Arif Yudistira, Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Penulis Buku Mendidik Anak-Anak Berbahaya (2020)
Ada banyak perubahan saat wabah korona hadir di tengah-tengah kita. Salah satu yang mungkin memerlukan waktu untuk beradaptasi lebih lama adalah anak-anak kita. Mereka adalah kelompok yang paling terancam baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi psikologis. Ada perubahan sistem, cara pergaulan, cara mereka belajar, cara mereka menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian. Orang-orang dewasa tentu bisa dengan mudah untuk mengikuti pola kebiasaan baru. Tetapi anak-anak tidak semudah itu, mereka memerlukan waktu, dan ini menjadi tidak mudah bagi mereka.
Interaksi dengan teman sebaya adalah salah satu yang berkurang intensitasnya bahkan hampir tiada di masa pandemi. Anak-anak di kota-kota terutama merasakan betul bagaimana pandemi menjadi begitu terbatas bagi anak-anak untuk bersosialisasi dan bermain dengan teman sebaya mereka. Orangtua tentu saja khawatir anak-anak mereka tertular virus. Ancaman virus ini tidak bisa dianggap remeh. Di saat anak-anak kembali ke rumah, di saat itu pula orangtua mesti pandai beradaptasi lebih cepat dibanding anak-anak mereka.
Saat orangtua belum bisa beradaptasi dengan cepat, maka anak-anak pun harus menghadapi situasi yang tidak biasa mereka alami sebelumnya. Menghabiskan waktu selama hampir 12 jam penuh di rumah bagi anak bukanlah hal mudah. Biasanya, anak-anak akan sangat senang bereksplorasi ke luar rumah dengan alam, dengan teman-teman mereka. Bercakap-cakap, bermain sepeda, memetik bunga, bermain kejar-kejaran, serta aneka rupa mainan anak-anak. Saling berbagi makanan dan lain sebagainya. Waktu bermain bagi anak-anak akan terasa selalu kurang. Sebab dari bermain itulah, mereka belajar mengenali lingkungan mereka dan juga teman mereka.
Bayangan itu mungkin masih terekam saat masih belum ada pandemi. Namun, saat wabah menyerang, tentu saja pola seperti itu menjadi berubah. Anak yang tidak dididik untuk beradaptasi dengan situasi yang demikian tentu akan mengalami perubahan secara psikologis maupun mentalnya. Saya tertegun dan kagum dengan suara anak selepas shalat magrib yang berdoa dengan keras Ya Allah, hilangkan korona. Doa itu begitu menyentuh. Pandemi telah memisahkan orangtua dan anak. Orangtua kerja di luar kota tidak pulang. Sementara anak harus bermain dengan Sang Kakek di rumah. Anak ini dipaksa untuk menghadapi situasi yang sebenarnya tidak ia kehendaki. Kita tidak tahu ada gegar psikis atau tidak saat orangtua mereka tidak berada di sisi mereka.
Anak-anak mengalami perubahan bersosialisasi dengan teman-teman mereka. Mereka dipaksa untuk menggunakan piranti teknologis untuk menghubungi teman dekat mereka. Bila dulu mereka bisa leluasa bercakap, bermain bersama. Kini interaksi mereka hanya sebatas video call dan saling bercanda sapa melalui ponsel pintar.
Di sekolah, pembiasaan belajar di masa pandemi juga berubah sedemikian cepat. Anak-anak dituntut untuk memakai masker, mencuci tangan, dan juga jaga jarak. Dikarenakan rentan tertular virus, mereka harus memilih pembelajaran daring walau tidak mengenakkan. Selain dituntut beradaptasi dengan kebiasaan baru dalam interaksi sosial, anak-anak kita juga dituntut beradaptasi dengan teknologi.
Untuk anak usia smp, sma, bahkan perguruan tinggi barangkali tidak menjadi soal karena mereka sudah akrab dengan teknologi. Lalu bagaimana dengan anak-anak usia dasar atau bahkan usia dini?. Interaksi mereka dengan handphone yang terlalu lama buat anak bukan hanya rentan merusak mata anak-anak kita. Namun juga tidak baik untuk kesehatan mereka.
Kebosanan, serta penatnya mereka belajar daring membuat anak-anak memerlukan refreshing, hiburan yang cocok bagi mereka di kala pandemi. Acara favorit di televisi tetap menjadi pilihan anak saat mereka berada di rumah. Yang hendak diwaspadai adalah saat anak menjadi kecanduan televisi di setiap harinya. Mereka jarang beranjak dari tempat duduk mereka dan menonton program tayangan apapun tanpa adanya pendampingan dari orangtua. Ini cukup membahayakan. Terlebih saat orangtua mereka adalah pekerja kantoran yang tidak setiap waktu bisa memantau dan mendampingi mereka.
Televisi tidak bisa kita tolak sepenuhnya di era sekarang. Era sekarang berbeda dengan orangtua kita dulu saat kehadiran televisi belum begitu ramai. Hari ini tayangan televisi begitu beragam dan ada yang bersifat edukatif buat anak-anak, ada pula yang belum saatnya ditonton anak-anak kita. Tayangan yang mengandung konten remaja atau bahkan dewasa yang tidak layak ditonton anak-anak memang perlu kita filter.
Terlebih di masa pandemi seperti saat ini, tentu saja televisi berlomba untuk menghadirkan tayangan yang menghibur bagi kaum dewasa agar tidak stres dan meningkatkan rating. Namun, apabila tayangan tersebut ditonton anak-anak kita tanpa pendampingan, akan menimbulkan efek negatif pada anak kita.
Di era sekarang banyak bermunculan kartun dari luar yang tidak mensensor dan begitu vulgar menampilkan adegan ciuman, berpelukan layaknya orang dewasa berpacaran. Adegan-adegan seperti itu seperti sudah menjadi menu biasa dalam tayangan kartun kita. Dari segi cerita dan juga kemasan pun seperti mirip film orang dewasa. Aspek inilah yang perlu menjadi perhatian kita (orangtua) untuk bisa mengontrol dan mendampingi tayangan televisi anak-anak kita.
Memaksa anak kita untuk mematikan televisi secara paksa bukanlah solusi terbaik. Dialog, pemberian pengertian kepada mereka lebih menyentuh mereka untuk meninggalkan acara yang tidak baik untuk mereka ketimbang menggunakan cara paksaan atau kekerasan.
Mengatasi kendala-kendala dan masalah kekhawatiran kita pada televisi, saya sepakat dengan Milton Chen, Ph.D penulis buku Televisi dan Anak-Anak Kita (1996) : bahwa belajar adalah kegiatan sukarela. Menonton televisi adalah kegiatan sukarela, dilakukan oleh anak-anak anda karena mereka menginginkannya , dengan alasan positif maupun kurang begitu positif. Bila TV dirancang baik, TV akan menarik bukan hanya bagi sosok mereka yang masih lucu-lucu, tetapi juga bagi hati dan pikiran mereka.
Menjadikan televisi sebagai hiburan anak kita di masa pandemi adalah tidak salah. Mereka anak-anak hanya perlu pendampingan dan sedikit sentuhan untuk mengerti apa yang baik untuk dirinya, dan yang kurang baik untuk dirinya.
Belum ada tanggapan.