sekolah-pada-sastra

Perhatian Pemerintah Pada Sastra

Konon, Soekarno adalah seorang presiden yang sangat mencintai sastra. Kecintaan Soekarno pada sastra dimulai sejak ia masih sangat belia. Im Yang Tjoe (2008) seorang penulis biografi Soekarno mencacat, kecintaan Soekarno pada sastra telah tumbuh sejak ia baru berumur belasan tahun.

Pada usia 14 tahun Soekarno memiliki seorang karib bernama Wagiman. Wagiman adalah seorang petani tua yang hidup serba kekurangan. Persahabatan Soekarno dan Wagiman didasari oleh kecintaan mereka pada sastra. Mereka sama-sama mencintai wayang dan sering menghabiskan waktu berdua untuk bercerita seputar kisah pewayangan.

Bagi Wagiman, Soekarno adalah sahabat cilik yang setia mendengarkan setiap kisah wayang yang diceritakannya. Bagi Seokarno, Wagiman adalah guru sekaligus inspirator yang pandai menerbangkan imajinasi dan cita-citanya.

Soekarno kecil suka sekali pada tokoh wayang bernama Bima. Bagi Soekarno kecil, Bima adalah simbol kebenaran dan keadilan. Sosok Bima menginspirasi Soekarno agar menjadi manusia berani. Soekarno muda berprinsip: tidak akan takut pada apapun jika ia merasa benar. Kebenaranlah yang menjadi pijakan soekarno dalam bertindak.

Ketokohan Bima membuat Soekarno terkenal diawal karir kepenulisannya. Saat Soekarno melanjtkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS) Surabaya, Soekarno diam-diam sering menulis artikel di surat kabar Oetosan Hindia pimpinan Tjokroaminito. Soekarno menulis dengan nama samaran Bima. Sebuah nama pena yang sangat akrab dengan batin dan sanubari Soekarno.

Kecintaan Soekarno pada sastra, telah banyak mempengaruhi sikap Soekarno saat ia menjadi aktivis gerakan kebangsaan maupun saat ia menjabat sebagai presiden Indonesia. Tercatat, Soekarno sempat membuat naskah drama di Ende, Nusa Tenggara Timur, saat ia diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, ada juga penerbit yang mempublikasikan puisi-puisi presiden Soekarno bertajuk Puisi-Puisi Revolusi Bung Karno yang dicetak tahun 2002.

Peran pemerintah

Pemerintah yang bertanggung jawab pada asas Clean Goverment, akan memperhatikan sastra sebagai variabel dalam menumbuhkan watak anti korupsi. Presiden Joko Widodo maupun Mentri pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya segera memperhatikan wilayah sastra jika mereka benar-benar ingin melakukan revolusi mental. Pemerintah dan partai yang berkuasa bisa meneladani sikap dan kebijakan Soekarno saat ia masih menjabat sebagai presiden negeri ini.  

Perhatian pemerintah pada sastra, saya rasa bisa difokuskan dalam dua hal. Pertama dalam hal kritik sastra. Saya rasa, kritik sastra adalah suatu hal yang penting dalam memajukan dunia kesuasatraan. Kritik sastra dianggap Saut Situmorang, penulis buku Politik Sastra (2009), sebagai jembatan penghubung antara penulis dan pembaca sastra.

Tanpa kritikus sastra, pemaknaan pembaca pada karya sastra akan sangat dangkal. Dengan perangkat-perangkat teori sastra yang mereka punya, kritikus sastra bisa mengantarkan pembaca pada tingkatan makna yang lebih dalam maupun tingkatan estetis yang lebih tinggi.

Pemerintah bisa megupayakan lahirnya kritikus-kritikus sastra yang handal dengan mengadakan kongres sastra rutin pertahun atau per dua tahunan. Kesadaran Soekarno pada peranan sastra dalam pembentukan karakter bangsa membuat ia sering menjadi sponsor di banyak kongres kebudayaan maupun kesastraan Indonesia.

Dalam kongres sastra dan kebudayaan, Soekarno bukan hanya hadir dan memberi sambutan, namun juga memberikan dukungan finansial dan kesempatan sastrawan Indonesia untuk belajar di luar negeri. Hasilnya, lahirlah sastrawan dan kritikus sastra yang diakui secara internasional.

Setelah itu, sastrawan dan kritikus yang sudah matang bisa ditampung pemerintah dalam lembaga-lembaga pendidikan yang bertujuan untuk menghaluskan budi pekerti. Sebab, saya percaya, selain ilmu agama, sastra adalah sarana yang tepat untuk membentuk karakter dan memperhalus budi pekerti.

Kedua, pemisahan mata pelajaran sastra Indonesia dan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dasar maupun menengah. Pemisahan pelajaran sastra dan bahasa ini bertujuan agar para siswa bisa fokus belajar sastra tanpa terbebani oleh hal-hal lain.

Pemisahan ini telah dilakukan oleh negara-negara maju dengan tingkat apresiasi sastra yang tinggi. Pemisahan ini dikatakan Max Lane, Penulis Unfinish Nation (2008), sebagai strategi jitu untuk mendongkak minat sastra secara optimal. Dengan memisahkan pelajaran sastra dan bahasa Indonesia, para siswa di sekolah-sekolah akan wajib belajar dan membaca karya sastra Indonesia secara serius dan optimal.

Dengan pelajaran sastra yang lebih maksimal, para siswa diharapkan akan lebih mengenali kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Dengan begitu revolusi mental yang menjadi jargon Jokowi selama kampanye bukan hanya sekedar jargon, namun suatu program resmi yang bisa dilihat praktek nyatanya.

Begitulah kewajiban pemerintah dalam memajukan sastra. Saya rasa, pemerintah yang bisa memajukan sastra adalah pemerintah yang lebih bersih. Sebab, seperti ucapan presiden John F. Kennedy, jika politik itu kotor, puisi (sastralah) yang membersihkannya. Insya Allah.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan