Seorang filsuf Yunani kuno Aristoteles, dalam karyanya yang berjudul politik, pernah berujar bahwa manusia pada dasarnya adalah zoon politikon atau makhluk sosial. Sebagai zoon politikon, manusia hadir dan ada bukan “oleh” dan “bagi” dirinya, melainkan manusia itu ada “oleh” dan “bagi” yang lain. Jadi secara kodrati manusia adalah makhluk berpolitik (zoon politikon). Sebagai makhluk berpolitik manusia hanya mampu untuk mewujudkan dirinya dalam polis atau negara kota. Aristoteles lalu menggunakan prinsip potensi dan aktualitas untuk menjelaskan hal ini. Sebagaimana setiap kemungkinan mencapai pemenuhanya ketika mencapai tujuanya, demikian pula manusia hanya mampu mewujudkan setiap kemungkinan dalam dirinya secara kodrati dalam polis (Madung,2009:IX).
Lebih lanjut Hanah Arendt (1906-1975) mengembangkan konsep Aristoteles ini dalam karyanya Vita Activa (kehidupan aktif) dengan membagi kegiatan manusia atas tiga kategori. Ketiga kategori itu yakni Abeiten (kerja), Herstellen (produksi) dan Handeln (aksi politik). Menurut Arendt aksi politik termaksud dalam kegiatan vita activa karena berlangsung tanpa materi atau benda. Aksi politik adalah dialog antar manusia. Dialog antar manusia ini terjadi mengandaikan keberadaan banyak manusia (Madung, 2009:X). Atau jika dibuat rumusan yang lebih sederhana dikatakan bahwa politik itu terjadi ketika manusia itu berbicara, berkomunikasi dan membangun wacana. Dengan demikian sekali lagi Arendt membenarkan Aristoles.
Dari pandangan dua filsuf yang berbeda zaman namun masih berada dalam satu jiwa pemikiran ini, hubungan antara sastra dan politikpun dapat dijelaskan. Sebagaimana manusia itu dapat menegaskan keberadaan dirinya lewat aksi politik yaitu berbicara dan berkomunikasi maka harus dibutuhkan media untuk dapat membangun komunikasi. Ranah inilah yang hanya dapat dijawab melalui bahasa. Dan sebagaimana sastra adalah ungkapan terdalam dari jiwa manusia lewat bahasa yang seni, tidak dapat dipungkiri bahwa sastra itu sendiri adalah juga ungkapan terdalam dari realitas manusia sebagai makhluk politis. Atau dengan memakai prinsip potensia dan aktualisasi, sastra adalah bagian dari aktualisai manusia atas potensi dirinya dalam dunia sosial (baca; polis menurut istilah Aristoteles).
Ungkapan terdalam dari potensi ini tidaklah bersifat apriori. Ia mesti juga serentak bersifat aposteriori. Ia mesti beranjak dari realitas dan oleh realitaslah manusia bisa menangkap tentang sesuatu dan membahasakan tentang sesuatu itu. Melalui sastra manusia dapat mengungkapkan isi hati, pikiran terdalam berhadapan dengan realitas sosial atau dunia politik atas cara yang paling halus. Melalui cara yang paling haluslah sastra mengambil peran dalam dunia politik secara khas dan unik. Cara yang halus inilah membuat orang lebih cenderung untuk melihat sastra semata sebagai bagian dari seni. Namun melalui seni dalam memainkan kata dan frasa, sastra justru mampu memberi sumbangan pemikiran bagi dunia politik, juga dapat menjadi pengkritik yang paling halus terhadap realitas dunia politik yang malum. Dengan demikin sastra sebagaimana politik mempunyai intensi yang sama yaitu demi terciptanya bonum comune. Kenyataan ini dipertegas dengan kehadiran sastrawan-sastrawan yang mampu untuk memberikan pesan politisnya dalam dimensi sosial kehidupan manusia lewat karya sastranya. Contohnya Y.B. Mangun Wijaya, W.S. Rendra dan banyak lagi sastrawan lain yang karya sastranya sungguh menyentuh langsung dimensi sosial kehidupan manusia.
Kekhasan dari sastra juga adalah terletak pada kemampuannya untuk hadir dalam realitas dunia politik dengan segala dimensi kekakuannya. Misalkan saja, dalam dunia orde baru ketika politik direduksi menjadi kekuatan otoriter seorang penguasa, kebebasan mengungkapkan pendapat dalam ruang diskursus media dikekang. Namun dalam situasi genting dan penuh bahaya ini sastra masih sempat mengkritisi buramnya dunia perpolitikan di indonesia kala itu.
