Pendahuluan
Salah satu unsur cerita fiksi adalah point of view (POV). Istilah itu berasal bahasa Inggris dan beberapa ahli kita mencoba mengindonesiakannya. Misalnya, Nurgiyantoro (2005) mengistilahkannya dengan sudut pandang, tetapi Keraf (1982) menggunakan istilah sudut pandangan. Lebih seru lagi, jika kita mengecek sudut pandang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akan ditemukan istilah sudut pandang yang tidak berkaitan dengan dunia fiksi, tetapi berhubungan dengan fotografi. Namun, banyak akademisi dan sekolah memakai istilah sudut pandang sebagai terjemahan point of view. Sebab itu, saya pikir akan lebih bijak pula jika dalam tulisan ini, saya lebih suka menggunakan istilah sudut pandang.
Keraf (1982) dan Nurgiyantoro (2005) melihat sudut pandang sebagai teknik untuk menggarap narasi. Rasley (2008) menyamakan sudut pandang dengan sebuah kendaraan yang dipakai pembaca untuk berkeliling dalam cerita. Ketiga pendapat itu seolah menegaskan bahwa sudut pandang hanyalah alat atau sarana yang digunakan penulis dalam menyampaikan cerita kepada pembaca.
Setidaknya terdapat dua titik berdiri dalam memberikan pengertian sudut pandang. Pertama, yang melihat sudut pandang sebagai posisi penulis menyampaikan cerita kepada pembaca. Jadi, ada relasi antara penulis dan pembaca, yang dihubungkan dengan kisah. Pembaca adalah orang lain di luar cerita yang tidak berfungsi apa-apa pada cerita dan juga tidak punya kaitan apa pun terhadap cerita. Pembaca diibaratkan sebagai orang yang sedang berjalan-jalan di sebuah pantai dan secara kebetulan menemukan pesan dalam botol, kemudian membacanya. Nah, kepada pembaca seperti itulah, penulis menyampaikan sebuah kisah. Dengan konteks seperti itu, sebagai pembaca, kita bisa merasakan bahwa penulis menceritakan kisahnya sendiri (kisahku), sehingga menggunakan gaya persona pertama, yaitu “aku”. Bisa pula, penulis sekadar menceritaka kisah milik orang lain (miliknya), untuk itu penulis menggunakan gaya persona ketiga, yaitu “dia”. Dengan demikian, pada titik berdiri seperti itu, tidaklah mungkin penulis menceritakan kisah pembaca (kisahmu) yang menggunakan gaya persona kedua, yaitu “kamu”.
Posisi itulah yang ditunjukkan kalangan akademisi di Indonesia dalam berbicara soal sudut pandang, sebagaimana Keraf (1982) dan Nurgiyantoro (2005). Bagi mereka berdua, sudut pandang ada dua jenis, yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Keraf sama sekali tidak menyinggung soal orang kedua. Tapi, Nurgiyantoro masih sempat secara khusus membicarakan tentang sudut pandang orang kedua meskipun tampaknya secara teoretis, menurutnya, sudut pandang “kau” itu masih merupakan variasi teknik “aku” atau “dia”.
Posisi yang lain adalah posisi yang melihat siapa yang dikisahkan dalam cerita itu. Sebagai pembaca, kita akan mengetahui kisah siapa yang diceritakan kepada kita, bisa kisah tentang “aku”, bisa kisah tentang “kamu”, dan bisa kisah tentang “dia”. Pada posisi seperti ini, didapati tiga jenis sudut pandang, yaitu persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga. Posisi ini, berarti juga pembagian sudut pandangnya, kurang populer di kalangan teoretikus sastra Indonesia. Tapi, memang ada beberapa pengarang yang pernah mencoba menulis cerita fiksi dengan sudut pandang persona kedua. Namun, pada karya-karya sastra besar di Indonesia belum ditemukan pemakaian sudut pandang persona kedua. Bahkan, sebagaimana disampaikan Rasley (2008), di Barat pun jika kita menulis dengan menggunakan persona kedua maka kita akan menemukan sedikit model atau contohnya dan sekarang ini sudut pandang persona kedua kurang dikenal dalam genre fiksi.
Elemen POV
Menurut Rasley (2008), jika sudut pandang itu sebuah kendaraan, maka penulis akan menentukan siapa yang akan mengendarainya. Pengendara itu adalah salah satu karakter dalam cerita tersebut. Nah, lewat karakter itulah kita (pembaca) bisa mendengar, melihat, dan merasakan sebuah peristiwa yang terjadi dalam cerita. Lantas, dari sudut si pengendara itu, Rasley menyatakan bahwa terdapat empat elemen pada POV, yaitu narasi, persepsi, introspeksi, dan ucapan.
Narasi adalah cara suatu tindakan dalam cerita disampaikan. Secara terbatas, narasi merupakan penceritaan tindakan yang beroposisi dengan pendeskripsian latar dan dialog antarkarater.
