Di balik buku yang kita beli ataupun baca, ada sesuatu yang bisa dikatakan memiliki ‘ruh’ dan menstimulus laku serta rasa kita. Stimulus itu yang bisa membuat kita tertawa, menangis, ketakutan, marah, dan terdiam. Ekspresi dan representasi kita itu merupakan ekspresi dan representasi dari buku. Kita hidup bersama buku. Kita berbicara, menulis, mendengar, dan menyimak, semuanya itu berakarkan buku.
Riwayat kita terbingkai buku. Kita bisa mengetahui, bernostalgia, dan berimajinasi bahwa Adam tercipta dan mulai ‘mengada’, kemudian peradaban mulai berkembang karena adanya buku. Ini membuktikan, tanpa buku, kita tidak ada dan ‘mengada’. Tanpa buku, segala makna di kehidupan sepertinya hampa. Refleksi terhadap buku ini seperti menjadi burung-burung kecil yang mengitari dan bersarang di pikiran penulis.
Apabila kita mengetahui Khaled M. Abou El Fadl (2002) yang pernah mengatakan bahwa “…identitas kita didefinisikan oleh buku-buku”., maka, kita dapat menyimpulkan bahwa banyak riwayat kehidupan kita ini yang ternyata terkonstruksi oleh buku. Itu membuat diri kita bernostalgia pada segala hal, segala masa, dan kisah.
Pada dasarnya, masa lalu saat masih bocah adalah rangkaian diri kita yang tak jauh dari buku. Kita bisa mengetahui lagi ketika orang tua, guru, dan orang lain, yang pada awalnya melingkupi dan mengajari kita dengan bahasa, sebagian besar diperoleh dengan belajar dari buku. Dari buku itulah, orang tua, guru, dan orang lain melingkupi dan menyusupi diri kita dengan abjad-abjad, baik lisan atau tulisan, lalu terangkai menjadi kata, kalimat, bahkan wacana. Akhirnya, kita pun bisa berkata, berada, ‘mengada’, sampai akhirnya kita dapat mencicipi buku itu sendiri.
Kita bersama buku menjadikan hidup ini mempunyai makna. Makna yang melingkupi diri manusia. Jadi, hal inilah yang menjadikan buku sebagai rumah kata dan bahasa, lalu menjadi rumah kita juga. Maka dari itu, kita patut renungkan ungkapan Jean Paul Sartre (1967) yang bunyinya begini, “buku-buku adalah burungku dan sarangku, hewan piaraanku dan pedesaanku.”
Riwayat-riwayat buku telah menjadi riwayat yang begitu leluasa mengisi semesta. Namun, apa yang kita rasakan bersama dengan buku terkadang menjadi suatu penderitaan, yang tidak bisa kita terima dan petaka bagi kita sendiri.
Buku adalah Petaka
Buku membawa petaka? Pertanyaan inilah yang menjadikan suatu hal bias, namun bukan suatu tanya yang dianggap biasa saja. Pertanyaan itu juga yang sering menjadi warna-warni dalam hidup kita, terutama pada hidup kini. Atas pertanyaan retoris itu juga, yang sebenarnya akan memberi stimulus pada pemikiran kita untuk melakukan gerak reflektif secara historis.
Khaled M. Abou El Fadl (2002) meriwayatkan lagi bahwa pada tahun 656 Hijriyah/ 1258 Masehi, Baghdad terjadi bencana yang mengerikan, yakni pembantaian buku sekaligus manusianya. Tentara Mongol-lah yang melakukan pembantaian itu. Mereka tahu bahwa buku yang dimiliki dan dibaca oleh rakyat di Baghdad justru akan memberi petaka bagi tentara Mongol yang akan menjajah. Maka, kesadaran terhadap buku yang membawa petaka itu, menjadikan mereka untuk memusnahkan buku-bukunya. Hal ini seperti yang diungkapkan Milan Kundera seperti ini: “Langkah pertama untuk memusnahkan suatu bangsa cukup dengan menghapuskan memorinya. Lalu, hancurkan buku-bukunya.”
Sekelumit riwayat itu juga mengantarkan pada sejarah di negeri kita, dimana, pada zaman Orde Baru banyak buku-buku, khususnya yang berbau ‘kiri’ dibakar dan dihanguskan. Pelarangan untuk menjual dan memiliki buku itu pun telah disahkan oleh negara. Dan, sebagai gantinya buku-buku yang diperbolehkan adalah buku-buku yang mendapat izin dan sesuai dengan pola pikir negara saat itu.
Akhirnya, dari buku-buku yang membawa petaka, justru menjadikan penguasa untuk melakukan politisasi terhadap buku. Dominasi buku-buku yang telah terpolitisasi itulah yang sebenarnya menggiring penguasa untuk mendominasi di berbagai ranah, yakni politik, militer, sosial, budaya, hukum, sampai dengan ekonomi. Bahkan, bila mengingat kasus di negeri ini, yakni adanya ‘bom buku’, maka, kita secara langsung bisa menyatakan bahwa buku mampu ‘meneror’ orang. Buku menjadi alat ampuh bagi seseorang untuk mengindoktrinasi orang lain, meneror, membunuh, dan berkuasa. Buku telah menjadi simbol dari malapetaka.
Di saat itulah, buku dan kita sepertinya telah ‘membikin’ kata-kata yang keluar berganti menjadi knalpot, yang mengeluarkan asap dan membuat polusi. Buku telah menjadi pengganti polusi yang dihasilkan oleh pabrik, maupun kendaraan-kendaraan bermesin. Buku telah menjadi virus atau candu mematikan. Ia melebihi efek yang dihasilkan dari ganja, morphine, ataupun kafein.
Namun, di sinilah kita harus memiliki harapan bahwa buku yang telah menyemaikan benih-benih penuh petaka dan menyesatkan ini tidak hanya menjadi kabut yang mengelilingi diri kita terus. Kita harus mampu meneguk isi buku guna kepentingan yang positif, edukatif, dan inovatif. Kita dan buku perlu menjadi satu kesatuan yang mampu membangkitkan kita dari keterpurukan; yang bisa memberikan tetesan-tetesan embun menyejukkan; dan membisikkan ke hati untuk tak segera ‘mati’ dengan sia-sia.
Belum ada tanggapan.