“… setiap pemimpin terkemuka memiliki utang kepada Mahatma Gandhi, baik itu di bidang ekonomi, pendidikan, politik, filosofi, bahkan diet maupun kesehatan”
(Michael N. Nagler)
Bila kita membaca biografi seorang tokoh India bernama Mohandas Karamchand Gandhi yang terlahir 2 Oktober 1869—atau lebih dikenal dengan sebutan Mahatma Gandhi dalam buku Gandhi The Man (2013) garapan Eknath Easwaran, ia bukan hanya dianggap sebagai politikus, melainkan juga disebut “Gandhi Yang Agung,” yang mengajarkan pada kita tentang banyak hal, salah satunya program pembangunan Gandhi, dimana, ia sendiri telah berkata, “Tindakan politis saya yang sebenarnya adalah pekerjaan membangun.” Lantas seperti apa program pembangunan Gandhi? Di sini kita bisa menilik misalnya proposal untuk persatuan Hindu-Muslim, Kampanye Harijan, penggunaan Khadi (tenunan sendiri), dan pentingnya pemintalan, kesetaraan wanita, pengembangan industri desa, pendidikan kesehatan, pendidikan berbasis ketrampilan, dan “persatuan hati” terlepas dari perbedaan ras, agama, kaya atau miskin, atau kekuasaan [hal. 217].
Membaca biografi Mahatma Gandhi, sebenarnya kita didorong untuk mengetahui cara berpikir dan bertindak seorang tokoh India dalam melakukan segala tindakan [tindakan politisnya] berdasar sudut pandang agama Hindu. Mahatma Gandhi tidak terlepas dengan Kitab Bhagavad-Gita—yang ia sebut “buku panduan spiritual”. Dimana, Bhagavad Gita sendiri berarti ‘Nyanyian Tuhan’, ‘Nyanyian Illahi’ . Atau secara harfiah berarti ‘nyanyian Sri Bhagavan’
Menurut A. Sudiarja dalam Membaca Bhagavad-Gita Bersama Prof. RC. Zaehner (2012), Mahatma Gandhi menjadikan Bhagavad-Gita sebagai panduan dalam hidupnya, dikarenakan oleh nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Dan yang membuat nilai universalnya dengan cepat dikenal dan disukai tidak lain karena teks Bhagavad-Gita mudah dipahami, ditulis dengan bahasa Sanskrit yang sederhana. Bhagavad-Gita juga menawarkan nilai-nilai moral yang mudah dipahami oleh masyarakat biasa. Hal ini cukup berbeda dari kitab-kitab suci Hindu lainnya, yang menurut Gandhi penuh dengan catatan tambahan, remang-remang artinya, penuh dengan elaborasi teknis dan dogmatik, -dan lain sebagainya, sehingga memerlukan keahlian akademik dan waktu panjang untuk memahaminya, sedang Bhagavad-Gita memuat pembicaraan religius tanpa hiasan-hiasan tambahan.
Beberapa gagasan dan tindakan Mahatma Gandhi yang paling berpengaruh antara lain ahimsa dan satyagraha. Gagasan dan tindakan Gandhi ini sedikit banyak dipengaruhi karya-karya Leo Tolstoy, -sang penulis besar Rusia. Beberapa catatan sejarah menunjukkan hubungan keduanya yang akrab melalui surat menyurat. Pada tahun 1908, Leo Tolstoy menulis “A Letter to a Hindu” yang menyarankan bahwa tidak ada senjata yang lebih ampuh untuk mengusir kolonialisme selain kekuatan cinta. Gandhi terpikat dengan pemikiran Tolstoy dan ia banyak meminta pendapat tentang “bagaimana mengusir penjajah dengan kekuatan cinta”.
Dari sana lahirlah gerakan ahimsa dan dimana, ahimsa, -nirkekerasan, yakni ekspresi kebenaran yang paling mulia dari Mahatma Gandhi atau tepatnya, jalan menuju kebenaran; dan satyagraha adalah metode untuk menyelesaikan konflik. Secara tradisional, konflik antara dua pihak yang berlawanan dianggap selesai dengan diakuinya dominasi pihak antagonis terhadap pihak yang lainnya. Namun, Gandhi mengutarakan dengan ringkas, satyagraha “mencari cara untuk menghilangkan antagonisme, tetapi juga bukan orang antagonisnya.”