Kekhasan sastra dalam dunia politik juga terletak dalam kehadirannya bagi semua pihak dalam dunia politik. Seperti yang diketahui bahwa realitas politik selalu menghadirkan diri dalam dua kekuatan yang selalu saling bertentangan. Ada pemenang dan ada yang kalah, ada penguasa dan ada yang dikuasai, ada posisi dan ada oposisi. Setiap pihak dapat hadir sebagai yang benar menurut dasar rasionalitasnya. Namun sastra dapat hadir sebagai bagian yang netral dalam situasi pertentangan ini. Ia dapat hadir sebagai pemberi pesan dan kritik bagi yang berkuasa serentak pula sebagai pembangkit jiwa yang mati oleh birahi kekuasaan.
Namun kemesraan antara politik dan sastra ini juga mesti menjadi awasan kini. Eratnya sastra dan politik bukan hanya dalam dimensi positifnya. Dimensi negatifpun mesti menjadi awasan agar indahnya sastra itu tidak juga berkubang dalam lumpur kebobrokan seperti yang kini dialami oleh dunia politik. Dunia politik yang mulia itu kini berkubang dalam upaya pencarian kekuasaan dan popularitas belaka, dan di sana yang terjadi hanya terjadi siklus produksi dan konsumsi dan wacana wicara pun macet. Kenyataan buram ini seakan menjadikan politik itu sebagai sesuatu yang buruk, padahal sejatinya politik itu adalah mulia adanya.
Tendensi negatif dalam politik dan pesannya bagi sastra dapat diperhatikan dalam beberapa poin. Pertama ketika kehadiran sastra hanyalah sebatas media untuk mencari popularitas sebagaimana dalam dunia politik, sastra bisa jadi kehilangan identitasnya. Di sana orang hanya menghasilkan karya yang indah agar menuai pujian tetapi tidak mempunyai relevansi bagi realitas. Berhadapan dengan realitas ini belajarlah dari sastrawan dulu yang mana penciptanya sering tidak membubuhkan nama. Ia hanya menjadi pencipta yang bisu, tetapi dalam diam ia justru memberi arti bagi realitas. Belajarlah juga dari sekian banyak sastrawan yang harus menanggung kebencian bahkan maut sekalipun karena “terlalu“ obyektif dalam mengulas realitas.
Kedua adalah awasan bagi sastra agar tidak terjebak dalam siklus produksi dan konsumsi sebagaimana yang dialami dalam dunia politik. Sebagaimana dalam dunia politik orang hanya menjadikannya sebagai instrumen mencari keuntungan dan kekuasaan, hal ini juga dapat terjadi dalam sastra. Orang hanya menciptakan buku-buku dan karya-karya sastra nan indah hanya untuk meraup uang dan keuntungan tetapi kadang lupa akan maksud terdalam dari sastra itu sendiri yang mesti hadir sebagai gugatan bagi realitas yang malum dan serentak menjadi obat penyembuhnya. Di sana orang bisa saja mencipta dalam zona aman dan menyingkir dari setiap kemungkinan konsekuensi negatif oleh karena karyanya.
Lebih parah lagi ketika sastra justru hadir sebagai embun penyejuk bagi penguasa, yang meninabobokkan penguasa dalam tidur empuk kekuasaannya. Para penguasa dipuja dan dikagumi dalam bahasa yang indah dan serentak membiarkan penguasa itu semakin percaya diri dalam memainkan peran jahatnya. Sementara sang sastrawan yang setia memuja dan memuji sang penguasa itu justru mendapat tempat yang empuk oleh karyanya.
Sekali lagi pesannya jelas, sastra mesti berbalik pada identitas dan maksud kenabiannya. Dimensi politis dalam sastra yang mengulas dan menggugat realitas perlu ditegakkan. Kini bangsa kita seolah dihadapkan pada berbagai badai persoalan seperti mulai retaknya kesatuan bangsa, korupsi, pelanggaran HAM, terorisme, kemiskinan dan lain-lain. Suara-suara nan sejuk dan kritis dari sastrawan sungguh dinanti untuk menjadi obat bagi bangsa yang terluka oleh berbagai persoalan kini.
Belum ada tanggapan.