Ada banyak cerita yang mengatakan kalau mahasiswa sekarang ini sangat apatis dan apolitis. Mereka digambarkan sebagai kelas masyarakat yang terpisah dari kenyataan sosial. Mereka dituduh sebagai kelas masyarakat yang tidak lagi memiliki kepekaan sosial. Waktu mereka hanya habis untuk memuaskan hasrat menjalani hidup yang hedonistik. “Tak ada yang bisa diharapkan dari mahasiswa untuk melakukan transformasi sosial” begitu kata banyak orang.
Berbagai alasan dimunculkan ke permukaan untuk menjawab tuduhan-tuduhan ini. Ada yang bilang beban akademis yang terlalu padat membuat banyak mahasiswa yang tidak sempat memikirkan apa pun di luar tugas-tugas kampus. Ada juga yang mengatakan tuntutan pergaulan membuat kepedulian dan isu-isu sosial tidak punya tempat untuk dibicarakan dalam riuh-rendah gosip kampus. Apalagi jika melihat kemajuan teknologi internet yang membuat mahasiswa (termasuk kita) menjadi manusia individualistik dimana kepekaan sosial tinggal cerita.
Situasi ini mengkhawatirkan. Mahasiswa yang seharusnya berdiri di garda terdepan untuk melakukan perubahan justru tidak bisa lagi diharapkan. Mereka hanya terdiam, bahkan tidak peduli, pada realitas sosial yang kita hadapi, misalnya, persoalan tingginya angka anak putus sekolah, tingkat pengangguran yang semakin parah, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Ketidakseimbangan laju roda pembangunan di perkotaan memunculkan ragam masalah sosial. Salah satunya adalah kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 28,01 juta atau sekitar 10,86% dari total penduduk (Kompas, 19/7/2016). Tapi, perlu diingat acuan BPS untuk mengukur kemiskinan hanya dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Artinya kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan dari sisi pengeluaran.
BPS hanya menggunakan satu tolok ukur saja dalam mendata jumlah orang miskin di Indonesia, yaitu daya beli terhadap makanan. BPS tidak menggunakan persyaratan dan kondisi yang tidak ketat mengenai defenisi garis kemiskinan. Artinya, 10,86% adalah angka yang bias jika melihat arti kemiskinan secara nyata. Tentu angka ini akan bertambah besar jika melihat kemiskinan secara multidimensional, dimana faktor-faktor tentang kesejahteraan dan aktualisasi diri diikutsertakan sebagai tolok ukur kemiskinan.
Buktinya, jika pendataan menggunakan standard Bank Dunia yang mendefenisikan kemiskinan penduduk dengan penghasilan kurang dari USD 2 perhari, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapi 50,6% pada tahun 2009. Hampir setengah penduduk Indonesia masuk dalam pusaran garis kemiskinan.
Kemiskinan adalah realitas Indonesia. Ini tak bisa dipungkiri. Kenyataan ini menimbulkan satu pertanyaan, “Apa yang harus kita lakukan untuk memberantas kemiskinan?”
Semua lembaga masyarakat harus berperan serta untuk mengentaskan kemiskinan; salah satunya lembaga pertungguan tinggi. Universitas, sebagai media pendidikan, seharusnya ikut urun gagasan dan tindakan dalam menyikapi persoalan yang satu ini. Jika melihat salah satu isi dari tridhama perguruan tinggi, yaitu “Pengabdian pada masyarakat”, maka kampus seharusnya turun campur untuk mengurangi kemiskinan. Entah lewat kurikulum atau Kuliah Kerja Nyata (KKN), dunia kampus harus berpikir keras menemukan solusi bagaimana agar kita terlepas dari realitas kemiskinan ini.
Mahasiswa harus meningkatkan kepedulian sosialnya. Mahasiswa, dalam kesehariannya, tidak bisa lagi menghabiskan waktu hanya untuk mengejar standar “gaul dan keren” dalam kesehariannya. Mereka harus bisa mengembangkan sikap empati pada realitas kemiskinan yang terhampar telanjang di depan kita. Dengan disiplin ilmu yang digeluti, setiap mahasiswa seharusnya mulai berpikir kritis dan bertindak taktis untuk menurunkan angka kemiskinan yang begitu tinggi itu. Puisi Widji Tukul yang mengatakan, “Apa gunanya membaca buku jika mulut kau bungkam melulu,” setidaknya menjadi seruan agar mahasiswa lebih proaktif dalam meningkatkan kepedulian sosial secara nyata.
Pemerintah kota Surabaya dalam pemberitaan Kompas sedang meniti sebuah program yang mengajak para mahasiswa untuk ikut berperan serta dalam memberantas kemiskinan (17/10/2016). Nama program itu Campus Social Responsibility (CSR).
CSR merupakan program kerjasama pemkot dengan perguruan tinggi (PT). Kegiatan yang digagas sejak 2014 ini melibatkan mahasiswa untuk mendampingi anak putus sekolah dan anak rentan putus sekolah. Setiap mahasiswa bertanggung jawab terhadap satu adik asuh. Dari program ini diharapkan ada transfer ilmu pengetahuan dan wawasan dari mahasiswa kepada adik asuhnya. Tujuannya untuk mengembalikan anak-anak penyandang masalah sosial ke bangku sekolah.
Mahasiswa yang ikut dalam program ini berperan sebagai “kakak” untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak putus sekolah. Mereka juga diharapkan mampu menemukan solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi adik asuhnya.
Sebagai gambaran, jumlah anak terlantar di kota Surabaya pada 2011 berjumlah 265 anak. Kemudian pada 2014 jumlah itu bertambah menjadi 430 anak. Asumsi logisnya, pertambahan jumlah anak terlantar itu berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah kemiskinan. Ini merupakan persoalan sosial yang cukup serius. Kemiskinan disinyalir sebagai akar masalahnya. Jika anak-anak ini dibiarkan putus sekolah, maka kecil kemungkinan mereka akan lepas dari pusaran kemiskinan ini.
Selain untuk membimbing adik asuh, CSR juga mendorong mahasiswa untuk membantu masyarakat mendapatkan akses kesehatan, mengurus administrasi kependudukan, hingga bantuan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Jika dicermati, program CSR tidaklah mengerjakan sesuatu yang bombastis. Apa yang mereka lakukan bisa dikatakan hanya pekerjaan kecil yang sederhana. Tapi setidaknya, dari program kecil nan sederhana itu, para mahasiswa yang ikut didalamnya setidaknya bisa mengalami, melihat, dan merasakan langsung realitas kemiskinan itu. Dari situ diharapkan tumbuhnya kepekaan sosial diantara mereka. Hingga akhirnya, pengabdian kepada masyarakat mudah-mudahan bisa menjadi gaya hidup setelah mereka lulus kelak.
Mahasiswa harus berperan serta dalam mengentaskan kemiskinan. Ditangan mahasiswalah masa depan bangsa ini pertaruhkan. Apa yang dilakukan mahasiswa di Surabaya dengan program CSRnya, setidaknya bisa jadi teladan bahwa ada banyak hal yang bisa mahasiswa kerjakan untuk membantu menekan angka kemiskinan.
Jika generasi penerus bangsa ini tidak lagi peduli, kepada siapa lagi kita menaruh harapan demi masa depan Indonesia yang lebih baik?
Belum ada tanggapan.