Pemikiran dan gerakan Mahatma Gandhi tidak berhenti hanya di dirinya. Kita mengetahui, di kemudian hari Gandhi telah menginspirasi, mengajarkan bahkan membentuk pemikiran para pemimpin terkemuka India dan dunia, tak terkecuali Jawaharlal Nehru.Jawaharlal Nehru lahir sebagai politikus yang tidak lunak, yang lebih suka lantai penjara keras di negeri yang masih dijajah, daripada memilih kursi yang empuk [kedudukan untuk membantu memperkokoh kekuasaan imperialisme Inggris].
Kita tak sekadar mengerti pengetahuan tentang politik Mahatma Gandhi, tapi juga ekonomi. Kita tentu tidak asing dengan kata-kata: ‘Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not for every man’s greed’. Ungkapan tersebut disampaikan Gandhi tentang bagaimana membangun ekonomi berdasarkan kebijaksanaan, -bukan sekadar kebijakan. Untuk satu ini, E.F. Schumacher menjelaskan lebih lanjut pada bukunya berjudul Small Is Beautiful. Bahwa segala tindakan Mahatma Gandhi, terutama saat ia menyuruh rakyat India membuat benang dan kain mereka sendiri dengan perkakas pemintal benang, pada dasarnya merupakan penerapan konsep kebijaksanaan ekonomi di mana keberlangsungan hidup manusia menjadi titik sentralnya.
Lebih lanjut, kebijakan ekonomi yang bertulangpunggung ketamakan melahirkan berbagi bentuk penjajahan dan peperangan sementara ekonomi Gandhi menekankan keberlangsungan hidup yang memerdekakan dan penuh perdamaian.
Schumacher menjelaskan lebih lanjut ada dua jenis mekanisasi yang harus dibedakan dengan tegas: yang pertama adalah mekanisasi yang menyerahkan pekerjaan manusia kepada budak, yaitu mesin, dan menempatkan manusia pada kedudukan untuk melayani mesin itu. Bagaimana kita dapat membedakan kedua jenis mekanisasi itu? “Tukang itu sendiri, jika diperbolehkan, selalu dapat menarik garis pemisah antara mesin dengan alat”, kata Ananda Coomaraswamy, tokoh yang menguasai seluk beluk dunia Barat modern maupun dunia Timur purba. “Alat tenun (tangan) permadani adalah alat, suatu perkakas untuk menegangkan benang secara terus-menerus, dimana jari-jari tukang pintal akan merangkaikan lapisan-lapisan permadani. Sebaliknya, alat tenun listrik adalah mesin, dan artinya sebagai perusak kebudayaan terletak pada kenyataan bahwa alat listrik itu mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan manusia.”
Dari situ, jelaslah bahwa ilmu ekonomi Gandhi sangat berbeda dengan ilmu ekonomi yang berdasarkan materialisme modern. Tak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai religiusitas dan spiritualitas Gandhi sebagai pemeluk agama Hindu yang memandang hakekat peradaban itu bukannya di dalam berlipat gandanya kebutuhan, melainkan di dalam memurnian watak manusia, turut berpengaruh pada pemikiran ekonomi ala Gandhi. Bersamaan dengan itu, kepribadian manusia juga dibentuk oleh kerja. Dan, kerja itu, jika dilakukan dengan selayaknya di dalam kondisi kebebasan dan martabat kemanusiaan, memberi berkat pada mereka yang mengerjakannya dan juga pada hasil kerja mereka.
Jadi, membaca biografi Mahatma Gandhi, kita tak sekadar menyebut Gandhi sebagai bapak antikekerasan; Gandhi Yang Agung; seorang tokoh keagamaan paling penting di abad 20; atau “orang terhebat sepanjang masa”, kata Kirby Page, seorang advokat perdamaian asal Amerika. Lebih dari itu, Gandhi merupakan bapak politik sekaligus ekonomi, yang mengajarkan kepada kita dengan laku contoh tindakan dan kesederhanaannya.
Belum ada tanggapan.