politik-dan-polemik-kekuasaan

Pilkada dan Polemik Kekuasaan

            Genderang Pilkada serentak tahun 2018 telah ditabu. Gemanya terdengar hampir di seluruh pelosok negeri ini. Tidak lama lagi, panggung perpolitikan negara Indonesia diramaikan dengan pertarungan sengit antara aktor-aktor politik yang telah mencalonkan diri untuk menduduki kursi-kursi tertinggi di negara ini.

            Pilkada serentak tahun 2018 ini diikuti oleh 171 daerah dengan perincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Dalam rangka menyambut peristiwa politik akbar ini, para calon kini secara perlahan-lahan mulai melancarkan aksinya. Aksi-aksi besar seperti kampanye akbar memang belum terlihat. Namun, aksi-aksi sederhana yang nampak jelas mereka lakukan adalah promosi melalui iklan di koran dan juga melalui baliho.

            Hampir di setiap persimpangan jalan kita menemukan berbagai macam baliho mulai dari ukuran yang paling besar sampai ukuran yang paling kecil dengan wajah yang berbeda-beda baik yang kita kenal maupun yang belum kita kenal sama sekali. Tak lupa pula, dalam baliho-baliho tersenyum, wajah para calon dilukis secerah mungkin dengan senyum yang manis serta beberapa bagiannya dipenuhi dengan janji-janji yang memikat hati masyarakat.  

            Dari berbagai pengalaman yang telah kita alami dalam pilkada sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa pilkada masih belum menyentuh dimensi substansial dari demokrasi. Demokrasi sejatinya tidak hanya berhenti sebatas kuantitatif-elektoral, tetapi juga menyentuh sisi subtantif-kualitatifnya. Demokrasi yang dimaksudkan di sini adalah demokrasi yang memberi kepastian bahwa tujuan bernegara dapat diwujudkan secara seksama; memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

            Dalam kenyataanya, ideal demokrasi seperti ini masih belum kita temukan dalam negara kita saat ini. Hal itu terjadi karena pilkada yang kita jalani selama ini masih dipenuhi dengan berbagai macam kericuhan. Kericuhan dan kekacuan pilkada itu nampak jelas dalam kegiatan kampanye yang melibatkan massa pendukung secara masif, serangan fajar saat mau pelaksanaan pemungutan suara, adanya oknum yang bermain untuk lelang suara dengan mengatasnamakan lembaga pemilu, dan ijon proyek serta ijon pengelolaan sumber daya alam untuk pembiayaan politik, penggunaan isu politik identitas, maraknya black campaign, maraknya politik dinasti, adanya penyelewengan hasil perhitungan suara, serta politik pencitraan yang didukung oleh media pers yang tidak netral. Semua masalah yang menjadi penyebab kericuhan pilkada ini pada umumnya terjadi karena satu alasan utama yaitu perebutan kekuasaan. Para calon kepala daerah bertarung dalam pilkada bukan untuk memenuhi keinginan rakyat akan seorang pemimpin yang ideal melainkan untuk merebut kekuasaan.

Polemik Kekuasaan

            Tentang perebutan kekuasaan, Nietszche pernah mengatakan bahwa dalam diri manusia sudah terkandung kehendak untuk berkuasa atau der Wille zur Macht. Kehendak untuk berkuasa ini dilihat sebagai hakikat manusia. Sejalan dengan Nietzsche, Machiavelli menegaskan bahwa untuk mencapai kekuasaan itu, manusia rela menghalalkan segala cara baik positif maupun negatif. Inilah yang disebutnya dengan politik menghalalkan segala cara.

`           Tidak jauh berbeda dengan kedua filsuf tersebut, Michel Foucault mengatakan bahwa kekuasaan merupakan dimensi hidup sosial yang fundamental dan tidak dapat dielakkan. Kekuasaan memiliki bentuk-bentuk transformasi selama beberapa abad yang lampau. Sepanjang abad XIX, kekuasaan lebih terlihat dalam kepentingan monarki absolut, yang dilihat sebagai sovereign power (kedaulatan kekuasaan) absolut (Pospowardoyo dan Seran, 2016: 198).   Karakteristik dari kekuasaan seperti itu adalah pertama, cenderung brutal, yang meliputi penyiksaan dan hukuman fisik. Kedua, dioperasikan terus-menerus dan menjadi contoh hanya ketika ada pelanggaran atas peraturan-peraturan. Ketiga, lebih menekankan ketaatan pada tata cara (ritual) dan penuh dengan simbolisme. Keempat, berada di dalam ruang publik.    

            Beberapa karateristik kekuasaan di atas sesungguhnya masih kita rasakan hingga saat ini. Berbagai karakteristik itu sebetulnya mau menunjukan adanya polemik kekuasaan dalam negara kita saat ini. Kekuasaan itu menjadi sebuah polemik ketika seorang penguasa menggunakan kekuasaan dengan sewenang-sewenang dan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi. Hal ini mengingatkan kita akan Soeharto yang dengan kekuasaan yang dimilikinya telah menenggelamkan sebagai besar rakyat Indonesia dalam lumpur penderitaan. Namun, kita tidak bisa mengelak bahwa hingga saat ini, masih ada pemimpin di negara kita yang menerapkan gaya kepemimpinan Soeharto ini.

Tindakan Penyadaran

            Polemik dalam tubuh kekuasaan memang terus menghantui kehidupan berpolitik di negara ini. Namun, bukan suatu kemustahilan bahwa polemik dalam tubuh kekuasaan itu dapat diatasi. Polemik pada dasarnya identik dengan problem. Gabriel Marcel pernah mengatakan bahwa problem adalah masalah yang dapat diselesaikan atau jalan keluarnya dapat ditemukan. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa polemik dalam tubuh kekuasaan dapat diatasi. Hal pertama yang perlu dilakukan untuk dapat mengatasi polemik ini adalah dengan memperkuat sistem hukum. Tugas ini merupakan tugas utama pemerintah dan aparat penegak hukum. Hukum harus lebih tegas dalam mengeksekusi para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya. Selain itu, para pejabat pemerintah sendiri perlu sadar bahwa kekuasaan yang mereka miliki bukan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Mereka perlu sadar bahwa kekuasaan yang mereka miliki itu adalah tugas yang dipercayakan oleh rakyat untuk dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

            Selain pemerintah dan aparat penegak hukum, rakyat juga mempunyai peran penting dalam mengatasi masalah dalam tubuh kekuasaan. Rakyat mempunyai andil yang cukup besar untuk menyadarkan para penguasa yang berperilaku menyimpang dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam kehidupan bersama. Rakyat harus berani untuk mengkritisi setiap kebijakan dari pemerintah atau penguasa yang tidak adil dan menindas rakyat.

            Kita sudah pasti seringkali berhadapan dengan penguasa yang menjalankan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Pengalaman diperlakukan secara tidak adil, ditindas dan ditipu bukanlah hal yang asing lagi dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman seperti ini mestinya menjadi pelajaran berharga bagi kita dalam menghadapi pilkada serentak yang akan datang. Kita harus lebih selektif dalam memilih pemimpin yang akan berkuasa di daerah kita masing-masing. Kita perlu mengenal lebih dalam setiap calon, membaca visi-misinya dan yang terpenting adalah membaca rekam jejaknya. Setiap kita memang mempunyai kriteria pemimpin ideal masing-masing. Namun saya cukup yakin kita mempunyai persepsi yang sama untuk ciri pemimpin ideal yang satu ini yaitu pemimpin yang bertanggung jawab dan tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan. Mari kita memilih pemimpin yang seperti ini.     

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan