Cokelat, Es Teh Manis, dan Kamu

Cerpen Jenni Anggita

KUMPULAN cerpen itu saya tutup. Masuk menjadi tokoh dalam cerita. Pikiran saya mengangkasa. Airmata saya telah jatuh tepat di penghujung kisah. Tokoh bernama Elena[1] itu mungkin masih menunggu sampai detik ini. Lalu, kenapa saya menangis? Saya bukan mereka, sekalipun saya merasa perasaan mereka.

Pilar-pilar besar berdiri dengan angkuh memandangku seolah ikut menghakimi. Sekumpulan orang Farisi menyeretku ke Bait Allah. Mereka membiarkan selembar selimut menutupi tubuhku. Aku sadar mata mereka penuh hasrat. Mereka katakan aku pelacur. Pendosa! Pezinah! Kotor! Mereka membawaku ke Bait Allah. Ini semua telah dirancang. Aku tak kuasa walau hati terus berteriak. Mereka berhenti di Serambi Salomo yang terletak di Timur Bait Allah, di sanalah aku dihakimi. Jika memang ini saatnya aku mati biarlah angin meniup jazadku. Biarlah batu-batu itu menjadi saksi. Bukankah hidup harus berlanjut? Bahkan kau pun tidak melempar batu itu kepadaku, tuan. Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu kepada perempuan itu. Mereka pergi dari yang paling tua hingga paling muda. Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi! Aku tidak jadi mati, sedangkan laki-laki yang telah tidur denganku masih mendekam dalam kamar…

Malam berlanjut kecut. Saya tak bisa tidur kembali. Entah dari mana gambar-gambar itu dapat bersahutan. Pikiran-pikiran ini menyebalkan memang. Kadang saya tak dapat mengendalikannya. Namun, saya tahu bahwa saya adalah tuhan atas tubuh dan pikiran ini. Saya berusaha. Selalu.

Doa mungkin membebaskan saya dari kekhawatiran dan ketakutan, tapi perasaan ini siapa yang dapat melepaskannya? Gerimis sedari tadi menitis. Cokelat, es teh manis, dan kamu. Terus membayang di kepala.

***

“Ih… Salikha! Kamu posesif, “ katanya dengan raut wajah bercanda menggoda.

 Pulangnya Salikha mencari-cari arti kata posesif. Kenapa juga candanya menjadi begitu ia pikirkan? Ia menemukan. Posesif berarti bersifat merasa menjadi pemilik atau mempunyai sifat cemburu. Bisa-bisanya ia berkata demikian. Agak gerah juga pikiran Salikha karenanya. Siapa yang posesif? Saya? Kamu, mungkin!

Salikha ingat. Malam itu lagi-lagi hujan tak santai mengguyur. Tak ada pilihan lain kecuali duduk-duduk bersama teman-teman kampusnya menunggu hujan reda. Sambil bicara apa pun tanpa peduli pada keanehan pikiran masing-masing. Salikha pulang bersamanya. Jalan basah dan lampu-lampu jalan semburat jingga. Daun-daun menurunkan bekas air di tubuhnya. Sungguh, selalu alam membuatnya jatuh cinta.

“Kemarin ketika berteduh karena hujan, di teras sebuah ruko, aku melihat seorang anak laki-laki. Masih dengan seragam putih merah, tas ransel, dan sepatu sekolahnya. Anak itu terlihat begitu bebas. Dia merentangkan tangannya tak peduli begitu banyak air membasahinya. Tak peduli seragam, sepatu, dan buku-bukunya basah.” Cerita Salikha membelah kesunyian di jalan pulang.

“Ya dan kita sedang hujan-hujanan,” begitu kata perempuan itu yang berjalan di sebelah kanannya.

Perempuan itu hanya diam. Dia tahu Salikha hanya iri pada anak kecil itu yang dapat bebas menabrak hujan dan bermain-main di bawahnya. Salikha tak tahu bahwa perempuan itu menaruh perhatian lebih padanya.

Memang cuaca sukar diprediksi. Belum sampai tujuan, hujan kembali. Begitu deras sampai menyerah mereka berjalan. Dengan bergegas mereka berteduh di emperan, tepatnya di sebelah minimarket dalam kampus. Perempuan itu membeli cokelat dan sebotol teh manis.

 “Sini duduk!” Pinta Salikha yang sudah meringkuk sambil menaruh tangan di lantai sebelah kanannya.

