Satir

Dibandingkan jenis cerita pendek lainnya, gema sebuah cerita satir adalah yang bertahan paling lama dalam kepala saya.

Saya ingat dua cerita pendek sederhana. Ada satu cerpen klasik karya Italo Calvino berjudul Teresa. Berkisah tentang seorang pria yang suatu malam berdiri di jalan dan meneriakan nama “Teresa!” pada sebuah pintu apartemen yang tertutup. Kemudian datang seorang lain yang tidak tahu apa-apa mulai ikut meneriakan nama yang sama. Mungkin karena mengundang perhatian, orang-orang lain yang kebetulan lewat ikut bergabung untuk menyumbangkan suara; mereka kompak meneriakan nama “Teresa!” seperti sebuah paduan suara.  Ketika kerumunan semakin besar dan teriakan mereka makin keras, bertanyalah seorang kepada pria pertama apakah dia mengenal wanita yang bernama “Teresa” itu, dan lelaki itu menjawab bahwa dia tidak mengenalnya. Tadi dia asal teriak saja. Maka gusarlah orang-orang itu. mereka mengeluhkan waktu dan tenaga yang mereka buang percuma. Namun, siapa yang bersalah dalam hal ini? Bukankah mereka tidak diundang untuk turut serta? Justru mereka datang dengan sukarela lalu bergabung karena toleransi, dan bahkan karena sekedar ikut ramai. Cerita itu berakhir, orang-orang beranjak pulang. Tetapi apa yang menjadi satir di sini? Kalau tidak salah banyak pembaca membicarakan tentang trend atau budaya ‘ikut arus.’

Cerita lain adalah yang ditulis oleh Guy de Maupassant dalam bahasa Inggris berjudul The Neklace. Ceritanya, ada sepasang suami istri yang hidup biasa-biasa saja, dengan pekerjaan si suami adalah sebagai juru tulis di kementerian penerangan. Tetapi si istri selalu merasa dirinya cantik, tidak puas dengan takdirnya. Dia mimpi memiliki segala hal terbaik yang bisa diperoleh seorang istri; pengakuan akan kecantikan, kehidupan yang layak, rumah laksana istana di mana dia bisa mendapat perhatian dan kasih sayang berlimpah. Datanglah suatu hari sebuah undangan resepsi oleh menteri penerangan tempat suaminya bekerja sehingga si istri merasa ini adalah momen-nya untuk tampil sesuai impiannya. Dia membutuhkan sebuah gaun baru dan suaminya terpaksa memberikan uang yang dikumpulkannya dengan susah payah sedianya untuk membeli bedil. Kemudian, si istri menginginkan perhiasan untuk disematkan pada tubuhnya. Karena tidak mungkin membelinya, mereka kemudian meminjamnya dari seorang perempuan kenalan. Sebuah kalung permata yang luar biasa indah. Mereka pun pergi ke upacara perjamuan, dan lihatlah; wanita itu berubah menjadi bintang. Dia diberkahi dengan perhatian banyak pria, diajak berdansa, dan banyak orang berkata betapa luar biasanya dia. Sejenak dia bak seorang putri, sebelum pesta berakhir dimana mereka kembali ke rumah mereka dengan murung. Namun, malam itu ternyata ada yang lebih buruk. Sesampainya di rumah, si istri baru sadar bahwa kalung permata pinjaman telah hilang dari lehernya. Mereka mencari kemana kemari, dan kalung itu tetap raib. Mau tidak mau, mereka harus menggantinya. Mereka harus mendapatkan kalung permata baru yang luar biasa mahal itu. Maka dimulailah utang-piutang dalam hidup mereka; ibaratnya permen karet mereka tengah dikunyah hidup-hidup. Akhir cerita, setelah bertahun-tahun terjerembab dalam rangkaian utang yang nyaris tanpa akhir, suatu hari si istri bertemu kembali dengan kenalan mereka yang dulu telah mereka ganti kalung permata dengan yang baru. Usai bertukar sapa sebentar, si istri akhirnya mengatakan kebenaran dari kisah pilu akan kehilangan kalung itu dulu. Dia jujur kepada kenalannya perihal kalung yang hilang itu, juga bagaimana dia telah berutang banyak untuk menebus kalung yang baru itu. Bayangkan, selama sepuluh tahun untuk sebuah kalung! Namun, yang kemudian terjadi adalah yang paling mengejutkan; kenalannya yang sangat ramah itu berkata dengan perasaan iba bahwa kalung permata yang dia pinjamkan dulu itu hanyalah sebuah kalung imitasi. Dan harganya tidak seberapa.

Cerita Maupassant ini sudah sangat lama saya baca, tetapi masih punya gambaran yang jelas dalam kepala saya. Ini bukan hanya sebuah satir tetapi sebuah tragedi kemanusiaan karena untuk sebuah kalung imitasi mereka harus hidup sangat tidak bahagia selama bertahun-tahun.

 Ilustrasi: google

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan