kekerasan-sosial-dan-cara-berpikir-kuno

Kekerasan Sosial sebagai Persoalan Berpikir

Selasa, 1 Agustus 2017 satu nyawa harus melayang karena sebuah “dugaan”. Musibah itu menimpa Muhammad Aljhara (Zoya), seorang teknisi yang sehari-hari bekerja memperbaiki amplifier. Kepala keluarga berusia 30 tahun itu tewas secara tragis oleh amukan massa yang tersulut emosi. Korban tak mampu melindungi diri, bahkan sujud meminta maaf sudah tidak berguna. Citra bangsa kita yang terkenal ramah perlu disangsikan melihat fenomena sosial tersebut.

Sebuah “dugaan”, perkiraan yang belum sebenuhnya benar, ternyata begitu mudah memimpin perilaku masyarakat. Seusai pengejaran terhadap Zoya berhenti di tepi kali, teriakan maling muncul dari massa berkerumun di sekitar lokasi tersebut (Tribunnews.com, Selasa 15 Agustus 2017). Penalaran dan tabayun sebagai ciri makhluk berakal tidak hadir dalam benak massa. “Pencuri harus dihajar” seakan menjadi rumus apriori yang tidak perlu dibantah atau dipertanyakan lagi, walau masih sebatas dugaan.

Kisah tragis Zoya merupakan satu kisah dari banyak kasus penghakiman massa. Pencuri yang tewas dibakar hidup-hidup sebelumnya juga pernah ramai diberitakan oleh media. Kasus penghakiman massa yang tak terberitakan saya kira masih banyak. Tentu sangat disayangkan penghakiman jalanan terus terjadi. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya menjadi masyarakat sadar hukum. Selain itu, masyarakat kita belumlah menjadi masyarakat rasional yang mendayagunakan pikiran dalam mengatasi persoalan sosial.

Rasionalitas massa yang tumpul bisa kita lihat dari tindakan massa yang berpangkal pada praduga. Selain itu, hukuman apa yang perlu diberikan jika terbukti pencurian amplifier juga berpangkal pada reaksi emosional daripada pertimbangan rasional. Tidak bekerjanya nalar pikir kritis mengakibatkan penganiayaan yang memakan korban. Ketumpulan berpikir akan sangat berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat.

Fenomena kekerasan sosial tidak bisa dipisahkan dengan persoalan berpikir. Lumpuhnya rasionalitas juga sangat membahayakan jika terjadi dalam proses penyelenggaraan negara. Hal ini pernah disinggung oleh Hannah Arendt dalam bukunya “Eichman in Jerussalam, A Report on The Banality of Evil. Buku tersebut menyimpulkan kekejaman teroganisir Nazi yang ditimbulkan tak bekerjanya imajinasi dan proses berpikir kritis. Hal ini disimpulkan Arendt setelah menyaksikan persidangan Eichman, seorang perwira militer Nazi.

Baca juga:

Teori banalitas kejahatan ini kemudian diulas oleh Rieke Diah Pitaloka dalam Bukunya “Banalitas Kekerasan” (Galang Pers : 2004). Buku tersebut menjelaskan kejahatan negara yang merembet pada kejahatan masyarakat. Peristiwa kekerasan sosial terus menggoreskan noda hitam dalam sejarah kemanusiaan bangsa kita. Kenyataan sosial ini tentu mendesak perlunya bangsa kita memperhatikan persoalan berpikir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Filsafat sebagai Metode Pendidikan Masyarakat

Cara berpikir masyarakat perlu diperbaiki. Memperbaiki cara berpikir yang benar merupakan wilayah kerja filsafat. Sebagaimana arti nama filsafat itu sendiri, yaitu “mencintai kebijaksanaan” (philos-sophia), ia merupakan sebuah upaya untuk menjadi seorang yang bajik. Kebijaksanaan dapat diperoleh dengan berfungsinya rasio kritis. Seseorang akan bertindak menggunakan pertimbangan pikiran yang mendalam dengan filsafat.  Perilaku emosional akan terhindar jika filsafat sebagai spirit untuk bertindak.

Filsafat memiliki fungsi praksis sosial yang sangat besar. Masyarakat rasional demokratis sebagai cermin berfungsingnya filsafat dalam kehidupan sosial, oleh Arendt, dinamakan“Polis”. Konsep polis kemudian menjadi cita-cita model masyarakat demokrasi di negara modern. Konsep polis mengantarkan kehidupan sosial pada masyarakat yang bijak.

Filsafat sebagai cara mendidik masyarakat bukanlah hal yang mustahil. Ajakan untuk berpikir kritis telah dikampanyekan secara masif oleh Socrates sejak zaman Yunani kuno. Tokoh filsuf ini berkelana di kalangan pemuda mendiskusikan secara mendalam berbagai persoalan sosial. Metode filsafatnya adalah melalui pengajuan pertanyaan untuk menguji seberapa benar pemahaman. Pemahaman yang benar akan melahirkan sikap yang bajik. Masyarakat yang sehat akan lahir dari individu yang bijak.

Dewasa ini, keberadaan filsafat sering disalahpahami. Filsafat dimengerti sebagai kegiatan berpikir yang hanya membahas persoalan yang abstrak dan tidak memiliki nilai praksis sosial. Filsafat dianggap sebatas kebiasaan golongan masyarakat tertentu saja. Bahkan tidak jarang filsafat dianggap membahayakan keyakinan keagamaan seseorang. Anggapan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Penilaian demikian menjadikan filsafat diabaikan dalam pendidikan.

Hal pokok dan sederhana filsafat dapat diterapkan sehari-hari misalnya soal pentingnya “bertanya”. Peristiwa kekerasan sosial seringkali mengabaikan urgensi bertanya sebagai ciri rasio kritis. Para pelaku penganiayaan Zoya mengabaikan pertanyaan apakah dia betul-betul pencuri? Mereka juga mengabaikan pertanyaan nurani apakah menyiram bensin dan membakar hidup-hidup merupakan hal yang manusiawi? Padahal sering kita dengar pepatah populer “malu bertanya sesat di jalan”. Kejahatan sosial merupakan “sesat di jalan” karena enggan bertanya dan berpikir.

Kehadiran filsafat tentu sangat penting dalam menjaga ketentraman bermasyarakat. Pendidikan perlu memberikan porsi filsafat dalam sekolah, terutama Universitas, Agar murid memiliki cara berpikir yang benar. Sedikitnya pelajaran berpikir ditambah budaya dialog yang minim di kampus tentu membuat sarjana tidak memiliki kecakapan mengambil putusan yang benar.

Masyarakat dapat dididik berfilsafat melalui prinsip berpikir yang benar, yang bisa saja disisipkan dalam ajaran moral. Kemampuan berpikir yang benar dalam bermasyarakat dapat dibudayakan melalui ruang dialog yang demokratis. Permasalahan sosial tidak akan berujung pada penganiayaan dan penghakiman jalanan jika dialog sehat menjadi spirit bermasyarakat. Kehidupan sosial akan menjadi sehat dengan cara berpikir yang sehat.

 


Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Penulis juga merupakan Pengelola Toko Buku Online Abjad Rakjad.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan