Entah angin mana yang menghembuskan polemik pajak untuk penulis, khususnya penulis buku. Ya, saya harus membatasi pajak penulis buku karena di luar sana banyak orang dengan profesi penulis selain penulis buku. Contohnya penulis naskah drama, naskah sinetron, ghost writer, penulis soal, penulis iklan advertorial, kasarnya penulis ‘pocokan’ yang menulis berdasar pesanan. Karena pusaran masalah ada pada royalti penulis buku, maka tulisan ini hanya untuk menambahkan satu pandangan bagaimana pajak untuk penulis buku, dalam kasus ini, pajak atas royalti penulis buku sebagaimana yang dipersoalkan Tere Liye hingga Dee Lestari.
Singkat cerita, Tere Liye mempersoalkan pajak atas royalti yang dirasa kurang adil bagi penulis. Kekecewaan Tere Liye akan pajak atas royalti ini kemudian diikuti dengan pengumuman pelarangan penerbitan buku lebih lanjut kepada Gramedia & Republika Penerbit. Anda bisa membaca lengkap pernyataan Tere Liye di laman facebooknya.
Bak bola salju, polemik pajak atas royalti penulis buku pun semakin membesar. Pengamat perpajakan, penggiat industri buku hingga penulis buku sekelas Dee Lestari turut menyumbangkan pemikirannya. Di tulisannya Royalti dan Keadilan, secara gamblang Dee Lestari menegaskan adanya ketidakadilan dalam perlakuan pajak kita kepada penulis buku. Meski Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan penegasan melalui siaran pers Klarifikasi terkait Pemberitaan Mengenai Pajak Penghasilan Terhadap Profesi Penulis, namun di lapangan masih terjadi ketidaksinkronan kebijakan pajak untuk penulis ini. Apa masalahnya?
Sebelum kita membahas pajak untuk penulis, mari kita lihat dulu skema-skema penjualan buku dari penulis berikut ini:
- Skema 1: Beli Putus. Pada skema ini, penulis menyerahkan draft tulisan ke penerbit karena penerbit membeli naskah untuk dibukukan. Pembayaran yang diterima penulis hanya sekali yaitu pada saat naskah diserahkan ke penerbit. Tulisan menjadi hanya semacam produk jadi dari hasil kerja penulis dan setelah dijual, penulis tidak memiliki hak apapun atas tulisan tersebut.
- Skema 2: Bagi hasil. Pada skema ini, penulis mendapatkan bagian keuntungan dari setiap penjualan buku yang diterbitkan dan laku dijual. Biasanya antara 10% – 15% dari nilai buku yang laku dijual. Jika buku tidak laku, maka penulis tidak mendapat apa-apa selain nama tenar. Pada skema bagi hasil ini, hak cipta dan kekayaan intelektual ada pada penerbit buku, bukan pada penulis.
- Skema 3: Royalti. Pada skema ini, penulis memperoleh royalti atas hak cipta dan kekayaan intelektual yang dimilikinya, terlepas dari apakah buku laku terjual atau tidak. Dengan kata lain, hak cipta tulisan dan kekayaan intelektual berada pada penulis. Besaran royalti tergantung pada perjanjian antara penulis dengan penerbit & distributor buku. Hak yang diberikan penulis ini juga bisa memiliki batasan-batasan tertentu, misalnya hak pengalihbahasaan pada wilayah tertentu, penggandaan hanya dalam waktu tertentu maupun distribusi hanya pada wilayah tertentu. Pada skema ke-3 ini penulis benar-benar menikmati apa yang disebut petugas pajak sebagai passive income.
Riuhnya polemik pajak untuk penulis terjadi, dugaan saya, karena penulis dan petugas pajak gagal membedakan antara skema bagi hasil dengan royalti yang sesungguhnya. Memang benar bahwa industri buku menyebut ‘bagi hasil penjualan 10%’ sebagai royalti kepada penulis. Prasangka buruk saya, mungkin biar penulis kelihatan keren punya royalti meskipun melarat. Namun, penyebutan royalti untuk bagi hasil ini adalah salah kaprah yang entah sengaja atau tidak, dilestarikan.
Jika Anda penulis dan mendapat “royalti” dengan model semacam itu, silahkan cek hak cipta & hak kekayaan intelektual buku, apakah atas nama Anda atau atas nama penerbit. Jika hak cipta ada pada penerbit, maka 10% yang Anda terima bukanlah royalti sebagaimana terminologi royalti dalam perpajakan.
Sebagai pembanding, saya membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer di mana hak cipta adalah milik penulis yaitu Pramoedya Ananta Toer. Hak seperti ini eksklusif sehingga Pramoedya atau orang yang diberi kuasa untuk mewakilinya, berhak mendapat royalti tanpa harus menanggung biaya apapun maupun kerugian apapun. Andai penerbit dan distributor gagal menjual buku-buku Pramoedya, maka sudah sewajarnya risiko kerugian ada pada penerbit dan royalti tetap harus dibayar sesuai dengan bunyi kontrak antar kedua belah pihak.
Jika kita menilik aturan perpajakan, yang dimaksud dengan royalti adalah jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas: (salah satunya) penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan. (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan). Dengan kata lain, penghasilan berupa royalti yang dikenai PPh Pasal 23 sebesar 15% dari penghasilan bruto sebagaimana yang dikeluhkan Dee Lestari & Tere Liye, hanya dapat terjadi jika ada ‘harta tidak berwujud berupa hak’. Konsekwensi lain dari hal ini adalah bahwa penerbit buku dan distributor tidak diperbolehkan memotong PPh Pasal 23 jika harta tidak berwujud (entah itu hak cipta, hak penggandaan maupun hak distribusi) diambil oleh penerbit. Petugas pajak juga mestinya memahami hal ini, yaitu bahwa passive income mensyaratkan adanya harta, baik berwujud maupun harta tidak berwujud.
Sejauh ini tidak ada yang salah dengan ketentuan perpajakan terkait pajak untuk penulis buku ini. Namun pemahaman yang kurang utuh, barangkali yang membuatnya jadi tampak kurang adil.
Kesimpulan dari tulisan ini, dengan memperhatikan skema penyerahan naskah buku sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka dapat kita simpulkan:
- Untuk penulis dengan skema 1, pemajakannya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana ditegaskan Ditjen Pajak. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan pajak adalah sebesar 50% dari jumlah bruto yang diterima.
- Untuk penulis dengan skema 2, pemajakannya sama dengan skema 1, yaitu menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan catatan, penulis tidak memiliki hak apapun atas tulisan yang diserahkan. Dengan kata lain, penulis hanya menyediakan ‘jasa tulis’ bagi penerbit. Jika penulis memiliki hak cipta atau hak lain yang terkait dengan tulisannya, artinya penulis memiliki harta tidak berwujud, maka pemajakannya menggunakan PPh Pasal 23 yaitu dipotong 15% dari penghasilan bruto. Dasar hukum untuk pemotongan ini adalah Pasal 23 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan. Hak di sini harus berkekuatan hukum dan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku tentang Hak atas Kekayaan Intelektual.
- Untuk penulis dengan skema 3, jelas merupakan obyek pajak penghasilan pasal 23 sehingga dipotong pajak penghasilan sebesar 15% dari penghasilan bruto dan bersifat tidak final atau bisa dikreditkan pada SPT Tahunan.
Semoga bermanfaat.
Belum ada tanggapan.