Tadinya perempuan itu terus berdiri. Seputung rokok ia keluarkan, dinyalakan, dan dihisapnya perlahan. Dingin. Agaknya rokok dapat sedikit menghangatkan tubuhnya. Berbeda dengannya, Salikha tidak merokok.

“Kalo mau minum saja,“ katanya setelah membuka tutup botol dan meneguknya sedikit. Perempuan itu lanjut membuka bungkus cokelat,  memakannya, dan membagi pada Salikha. Suara air yang jatuh menimpa aspal begitu ngeri. Kadang dapat terdengar mengalun merdu, kadang tidak.

Salikha berceloteh, “Ibuku merokok, bapakku merokok, tapi aku tidak diizinkan merokok, aku tanya kenapa, mereka tidak memberi alasan.”

“Orangtua kadang begitu. Mereka tidak memberi teladan. Mereka tidak punya alasan cukup kuat saat melarang kita akan suatu hal. Kadang kita hanya harus mengikuti mereka,” ucapnya dengan mata kelam seperti sedang menerawang.

Salikha memotong cokelat itu dan memakannya, tidak dihiraukan teh manis itu. Mereka menunggu hujan reda sambil meracau. Apa saja yang teringat di kepala, sekadar membunuh waktu dan keheningan. Ada rasa yang tak biasa yang berusaha dienyahkan dari pikirannya. Entahlah apa. Rasa-rasanya Salikha mulai menyadari ada kenyamanan bersama perempuan itu.

Kamu seperti cokelat yang manisnya bertahan sampai akhir. Sejak saat itu waktu berlalu seperti roda: berputar terlalu kilat.

***

Laki-laki tebing. Begitu julukanku kepadanya. Karena ia bagaikan tebing yang memesona sekaligus mengerikan. Dia kuat sekaligus rapuh pada saat bersamaan. Matanya tak pernah bersinar. Hanya gelap. Padahal mata adalah pancaran jiwa. Padahal ia begitu lincah. Begitu hidup, tetapi mengapa matanya tidak?

“Biarkan alam yang mempertemukan kita. Bukankah itu lebih mengasyikkan? Pertemuan yang tak terduga, daripada yang matang terencana,” begitu kataku padanya.

Potongan-potongan gambar di kepalaku merapat. Saya merasakan kehadiran laki-laki tebing. Seperti waktu ketika kami hanya berdua di malam itu. Hanya dua jengkal jarak pemisah antara kami. Dengan kakinya ia menapaki dan menaklukan pegunungan, baik itu dalam diri atau yang sungguhan. Dia yang membuatku jatuh cinta pada alam.

Temukan cinta di gunung! Begitu katanya. Kata-katanya begitu banyak apabila kami sejenak bersua. Namun, mata yang dapat bicara tak saling bertemu. Dia menghindarinya dan saya menyadarinya. Jika berpapasan mata, tak lama ia memalingkan ke arah lain. Pembicaraan dapat begitu ngawur. Bisa saja pertama-tama ia membicarakan cintanya, kehidupannya, berlanjut ke cita-cita, keadaan kampus, gunung-gunung yang telah ia jajaki, atau bangsa dengan persoalannya.

Selalu dalam setiap pertemuan saya mendapat motivasi untuk menatap mentari dan melanjutkan hidup. Ajakan dirinya untuk berkarya demi bangsa selalu memukau. Masih ada pemuda dengan gigih berjuang demi kemajuan bangsa? Dia bilang, mungkin hasilnya tidak sekarang, mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi, tapi suatu hari kita akan bertemu kembali untuk saling bertukar kisah tentang hidup kita.

Ini katanya yang lain. Laki-laki tebing bercerita, saya tahu dari ceritanya ia ingin meneguk kebebasan, ia begitu haus. Dia mendambakan percintaan saat kekasihnya terus berjuang mewujudkan impian di benaknya, ia pun pergi mengejar citanya yang penuh. Mereka tetap terhubung dalam sebuah janji: jika nanti kita bertemu kembali dan kau dan aku belum terikat mari kita lanjut ke jenjang selanjutnya (pernikahan).

Dia magnet dan saya ingin menariknya lekat-lekat. Jantung ini sembarangan tiba-tiba tak dapat saya kendalikan. Saya menciumnya. Ciuman dahsyat penuh hasrat sebagai ikrar tak terungkap dengan mengucap. Hanya bertaut dalam hati masing-masing. Kesetiaan menunggu cinta akan membuat saya hidup. Sejak saat itu waktu berlalu seperti roda: berputar terlalu kilat.

***

“Ini sudah yang kesembilan kalinya dan belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kau mengandung,” ia memandang penuh kecewa.

Salikha hanya duduk terpaku di ujung ranjang. Biarlah, saya tidak ingin punya anak dahulu. Jika kita belum siap mendidiknya dengan baik, jangan meminta saya untuk segera punya anak. Begitu pikirnya.

“Perjuangan perempuan itu sia-sia belaka. Kalau ada perempuan dan laki-laki terjebak dalam sebuah pulau. Siapa yang akan memanjat pohon kelapa untuk mengambilnya? Laki-laki bukan?” Begitu katanya.

Dia melanjutkan, “Berhentilah bekerja, sudah sekian tahun kau urus para TKW itu, ada saatnya kita pikirkan dan menata rumah tangga kita.”

Salikha menatapnya tajam. Hanya terus menutupi luka yang kini tak ada lagi obatnya. Sebelumnya, ia hanya berusaha menghilangkan pikirannya sampai menjadi penyesalan tak terlampiaskan.

Tujuh tahun berlalu. Tanpa basa-basi ketika Salikha bertemu kembali dengan laki-laki tebing, mereka sepakat hidup bersama. Setelah laki-laki tebing menghabiskan waktu mengejar impian di Jerman, mereka tidak sengaja bertemu lagi dalam sebuah seminar.

Dongeng tinggal dongeng. Mereka berdusta tentang kebahagiaan pernikahan. Semua berakhir happy ending, tidak ada kelanjutannya. Padahal perjalanan pernikahan tak seindah dongeng. Salikha menyesal. Ia merasa terjebak dengan janji yang pernah dibuat. Dulu, ia selalu tidak percaya pada lembaga pernikahan. Dia tidak ingin terikat dan diikat. Namun, apa daya. Usia tak lagi belia dan mereka tak hanya hidup sendiri di dunia. Jika kau menikah karena takut kesepian, jangan menikah.

“Mungkin kita seharusnya tak bersama, kita terlalu berbeda,” ucap Salikha penuh keyakinan.

Kau dengan impianmu yang tak terhitung jumlahnya seperti pasir di lautan. Saya dengan doa yang tak putus-putus pada sang khalik. Kau yang tak pernah bisa diatur dan bebas, sebebas-bebebasnya rajawali. Saya lilin yang tak lelah meleleh demi memberikan cahaya. Kau adalah es teh manis yang pada akhirnya aku sadar, kamu tawar.

***

“Ayo aku sudah di bawah,” seru Anele lewat ponsel.

“Aku akan turun. Tunggulah,” jawab Salikha kepada perempuan itu. Ya, perempuan itu.

Cokelat, es teh manis, dan kamu. Saya memilih cokelat dan meninggalkan es teh manis. Mari kita habiskan malam ini bersama. Saya akan menyerahkan diri pada kamu yang tak pernah menuntut apa pun dariku. Hanya mendengarkan dan berusaha, saya tahu dari matamu yang terbiaskan, mengerti apa yang kurasa karena kita sama. Tidak ada yang salah. Tidak ada dosa. Kita setaraf.

[1] Elena adalah nama tokoh dalam cerpen “Hari Ini, Esok, dan Kemarin” karya Maggie Tjoakin dalam kumpulan cerpen Un Soir du Paris.

Jenni Anggita adalah lulusan Sastra Indonesia, FIB UI. Bergiat di Lembaga Bhinneka. Beberapa cerpennya telah diterbitkan sebagai antologi cerpen bersama. Cerpen berjudul “Cokelat, Es Teh Manis, dan Kamu” merupakan salah satu dari 15 cerpen pada antologi pemenang lomba cerpen LGBT Lembaga Bhinneka berjudul “Sepasang Balerina”.

4 tanggapan ke Cokelat, Es Teh Manis, dan Kamu

  1. willy 14 November 2014 pada 15:43 #

    sy mau tnya knapa sosok elena tiba2 hadir dlam kehidupannya? (salikha) *:wink:

    • Jenni Anggita 24 November 2014 pada 18:49 #

      Menginspirasi keputusan Salikha soalnya mas. Itu perlu dibaca sepertinya. hehe… **wink wink

  2. willy wonga 1 November 2014 pada 15:20 #

    boleh kita diskusikan cerpen ini mba jenni?

    • Jenni Anggita 10 November 2014 pada 21:41 #

      tentu saja, mari kita diskusikan mas willy 🙂

Tinggalkan Balasan