debat-capres-dan-penyelesaian-ham

Debat dan HAM Yang Tak Selesai

Siapa saja yang menyimak debat pertama Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden akan dibuat terkesima dengan gaya kedua kandidat. Kedua kandidat dinilai oleh berbagai kalangan sama-sama ngetop, apalagi dinilai oleh masing-masing pendukung pasangan capres-cawapres. Bagi rakyat yang jeli, kalangan kaum pinggir barangkali lebih memilih cuek dan tidak menggubris perkara debat. Mereka sudah bisa menebak, siapapun yang jadi belum tentu mengubah keadaan mereka. Harga-harga pangan dan kebutuhan pokok saja makin meroket, harga BBM, juga harga listrik tak kunjung bisa dilunasi sekali waktu. Maklum, bagi tukang becak, buruh dan juga pekerja tambal ban, negara seperti tak hadir dalam kehidupan mereka. Belum lagi soal jaminan kesehatan yang tak bisa mereka peroleh, karena urusan administrasi yang njlimet (berbelit-belit) dari kelurahan sampai dengan gubernur. Urusan sakit mereka cuma ditahan dengan obat apotik yang bisa ditebus murah.

Urusan Hak Asasi Manusia sebenarnya tak sebatas urusan kejahatan kemanusiaan. Akan tetapi yang kita lihat Jokowi lebih mengungkit soal HAM sebatas pelanggaran HAM masa lalu. Di sisi lain, Jokowi sendiri seolah-olah mengisyaratkan dirinya sebagai orang yang paling bersih. Sementara bila ia memposisikan dirinya sebagai presiden kita saat ini, mestinya Jokowi bisa segera menyelesaikan persoalan ini setuntas-tuntasnya. Kasus Munir, serta Novel Baswedan yang belum selesai sampai saat ini adalah segelintir persoalan yang belum bisa diusut tuntas.

Bila Jokowi bicara soal pelanggaran HAM masa lalu, Prabowo lebih lantang lagi saat diajak mengurusi soal HAM yang ditilik dari penuntasan hukum dan memperkokoh aparat hukum dengan menaikkan gaji mereka. Secara sepintas hal ini memang nampak idealis, tapi di sisi lain, realitas membuktikan gaji tinggi tak selalu sejajar dan linier dengan kerja keras. Banyak dari petinggi hukum kita yang sudah digaji tinggi tapi masih saja korupsi. Kita bisa melihat orang-orang di Mahkamah Konstitusi, di Mahkamah Agung, mereka bukan karyawan pabrik dengan gaji murah, tapi dengan gaji dan tunjangan kecukupan. Akan tetapi petinggi mereka masih ada yang korup.

Persoalan HAM yang lain yang belum tuntas adalah hak anak-anak kita untuk memperoleh pendidikan. Hak ribuan warga negara kita yang masih belum sempat mengenyam pendidikan belum disinggung dalam debat. Ribuan anak di pelosok yang belum mendapat akses pendidikan. Di sisi lain, jurang akses pendidikan antara si kaya dan si miskin makin kentara. Orang sekarang makin susah mencari sekolah murah dan berkualitas untuk anak-anak mereka. Sarana dan prasarana yang belum merata juga menjadi bagian penting dalam prioritas pembangunan hak pendidikan bagi warga negara.

Anak-anak muda kita di desa maupun di perkotaan belum mendapatkan hak untuk mendapatkan pekerjaan. Anak-anak muda kita belum diberi keterampilan berwirausaha. Mereka adalah bonus demografi yang cenderung pasif. Mereka tak diolah dan diberdayakan oleh pemerintah. Belum lagi persoalan kejahatan yang marak yang dilakukan mereka karena mereka tak mendapatkan edukasi dan akses pendidikan yang cukup.

Retorika, Bukan Prioritas

Penyelesaian kasus HAM yang menyisakan luka dan trauma sepertinya memang tak dianggap sebagai prioritas program. Jokowi maupun Prabowo sepertinya tak mengutamakan urusan penyelesaian HAM ke dalam program mereka di tahun mendatang. Bila ditilik dari program nawa cita di masa Jokowi, HAM dan persoalan hukum memang sempat jadi coretan semata, tapi belum maksimal diupayakan. Kita bisa mendengar kesaksian Fitri Nganti Wani di buku puisinya Aku Berhasil Jadi Peluru (2018). Saya kutipkan disini petilan puisinya berjudul Terkenang Simbah  : Joko ora iso nulungi, Mbah/ Joko, ora iso nggoleki Wiji (Joko tidak bisa menolong, Mbah/ Joko tidak bisa mencari Wiji).

Kasus Munir dan Novel Baswedan pun seperti mandeg tak tentu kemana. Kita seperti dihadapkan oleh ketidakberadayaan negara untuk mengusut persoalan penghilangan, penculikan aktifis, sampai dengan kejahatan terhadap mereka. Kritisisme dan perlawanan terhadap yang lalim seperti kandas pada kematian dan pupusnya harapan. Warga negara yang baik, taat dan bersuara terhadap pemerintah sepertinya akan berakhir sengsara.

Negara seperti gajah yang tambun tapi tak mampu menyelesaikan persoalan warganya. Tak mampu melindungi warga negaranya. Kita bisa menilik saat pembangunan bandara baru di Yogyakarta. Para korban dan warga tergusur harus menerima penyiksaan, pemukulan dan hilang nyawa. Fenomena ini membuktikan negara begitu tajam kepada kalangan bawah, tapi tumpul saat menghadapi kalangan atas.

Mentalitas Merdeka

Untuk menyelesaikan persoalan HAM memang tak hanya diperlukan kepandaian beretorika dan menjawab soal. Debat pada putaran pertama seperti menunjukkan bahwa urusan HAM seperti dipandang sebelah mata. WS Rendra dalam bukunya Mempertimbangkan Tradisi (1984) menengarai perkara mentalitet rakyat Indonesia yang masih terbelenggu. Salah satu penyebabnya adalah faktor kemerdekaan dan kebebasan. Baik kita kutip disini :

Di rumah atau di sekolah anak-anak diajarkan bahwa kebajikan tertinggi itu : kepatuhan. Kesangsian kreatif yang mungkin berakibat perombakan dianggap sebagai kemunafikan. Diajarkan pula pegangan yang tertinggi, yaitu : kebiasaan kolektif. Ekspresi pribadi tidak perlu. Orang cukup mempertanggungjawabkan perbuatannya  menurut ukuran kebiasaan kolektif, persis seperti sekrup terhadap mesin. Orang tidak dibiasakan mempunyai ukuran-ukuran, dan tanggungjawab pribadi. Sejak kecil anak-anak sudah dibiasakan menerima bahwa kepribadian itu sama dengan kebiasaan. Alangkah sempurnanya pendidikan kita dalam menciptakan robot-robot konservatif. Tidak mengherankan apabila sulit sekali untuk memperjuangkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia di tengah masyarakat robot.

Urusan HAM adalah urusan yang patut mendapat perhatian serius oleh kedua pasangan capres kita yang tak sebatas retorika dan pencanangan di program. Saya takut urusan HAM ini hanya berhenti pada tataran debat. Setelah debat, presiden terpilih besok pun jadi pelupa.


*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo

Sumber Gambar : Kompas

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan