jodoh-seorang-janda

Jodoh Ke Dua Syarifah

Dua tahun lalu Syarifah merasakan neraka di kota ini. Rasanya teramat kejam. Bahkan lebih kejam dari ibu tiri yang jahat. Bukan. Bukan kotanya yang kejam. Tetapi seorang manusia yang menghuninya.

Karena rasa sakit itu, Syarifah bersumpah tak akan pernah kembali lagi ke kota ini. Dia lelah dengan segala beban yang saban waktu tersampir di pundaknya. Beban itu, seakan tak bosan menggerogoti segenap hatinya yang hampir kehilangan rasa bahagia. Syarifah tak punya teman, kecuali air mata.

“Apa kamu tidak kasihan dengan anakmu, mas? Apa jadinya jika kita bercerai. Dia tidak akan punya keluarga yang utuh. Kembalilah kepada aku dan anakmu. Aku pasti memaafkanmu asal kamu benar-benar berubah.” Untuk ke sekian kalinya, Syarifah kembali mengingatkan suaminya yang keliru.

“Aku bisa hidup tanpa anakku, apalagi kamu. Sudah kubilang kamu itu tidak bisa buat aku bahagia!” Wajah Rustam tampak marah. Sepertinya dia bosan dengan nasehat yang didengarnya terus-menerus dari Syarifah, “biar kamu tak banyak omong, kali ini kujatuhkan talak untukmu. Aku menceraikanmu.” Lanjutnya tanpa merasa berdosa.

Hati Syarifah bagai dihantam petir. Sebentuk kekuatan yang masih tersisa kini tinggal puing. Sambil memeluk sang anak, Azril, yang waktu itu masih sangat kecil, Syarifah menangis. Sekalipun tangis Syarifah pecah hingga serasa begitu menyayat, tapi Rustam tetap tak peduli. Bahkan dia lebih antusias mengangkat telepon dari wanita selingkuhannya, tepat di hadapan Syarifah yang tengah menangis.
*****

Matahari terbenam dengan cepatnya. Rasanya baru tadi pagi fajar itu terbit. Kesibukan Syarifah dari shubuh tiba hingga malam pekat memang tak ada jeda. Tangannya terus bekerja bagai mesin pabrik yang tak henti berputar.

Rengekan bayi mungil bernama Anna terkadang membuat Syarifah kesal. Tapi apalah daya, itu sudah jadi kebiasaan anak kecil. Bahasanya sulit dimengerti. Apa yang dia mau Syarifah pun sulit memahaminya. Ditambah dengan kemanjaan anak sulungnya, Azril, yang kerap cemburu apabila Syarifah terfokus terus pada anak bungsunya.

Anna, anak ke dua Syarifah yang lahir enam bulan lalu. Takdir Tuhan memang sebuah teka-teki yang tak mampu dijangkau oleh perkiraan akal manusia. Ketika Syarifah merasa teraniaya oleh Rustam, kala itu hatinya bersumpah untuk tidak akan mengingat lagi namanya, apalagi berniat kembali. Tapi setelah perceraian dua tahun lalu bersama Rustam, Tuhan menakdirkan kembali Syarifah dan Rustam pada satu ikatan yang halal. Anak. ya, itulah alasan satu-satunya Syarifah kembali menerima pinangan Rustam. Lagi pula Rustam sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

“Kenapa Mas tidak mencari pekerjaan yang lebih baik. Sudah hampir tiga bulan Mas menganggur. Kalau tidak karena bantuan orangtua, mungkin kita tidak bisa makan. Anak kita sudah dua. Harusnya kita sudah bisa mandiri.” Dengan penuh kehati-hatian Syarifah mencoba mengingatkan Rustam. Sejak berjodoh kembali dengan Rustam, Syarifah melihat bahwa suaminya itu semakin malas bekerja.

“Aku sudah memikirkan itu jauh-jauh hari. Jadi kamu diam saja. Mau dari orangtua atau dari manapun yang penting kita makan.” Rustam tampak kecewa. Wajahnya terlihat tidak ramah.

“Tapi aku malu. Kita anak muda tidak bisa apa-apa. Tidak ada kemauan. Tapi orangtuamu yang sudah tua masih bersemangat bekerja. Dari sebelum shubuh mereka bangun lalu berjualan ke pasar. Mereka yang tua punya tabungan dan bisa berbagi. Tapi kita yang muda malah bermalas-malasan. Kita kalah semangat. Padahal perjalanan kita masih jauh. Anak-anak kita masih kecil. Masih butuh biaya banyak.” Jelas Syarifah. Terlihat dia menahan ludah. Rasa kecewa terhadap suaminya membuat dia ingin menangis. Tak disangka, ternyata Rustam sekarang tidak jauh lebih baik dari yang dulu. Sedikit saja bedanya, Rustam tak lagi berselingkuh.

“Sudah, jangan banyak bicara! Lebih baik kamu buatkan aku teh.” Dengan santainya dia menyulut rokok, badannya bersender ke kursi. Kakinya diangkat ke meja. Burung-burung kesayangannya berbunyi, dia pun bersiul.

Tingkah polah Rustam seolah tanpa beban. Barangkali benar untuk dirinya. Tapi tidak untuk Syarifah. Mempunyai suami pengangguran adalah beban tersendiri. Dia lelah mengatur keuangan yang serba mepet. Belum lagi telinga yang penuh sesak dengan omongan tetangga. Untung keluarga mereka itu masih bisa makan, suaminya saja tidak bekerja, begitu kata mereka.

Anna kembali merengek. Bayi mungil itu minta disusui. Syarifah bergegas ke kamar, dia pun segera memberikan ASI buat si bungsunya itu.

“Aku kan menyuruhmu buatkan minum, malah tiduran di kamar!” Tiba-tiba Rustam sudah berada di pintu kamar. Hardikan Rustam membuat bola matanya hampir mencolot.

“Anna minta ASI. Kasihan. Jadi, aku susui dulu.” Syarifah mencoba membela diri.

“Sambil digendong bisa kan? Pakai akalmu!” Rustam tampak semakin marah.

Syarifah terdiam. Ingin rasanya melawan. Tapi itu bukan jalan yang tepat. Malah mungkin akan terjadi pertengkaran.

GEDEBUKKKKK….tiba-tiba terdengar sesuatu jatuh menghantam tembok. Tidak lama terdengar tangisan kesakitan. Syarifah terkejut. Dia yakin suara seseorang yang jatuh itu berasal dari ruang dapur.

“Ya Tuhan! Anakku…” Syarifah menjerit. Dengan menggendong Anna, dia berlari memburu Azril yang tengah tersungkur.

“Ibu…kakiku sakit…” Azril menangis.

“Kamu kenapa, nak?” Tanya Syarifah seraya memeluk anak sulungnya itu.

“Kakiku kesandung tembok itu..” Azril menunjuk ke arah tanggul kecil yang sengaja dibuat di pintu dapur untuk menghadang air masuk apabila hujan lebat tiba.

“Lain kali hati-hati ya.” Dengan lembutnya Syarifah menyeka air mata buah hatinya.

Azril pun terdiam. Dia berada di dekapan sang bunda.

“Tiap hari melewati pintu itu masih saja tidak tahu kalau di sana ada tanggul. Sembrono kamu, Zril!” Sekonyong-konyong Rustam datang dan langsung menghardik anak lelakinya.

Mendengar suara keras dari ayahnya, Azril yang sudah dalam keadaan tenang kembali menangis. Dia tampak ketakutan. Terasa sekali oleh Syarifah bahwa anak itu mendekapnya lebih erat. Azril seakan meminta perlindungan.

” Sudah, Mas! Anak ini kakinya sakit. Kenapa tidak kamu obati malah dimarahi?” Syarifah membela anaknya. Sekalipun Rustam adalah bapaknya, tapi Syarifah tidak akan pernah ridho jika Azril yang sedang kesakitan ddihardik semacam itu.

“Begitulah kalau kamu suka memanja anak. Baru jatuh sedikit saja menangis.”

“Kenapa Mas nyalahin Aku? Yang namanya celaka tidak ada hubungannya dengan dimanja atau tidak. Kalau saya memanja anak, wajar. Mereka butuh orangtua yang perduli dengan mereka. Bukan seperti Mas yang hanya ngurusin diri sendiri. Dari malam sampai pagi Mas hanya sibuk memancing. Siang tidur sampai tak tahu waktu. Mas tidak pernah tahu kapan anak butuh bapaknya, kapan anak rewel, atau kapan anak sakit. Saya yang ngurus semuanya. Kalau Mas tidak bisa memberikan mereka perhatian, paling tidak jangan memarahinya di saat sedang celaka seperti ini….!” Habis-habisan Syarifah mengata-ngatai suaminya. Barangkali hal itulah yang selama ini dipendam. Dan bom waktu itu kini meledak pada saatnya.

