di universitas tempat saya menimba ilmu saat ini. Beberapa peristiwa yang terjadi seolah menjadi alarm bahwa mimbar akademik kampus mengalami kemrosotan. Mimbar oratorik sekedar hura-hura yang dikhawatirkan Djazman dapat ditemukan di sekitar kita.
Sebut saja demonstrasi mahasiswa tanpa budaya literasi yang kuat. Orasi-orasi yang disuarakan seringkali tidak mendalam sehingga merosot kualitasnya menjadi umpatan-umpatan. Fungsi penelitian sebagai ciri insan akademis tidak difungsikan dalam menyusun gerakan demonstran. Tuntutan yang dibawa akhirnya mudah dipatahkan dan kurang mewakili rakyat yang diperjuangkan. Demosntrasi akhirnya menimbulkan kesan kericuhan, kemacetan, hura-hura, serta pesanan kepentingan kelompok tertentu.
Kampus belum mampu mengusahakan mimbar akademik yang bebas dari hura-hura premanisme. Pembubaran paksa beberapa diskusi dan pemutaran film yang membahas kasus 65 menjadi contohnya. Saya mengerti kekhawatiran kampus soal pengaruh ideologi komunisme yang dapat ditimbulkan oleh film dan diskusi semacam itu. Namun larangan dan pembubaran bukanlah cermin etik akademik yang mengedepankan diskusi dan sikap ilmiah. Kampus seharusnya bijak dalam membina rasa ingin tau pemuda. Hal yang terlarang perlu dipelajari agar kita tidak melanggar.
Kegelisahan saya kemudian tertuju pada gambar rangkaian agenda Hari Jadi UMS ke 59 tahun 2017. Saya ketahui dari jadwal tersebut bahwa Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto akan dijadwalkan mengisi orasi ilmiah.
Benak saya bertanya, mengapa Universitas mengundang seorang tokoh politisi? Bukankah undang-undang perguruan tinggi melarang sekelas organisasi pemuda ekstra kampus karena berbau politik? Bukankah dahulu Daoed Jusuf melarang aktifitas politik di kampus melalui NKK-BKK? Saya khawatir kedatangan Prabowo merupakan agenda setting politik pemilu 2019. Saya tidak mau berspekulasi lebih jauh.
Mimbar akademik seyogyanya diperuntukan pada ilmuwan dan intelektual. Memberikan mimbar kepada politisi merupakan hal yang agak aneh. Hal ini berbeda dengan Djazman yang sering mengundang kalangan intelektual, ilmuwan maupun pemerintah dalam Dies Natalisnya.
Rektor Institute Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr. Wiranto Arismunandar pernah diberi mimbar dalam Dies Natalis UMS. Budayawan W.S Rendra, serta Menteri Sekertaris Negara, Mayor Jendral Drs. Moerdiono juga pernah ia datangkan di UMS. Hal semacam ini tentu patut diteladani oleh generasi pimpinan kampus yang kemudian.
Saya hanya berharap, pesan Moh Djazman dalam pidato Dies Natalis tentang mimbar akademik tidak diabaikan di hajatan Hari Jadi UMS. Mimbar akademik bukanlah mimbar orasi politik. Kampus harus kokoh memegang martabatnya sebagai lembaga keilmuan serta menjaga diri dari putaran deras kepentingan politik pemilihan umum 2019.
Mimbar akademik akan berubah menjadi panggung oratorik dan hura-hura politik ketika kampus tidak mampu menjaga diri dari politik. Martabat universitas tercinta ini akan jatuh karena hal tersebut. Hal semacam ini tentu tidak diinginkan oleh Djazman yang namanya diabadikan di Auditorium UMS.
Penulis merupakan Mahasiswa Aktif Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Bahasa Inggris, Penulis juga pernah menjadi Ketua Umum IMM Cabang Surakarta tahun 2016-2017.
Belum ada tanggapan.