Ungkapan bahasa Latin do ut des yang berarti saya memberi supaya engkau memberi terlihat sangat sederhana namun kaya makna. Ungkapan ini justru menjadi suatu asumsi dasar yang melahirkan teori pertukaran (Sosiologi, Bernard Raho: 2014). Peletak dasar dari teori ini adalah Simmel. Menurut Simmel, semua kontak antara manusia bertolak dari skema memberi atau mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama (all contacts among men rest on the scheme of giving an returning the equivalence). Konsep ini tentunya sangat relevan dengan aspek-aspek dasar dalam hidup manusia. Misalnya dalam aspek ekonomi khususnya dalam aktivitas produksi dan konsumsi barang. Elemen-elemen utama dalam aktivitas ini adalah penjual dan pembeli. Pedagang memberikan barang kepada pembeli supaya pembeli memberi uang kepadanya. Atau dengan kata lain, pedagang menjual barang supaya dibeli oleh pembeli atau konsumen. Di sini jelas terjadi relasi timbal balik yang saling menguntungkan antara penjual dan pembeli. Dalam ilmu biologi kita biasa menyebutnya dengan istilah mutualisme.
Bertolak dari berbagai realitas yang ada saat ini, ungkapan do ut des rupanya tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi tetapi justru telah menjadi salah satu konsep yang sangat berpengaruh dalam setiap aspek hidup manusia. Aspek politik pun tidak luput dari pengaruhnya. Hampir semua aktivitas politik dijiwai oleh konsep ini. Salah satunya adalah pilkada.
Pilkada tentunya tidak hanya menjurus pada hari puncak atau hari ‘H’ di mana rakyat memilih dan mencoblos seorang calon pemimpin yang didukungnya. Akan tetapi, pilkada juga mencakupi seluruh proses mulai dari awal calon pemimpin itu ditetapkan atau dilegitimasi sebagai calon tetap sampai pada hari puncak di mana mereka dipilih oleh rakyat. Pilkada sebagai sebuah proses pasti tidak akan pernah luput dari pengaruh konsep do ut des. Dalam setiap proses pilkada konsep ini pasti selalu diterapkan.
Proses awal biasanya adalah mencari dukungan dari partai politik. Dalam proses ini, seorang calon pemimpin tentunya tidak berjalan dengan tangan kosong untuk meraup dukungan dari partai politik. Ada sesuatu yang harus dibawa untuk dijadikan buah tangan bagi partai politik itu. Sesuatu itu tidak lain adalah uang. Para calon pemimpin harus memberi uang kepada partai politik agar bisa mendapatkan dukungan dari partai poliltik. Praktik politik seperti ini yang sekarang kita kenal dengan istilah mahar politik atau politik uang. Uang dijadikan barometer bagi seorang calon pemimpin untuk dapat bersaing di panggung pilkada.
Setelah mendapatkan dukungan dari partai politik, proses selanjutnya yang harus dilakukan oleh para calon pemimpin adalah mendaftar di KPU. Dalam proses pendaftaran ini, para calon yang telah mendapatkan dukungan yang banyak dari partai politik pasti akan lolos. Namun, bukan tidak mungkin para staf KPU dengan segala cara menyulitkan proses pendaftaran. Dalam hal ini, konsep do ut des kembali dipraktikan. Para calon harus memberikan uang kepada KPU agar urusan pendaftaran berjalan lancar. Dengan itu mereka dapat memastikan diri sebagai calon tetap dalam pilkada.
Setelah melalui proses pendaftaran, maka proses selanjutnya adalah kampanye. Inti dari kegiatan kampanye adalah penyampaian visi dan misi dari para calon. Dalam kampanye, para calon pemimpin dengan berbagai cara berusaha untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Cara yang lazim digunakan adalah membagikan uang atau sumbangan kepada rakyat dengan tujuan agar rakyat memilih mereka pada saat hari puncak nanti.
Tahap terakhir dari seluruh rangkaian pilkada adalah tahap pemilihan atau biasa disebut dengan istilah pencoblosan. Pada tahap ini, rakyatlah yang memiliki peran utama. Rakyat secara lansung memilih dan mencoblos calon pemimpin yang diidolakannya. Dalam tahap ini, para calon pemimpin melalui tim suksesnya melakukan berbagai cara untuk kembali mendapat dukungan dari rakyat. Di sini, konsep do ut des kembali dipraktikan. Para calon pemimpin menyuap masyarakat dengan uang guna mendapatkan dukungan dari rakyat. Dalam hal ini, rakyat yang awalnya hendak memilih calon yang diidolakanya bisa saja berubah haluan dan memilih calon yang telah memberinya uang.
Pilkada memang tidak akan pernah luput dari konsep do ut des. Konsep ini mungkin sangat sulit untuk dihilangkan. Namun, konsep ini juga mempunyai sisi baik apabila rakyat ditempatkan sebagai subyek utama. “Rakyat memberi supaya pemimpin memberi”. Artinya, rakyat memberikan suara supaya pemimpin yang terpilih dapat memberikan balasan atas suara yang telah diberikan oleh rakyat. Balasan itu dapat berupa pengabdian yang total demi kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini dibutuhkan kesadaran dari pemimpin itu sendiri bahwa mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Dari dan oleh biasanya tidak menjadi soal. Soal utama biasanya ada pada kata untuk. Hampir semua calon pemimpin yang telah terpilih menjadi pemimpin tidak mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat. Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Oleh karena itu, dalam pilkada serentak yang sudah semakin dekat ini, rakyat harus memilih calon yang betul-betul mempunyai kualitas yang baik dalam memimpin serta memiliki kepekaan terhadap berbagai situasi kritis yang dihadapi oleh rakyat.
Belum ada tanggapan.