Mereka berjalan dengan mengendap-ngendap. Langkah-langkah mereka diatur sedemikian rupa. Daun-daun kering, ranting atau atau pun yang bisa menimbulkan bunyi keras, mereka hindari. Satu, dua, atau tiga orang berjalan seperti berjinjit. Sebab, mereka berharap tak seorang penduduk pun tahu bahwa subuh itu, mereka akhirnya bertindak atas nama kebenaran. Tak ada suara di antara mereka, sepertinya mereka sudah tahu apa yang akan mereka lakukan. Rencana itu sudah matang sebab sudah beberapa kali mereka bicarakan. Masing-masing sudah tahu tugasnya, tak perlu ada perintah tokh aksi mereka itu tidak ada pemimpinnya.
Teks di atas merupakan sebuah narasi sebab yang diceritakan adalah tindakan, bukan pendeskripsian latar atau karakter, dan tentu saja bukan pula dialog antarkarakter. Sudut pandang pada teks tersebut adalah sudut pandang persona ketiga serba tahu.
Persepsi adalah cara yang unik dari pencerita menanggapi peristiwa dan efeknya bagi cerita baik melalui alat-alat indranya maupun melalui posisi tokoh cerita. Pada persepsi, pelukisan kejadian diceritakan sedemikian rupa sehingga berkaitan dengan indra-indra tokoh, atau bisa pula kejadian atau peristiwa itu dimaknai berbeda bergantung posisi karakter tersebut dalam cerita.
Ia berhenti sejenak. Kakinya terasa berat dilangkahkan seperti besi yang menempel kuat pada magnet. Matanya memandang sekeliling. Warna-warni yang dilihatnya mengingatkannya pada taman bunga di samping rumahnya. Tapi, bau harum itu terus saja tercium. Arahnnya berubah-ubah bergantung pada angin yang bertiup. Hawa saat itu terasa sangat dingin.
Tampak dalam teks di atas, pencerita menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan indra. Teks sejenis ini berisi elemen POV berupa persepsi.
Elemen berikutnya adalah introspeksi. Dalam introspeksi termasuk pikiran-pikiran dan perasaan pencerita (sudut pandang serba tahu) dan karakter. Dalam kasus ini, pembaca akan lebih dalam memahami karakter sebagai konsekuensi dari plot dan pengindividualan cerita sebab hanya karakter tersebutlah yang memberikan respons secara internal.
Semestinya aku tak datang ke sini. Bukankah dia sendiri sudah jelas-jelas tidak mengundangkan? Tapi, rasa penasaranku tentang meriahnya pesta itu—ah, sebenarnya rasa penasaranku bahwa dia akan tampil sangat cantik di malam itu. Ya, akhirnya, seperti yang aku duga: aku kesepian di pesta yang sangat ramai itu. Coba aku di rumah, mungkin sekarang aku asyik dengan gitar kesayangaku, memainkan lagu romantis, sambil dinaungi sinar rembulan yang cerah keperak-perakan. Sayang, itu hanya pengandaian saja.
Teks di atas menunjukkan introspeksi. Kita (pembaca) terasa berada di dalam kepala tokoh cerita tersebut. Kita tahu bagaimana pikiran tokoh terhadap peristiwa yang dialaminya.
Elemen terakhir adalah ucapan, yaitu pilihan kata, gaya, dan sikap. Ucapan di sini bukanlah dialog antar tokoh. Tetapi, kata-kata yang berseliweran secara bebas dalam merspon suatu peristiwa. Sering hanya ucapan pengarang yang ditampilkan dalam cerita, tapi bisa pula ucapan karakter yang sedang dinarasikan pun bisa ditampilkan.
Kejarlah aku kalau kau bisa! Ah, tapi bukankah engkau selalu mengeluh akan ketidaksanggupan-ketidaksanggupan, yang katanya hanya dimiliki dirimu saja. Baik, baik, aku berjalan saja. Nah, ayolah, bukankah aku berjalan seperti kura-kura tua yang merangkak sambil mengendong rumahnya yang besar? Tampak Diana begitu kesal atas sikap Pram, yang menyerah, tanpa sekali pun pernah mau mencoba.
“Kejarlah aku…” adalah sesuatu yang ingin Diana katakan kepada Pram. Tapi, itu tidak disuarakan oleh Diana secara langsung.
Manfaat POV Buat Cerita
POV adalah alat atau sarana. Sebagai alat atau sarana, POV sebenarnya dipakai untuk tujuan tertentu, terutama berkaitan dengan efek-efek yang ingin dicapai penulisnya. Pada akhirnya, efek itu akan meningkatkan apresiasi pembaca terhadap karya yang dibuat penulis. Apa saja manfaat POV? Berikut ini adalah pendapat Alicia Rasley (2005) tentang manfaat POV:
- Memberi pembaca pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri oleh pembaca;
- Menciptakan sebuah pengalaman yang interaktif;
- Meningkatkan identifikasi pembaca;
- Menyampaikan (atau merahasiakan) informasi;
- Mengenal karakter secara individual;
- Memberikan kontras antara apa yang dinyatakan dengan apa yang dimaksudkan;
Referensi:
Keraf, Goris. 1982. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rasley, Alicia. 2008. The Power of Point of View: Make Your Story Come to Life. Ohio: Writer’s Gidest Books
Belum ada tanggapan.