“Kurang ajar kau Syarifah. Beraninya kamu ngomong seperti itu!” Rustam mengangkat tangan. Dia hampir menampar wajah mungil Syarifah. Namun, rengekan si kecil Anna membuat tangan Rastam terhenti melayang.

“Dasar wanita sialan!” Kaki Rustam sedikit menendang tubuh kurus Syarifah yang terduduk. Di dekapan Syarifah, Azril menangis, dan di gendongannya si kecil Anna merengek tak henti-hentinya….

Syarifah mengoleskan minyak tawon ke kaki Azril yang memar. Benturan yang terjadi memang cukup keras. Hati-hati sekali Syarifah mengurut kaki anaknya.

“Apa ibu menangis?” Tiba-tiba Azril nyeletuk. Rupanya anak itu tahu kalau Syarifah sedang menahan tangis. Telaga matanya beriak. Dan ketika Azril bertanya, sontak saja semuanya tumpah.

“Kakimu masih sakit, nak?” Syarifah mengalihkan keadaan.

Azril mengangguk.

“Kita ke rumah nenek saja. Ayah tidak usah ikut.” Azril menatap ibunya penuh harap. Tak lama dia menjatuhkan tubuhnya kedalam pelukan sang bunda.

“Azril tidak mau ibu menangis…”

“Sudah…! Ayah sesungguhnya orang baik. Do’akan yang baik-baik pula buat dia.”

“Tapi dia sering membentak.” Jelas terlihat ada rasa marah yang tertahan dari pancaran mata Azril.

“Dia sedang khilaf. Azril kan punya ibu, kalau takut peluk ibu saja.” Syarifah mengelus lembut rambut anak sulungnya itu, sedang si kecil tengah terlelap setelah cukup lama lelah merengek.

“Azril takut ayah marah lagi.”

“Tidak akan, nak! Azril tenang saja.”

Belaian lembut Syarifah rupanya mampu menenangkan hati Azril. Tak disadari, ternyata bocah lima tahun itu sudah terlelap. Dia tertidur dalam dekapan Syarifah.

Syarifah menatap dalam anak lelakinya itu. Tak lama kemudian, pandangan matanya beralih ke arah si kecil Anna. Tak sanggup rasanya membayangkan kedua anaknya harus hidup tanpa ayah, andai pada akhirnya Rustam tidak berubah dan perceraian terjadi untuk kedua kalinya. Syarifah pun menangis, titik-titik air matanya pun jatuh menimpa rambut hitam Azril.

Sesungguhnya Syarifah pun ingin pergi. Dua tahun lalu, rumah itu bagai neraka. Dan hal sama terjadi lagi kali ini. Untuk ke dua kalinya, Syarifah terbelenggu pada ikatan sah yang jauh dari kata sakinah.

Andai ikatan pernikahan hanya sebuah ikatan coba-coba saat pacaran, barangkali Syarifah sudah pergi. Tapi biduk rumahtangga tidak hanya dijalani untuk masa bahagia saja, pun untuk masa penuh ujian.

Syarifah mentafakuri semua takdir hidupnya. Bukan kebetulan ketika dia harus kembali berjodoh dengan Rustam, melainkan semua atas sekenario Tuhan. Rustam adalah jodoh ke duanya Syarifah. Rustam adalah lelaki yang sama yang menikahinya untuk yang ke dua kali.

Barangkali kali, Tuhan begitu sayangnya pada Syarifah. Hingga suratan nasibnya senantiasa terdampar pada kepiluan. Namun justru itulah yang menjadikan Syarifah menjadi manusia dewasa yang sesungguhnya. Kesabarannya tertempa pada dua episode kehidupan yang paling mengiris. Syarifah menangis. Kepada Tuhan dia mengadu.

Lewat sujud dalam istikharahnya, Syarifah memohon petunjuk atas dua hal yang menjebaknya pada dilema: bertahan atau pulang? Lalu dalam mimpinya yang penuh makna, Syarifah melihat Rustam memeluk dirinya dan kedua anaknya. Tidak lama kemudian Rustam pergi menembus kabut putih hingga lenyap sama sekali….

Bagi Syarifah mimpi tadi bukan hanya sekedar bunga tidur, melainkan sebuah isyarat bahwa dia harus terus mendampingi Rustam, sebab kelak Rustam akan menginsyafi segala salahnya. Syarifah yakin bahwa Rustam adalah jodoh ke duanya dan jodoh terakhirnya hingga maut memisahkan.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan