guru-pendidik-atau-bukan

Guru; Antara Pendidik dan Pelaku Kekerasan

Mahatma Gandhi pernah melontarkan kalimat bijak, “ Kekerasan adalah senjata orang-orang lemah.” Di Indonesia, kekerasan dalam dunia pendidikan seperti tak pernah usai. Guru yang seharusnya menjadi sosok yang mampu meredam masalah, tapi justru menjadi bagian dari masalah. Doni Koesoema di buku pendidikan bertajuk Pendidik Karakter di Zaman Keblinger (2011) menulis kalimat menarik “ Keadaan guru semakin terpuruk, bukan hanya secara sosial, ekonomi, politik, namun juga secara kultural. Guru terpojok dan terpuruk bahkan ikut dalam golongan mereka yang menjadi bagian dari permasalahan.”

Secara ekonomi, keadaan guru di sekolah swasta dalam skup kecil, guru belum begitu dihargai layak dengan kinerjanya. Tidak sedikit dari guru swasta terpaksa mengerjakan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Sehingga kita melihat perkara mendidik murid menjadi tak fokus dan belum maksimal.

Dari sisi politik, guru bukanlah sosok yang memiliki taring layaknya guru di masa lampau. Bila dulu, guru dimintai pertimbangan, diberi tempat untuk menyuarakan aspirasi. Saat ini, guru justru kurang begitu dihargai seperti dulu. Bahkan rentan sekali menjadi korban di dunia pendidikan kita. Kita tentu masih ingat kabar duka yang menimpa guru Budi dari Sampang yang harus meregang nyawa di tangan muridnya sendiri.

Guru memang belum memiliki payung hukum kuat saat mereka dihadapkan pada kasus kekerasan di sekolah. Para guru sering mengalah dan tak meladeni tingkah nakal muridnya. Guru sering pasrah dan diam saat muridnya melakukan kekerasan bahkan menganiayanya. Inilah persoalan lain saat guru tak memiliki kekuatan politik.

Saat guru terjebak pada rutinitas mengajar, guru seringkali lupa belajar. Guru kemudian fokus pada persoalan murid saja dan penyelesaiannya. Sementara mereka (guru) lupa bahwa mereka perlu belajar menyesuaikan zaman yang serba cepat seperti sekarang. Guru harus terus belajar bagaimana karakter anak sekarang, bagaimana menghadapi anak dengan pola pergaulan dan beraneka karakter yang jauh berbeda dengan saat ketika mereka menjadi murid. Sayyidina Ali pun pernah mengatakan “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya”. Maksud dari kalimat sederhana ini adalah ajakan agar guru terus berubah dan berbenah terlebih dahulu sebelum mengharapkan murid dan perilakunya berubah.

Bila guru tak mau belajar, ia akan terjebak pada rutinitas semata. Ilmunya tak berkembang, dan nampak gagap saat menghadapi kasus yang baru dan tidak mampu menyelesaikan dengan cara jitu. Di era sekarang, guru dituntut untuk menjadi pamong. Ia harus pandai memberikan among, dan momong. Guru harus mendidik dengan penuh kelembutan dan menjadi sosok pengayom. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan. Di kelas, guru dituntut untuk menyesuaikan diri dengan anak. Pertama-tama ia harus menyelami dan mendalami karakter muridnya baik di level dasar sampai dengan di tingkat sekolah menengah. Di tingkat Sekolah Dasar sekalipun, bila guru tak mampu menahan emosi dan membawa diri, ia bisa jatuh.

Guru pada dasarnya akan senang bila muridnya patuh dan memperhatikan apa yang kita sampaikan. Tapi di lapangan, terkadang anak membuat kesal, jengkel dan marah dengan kelakuan mereka. Di saat itulah guru diuji anak didik mereka untuk secerdas mungkin memberikan hukuman yang mendidik.

Ada sebagian yang menganggap hukuman kekerasan akan membuat anak jera. Sebagaimana yang terjadi di SMK Ksatrian Purwokerto, beredar video viral seorang guru menampar muridnya. Konon hal ini dilakukan karena murid sering membolos dan terlambat masuk kelas. Guru itu pun memberi hukuman dengan menampar pipi anak didiknya. Tak berselang lama video itu pun menjadi viral dan menuai protes dari orangtua mereka (BBC, 20/4/2018).

Penanganan kepada siswa bermasalah seringkali tanpa hubungan dialogis. Murid tak biasa disentuh, ditanya dan diajak berfikir bersama mengapa mereka harus belajar. Padahal, murid melihat secara keseluruhan proses pembelajaran mereka di lingkungan sekolah. Godlad (1975) mengatakan bahwa “ apa yang faktual dilakukan di sekolah itulah yang ditangkap oleh siswa tentang fungsi sekolah, para guru mesti menyadari betapa kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang menjadi kultur sekolah lebih banyak memengaruhi proses pembentukan kepribadian siswa daripada kurikulum formal sebagaimana mereka pelajari di dalam kelas.”(Koesoema, Doni, 2011 : 184).

Kalau kita menengok azas Taman Siswa (1922), ada unsur kemerdekaan. Artinya, murid sebenarnya diberi ruang untuk mengatur dirinya sendiri, tapi bukan berarti memberi kebebasan kepada murid tanpa batas. Kemerdekaan diberikan untuk menciptakan tertib dan damai. Di buku 30 Tahun Taman Siswa (1981) Ki Hajar Dewantara memberi peringatan kepada para guru : “Bagaimana cara melaksanakan azas ini terhadap anak-anak murid kita barang tentu kita masing-masing dapat menentukan sendiri dengan menentukan keadaan masing-masing. Misalnya: ketertiban di dalam kelas, yang dicapai dengan kekerasan, dengan memukul anak-anak yang ribut, dengan kata yang keras dan kasar, bukanlah ketertiban yang sejati. Ketertiban yang dicapai dengan cara tersebut bukan mengakibatkan tertib, namun kegelisahan. Dan ketertiban tersebut pasti tidak langgeng.”

Hukuman fisik atau yang melukai batin anak memang akan berbekas dan tak disukai anak. Untuk itulah, guru dituntut untuk mengajak anak berpartisipasi, merasa memiliki bahwa sekolah atau lembaga pendidikan adalah rumah belajar bagi murid-muridnya bukanlah musuh. Untuk orang dewasa, anggaplah murid-murid itu teman-teman kita. Kita tak boleh menganggap murid kita lebih rendah dari kita.

Sebagai pendidik, guru memang dituntut untuk lebih sabar dan cerdas saat menghadapi muridnya. Kita perlu memberi hukuman bagi mereka yang melanggar tata tertib. Hanya saja kekerasan bukanlah jalan yang bisa kita lakukan, saat ada banyak cara lain yang bisa kita gunakan dalam mendidik anak. Anak yang biasa dididik dengan kasih sayang dan cinta, tentu ia akan menjadi anak yang lembut dan sabar. Sebaliknya, anak yang di dalam hatinya tertanam bibit kekerasan, maka ia akan melampiaskan hal ini suatu waktu.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Peminat Dunia Pendidikan Dan Anak, Pendidik di SMK Citra Medika Sukoharjo

Sumber gambar : Care.com

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan