Konon, perjalanan peradaban manusia selalu bergeser. Perjalanan peradaban manusia yang saya pahami di mulai dari peradaban pra modern, ke modern, lalu berakhir pada situasi pasca modern. Dalam perjalanan tersebut ada nilai positif dan negative yang berpengaruh pada nilai-nilai kemanusiaan.
Hasan, seorang penulis buku krisis dan kehancuran, menjelaskan fenomena pergeseran budaya dan peradaban tersebut dengan gamblang. Hasan menulis: “Manusia telah menjadi congkak dengan puncak – puncak keberhasilan — kebudayaan dengan meyakini segala loncatan besar sekarang ini adalah fakta kecemerlangan daya logis manusia—, meski pada saat yang sama sesungguhnya kita sedang bunuh diri secara perlahan-lahan. Setidaknya,kita merasakan betapa kita telah demikian jauh dengan diri kita sendiri, dengan perasaan kita sendiri. Kita nyaris hidup tanpa rasa dan perasaan” (Hasan Ma’arif, 2001).
Melihat situasi semacam itu, tentunya dalam konteks keIndonesiaan, saya sebagai manusia yang hidup di bawah zaman pasca-modern menjadikan rasa prihatin tersendiri dari lubuk hati paling dalam. Zaman dimana dan apapun menjadi serba cepat. Hal tersebut menurut saya sedikit-demi sedikit akan mengkikis nilai tradisionalis yang seharusnya mengedepankan etika, adat, dan budi luhur manusia, begitu juga dengan sikap kemanusiaan lainnya seperti halnya gotong royong dalam kemasyarakatannya.
Beberapa studi kasus yang menjadi varian untuk kita renungkan yaitu terjadinya kemajuan dalam segi teknologi komunikasi dan informasi, menjadi lahan garap bagi para penjahat dunia cyber. Menurut data yang di sampaikan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menyatakan, setidaknya ada 537 kasus cyber crime pada tahun 2016.(sumber : viva.co.id)
Begitu pula dengan trend fashion manusia Indonesia yang kebarat-baratan. Yang seharusnya masyarakat kita tetap memakai budaya berpakaian yang mencerminkan sebagai masyarakat Indonesia. Seperti halnya pakaian adat yang tetap di perkenalkan kepada antar generasi, ataupun pakaian umum yang masih mencerminkan ke Indonesiaan. Akan tetapi hal tersebut menjadi harapan kecil bagi kita jika ingin mengembalikan pada jati diri masyarakat Indonesia yang kaya akan budayanya dalam satu bingkai masalah berpakaian, karena sajian iklan dalam televisi saat ini dengan kebanyakan produk-produk impor dari barat mengkonstruksi pikiran manusia untuk mengkonsumsi produk tersebut.
Dengan fenomena yang seperti itu tidak berlebihan jika disini saya katakan bahwa pergeseran budaya akan membawa arus dalam metamorfosis sosial. Perubahan struktur budaya dan sosial masyarakat yang saya maksud disini ialah masyarakat yang kian lama menjadi robot perbudakan dalam arus modernitas. Menerima segala hal secara instan tanpa adanya filterisasi akan konsep kemajuan yang berkembang. Mungkin inikah yang diinginkan dari manusia itu sendiri dalam sejarah peradaban pemikiran umat manusia
Seperti isyarat yang di sampaikan oleh Muhammad Quthb yang mengilustrasikan sikap masyarakat modern yang meletakkan akidah satu disiplin yang mendasari keyakinan ketuhanan, tidak lebih merupakan sesuatu yang menduduki peringkat terakhir dalam pemikiran mereka. Ide yang berkembang diantara mereka adalah keinginan menciptakan tatanan hidup menyangkut ekonomi, sosial dan politik seperti apa yang mereka kehendaki secara pribadi. Sementara soal akidah merupakan sesuatu yang memerlukan pemikiran berkelanjutan.
Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa adanya pengesampingan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan agama, yang menjadikan nalar etika masyarakat tidak bersentuhan dengan kaidah ketuhanan, yang kemudian membentuk pola budaya baru dan tidak adanya keteraturan sosial. Seperti apa yang diungkapkan oleh Jurgen Habermas “Keteraturan sosial adalah kehidupan sosial yang meliputi keseluruhan sebagaimana tindakan komunikasi”. Dalam masyarakat sosial yang memang sejatinya manusia bergantung pada manusia lain merupakan tindakan saling ketergantungan dan keberpihakan di satu sisi lain merupakan misi kemanusiaan.
Maka dalam hal ini saya beranggapan bahwa pergeseran budaya dan metamorfosis sosial merupakan bentuk ancaman. Dalam zaman ini dimana masyarakat akan teralienasi dari situasi kehidupannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Ditambah dengan melorotnya keimanan dan kematian kemanusiaan yang menjadikan manusia saat ini lupa akan sikap sosial yang harus menjadi pihak utama dalam berkehidupan.
Untuk itu masyarakat harus kembali kepada wilayah keberimanannya yang menjadikan budaya dan sosial berimbang. Seperti apa yang digaungkan oleh Gus Mus yaitu berimbang pada saleh spiritual dan saleh sosial. Kekuatan keimanan akan kembali teruji dalam dinamika kemasyarakatan. Kesalehan personal akan mengakibatkan terciptanya struktur masyarakat yang juga saleh sosial. Tidak ada kebaikan yang tidak mungkin terjadi jika kita menghadirkan tuhan dalam diri kita. Agama sebagai pandangan hidup dan mengatur kehidupan. Sosial dan budaya menjadi pola berkemanusiaan dan kemasyarakatan.
Daftar pustaka
Ma’arif,Hasan.2001.”Krisis dan kehancuran (kritik atas fenomena masyarakat modern)”.Pustaka dinamika : Yogyakarta.
Nugroho,Heru.2000.”Menumbuhkan ide-ide kritis”. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan pegiat Rumah Baca Srawung (Solo).
Belum ada tanggapan.