Rasa-rasanya, sebagian besar tempat di negeri ini memiliki persoalan lingkungan yang tak akan usai. Entah pertambangan, entah pengerukan, agaknya sebatas nama saja. Selebihnya alam kian terkikis atas nama kemajuan zaman dan modernitas.
Contohnya di wilayah timur Jawa. Sebagai daerah yang memiliki “seribu gumuk”, justru bukit yang disinyalir akibat letusan Raung pada masa lampau itu, kini menyisakan lubang menganga. Tak satu-dua. Puluhan gumuk telah dijarah. Dikeruk. Ditambang pasir dan bebatu sehingga bekas galian akan menampung air seperti kolam-kolaman saat musim hujan.
Padahal gumuk tak ubahnya pakoh bhumi atau pakunya bumi. Orang-orang tua pada zaman dahulu telah mewanti-wanti bahwasannya gumuk yang ditanami beragam pohon sesuai kehendak pemiliknya, tak ubahnya paku yang menancap ke bumi. Selain bertugas menyerap air, ia adalah pemecah arah angin ketika puting peliung menerjang pemukiman. Tetapi sekarang, jangankan memecah arah angin, menyerap air pun tak akan seperti dahulu lagi, sebab batu-batu dikeruk sehingga sumbernya mengering.
Di sini, di wilayah ini, kemunduran menghargai alam tak berhenti di gumuk saja. Ada berhektar-hektar sawah beralih rupa menjadi perumahan elit. Beralih menjadi wahana kolam renang, industri, atau pariwisata. Bahkan beberapa hari yang lalu, di wilayah Paseban yang terletak di bagian selatan Jember, ratusan orang melakukan aksi menolak pertambangan besi. Hal yang sama juga dilakukan masyarakat Baban ketika beberapa waktu lalu terdapat sejumlah orang yang disinyalir hendak menambang emas di sana.
Membicarakan gerak perubahan alam tentu terdapat banyak faktor. Salah satunya adalah keterlibatan masyarakat ketika lahan hendak ditambang, atau beralih menjadi industri. Sebab selama ini, eksploitasi yang dilakukan suatu korporasi bersifat struktural dan sistematis. Mereka memperoleh izin menambang dari pemerintah, sedangkan masyarakat bawah yang berada di wilayah pertambangan tak pernah dimintai persetujuan. Tentu yang pertama kali merasakan dampak pertambangan bukanlah mereka–mereka yang di atas, tetapi masyarakat yang berada di wilayah terdampak. Mereka menjadi korban agama kapitalis yang kini kian dipuja banyak manusia guna meneguk pundi-pundi.
Namun di sisi lain, membicarakan lahan yang beralih rupa menjadi kolam renang dan pariwisata, justru memiliki tantangan tersendiri. Umumnya sawah dan tegal yang diincar adalah milik perorangan. Bahkan gumuk sendiri sifatnya milik bersama. Satu gumuk bisa dimiliki dua, empat pemilik bahkan lebih. Jika sebagian pemilik setuju dikeruk sedangkan sisanya tidak, maka yang tak terkeruk akan berpotensi longsor. Hal ini menimbulkan sikap dilematis. Mengingat manusia sifatnya cepat silau akan rupiah yang ditawarkan, maka tak jarang satu gumuk total dikeruk, atau sebagian lagi tinggal seperempat dengan menyisakan bebatu di atas yang rentan jatuh.
Mengamati perubahan ini, saya teringat akan tulisan Francoise d’Eaubonne dalam bukunya Le Féminisme ou la Mort (1974). Ia menyebut perempuan dan alam memiliki persamaan dalam soal penindasan. Jika perempuan rentan dieksploitasi atas nama pelecehan seksual, maka alam pun tak kuasa saat dikeruk manusia.
Kita lihat saja kasus Baiq Nuril beberapa waktu lalu. Meski presiden memberikan amnesti, tetapi keputusan majelis hakim yang menyatakan Baiq Nuril bersalah adalah bukti betapa perempuan masih kerap menjadi kaum marjinal, terbuang, dan menghuni kelas dua. Padahal jelas-jelas Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang merekam ucapan sang kepala sekolah, malah ia dikenai pasal UU ITE. Harusnya majelis hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan fakta sosial bukan tekstual. Jika tidak, mereka benar-benar menjadi corong undang-undang tertulis, bukan sebagai wakil Tuhan sebagai penyambung keadilan.
Saya yakin, Baiq Nuril hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang mengalami hal serupa. Namun mereka memilih diam. Bukan apa-apa. Karena lahir sebagai perempuan agaknya harus siap menerima takdir pincang. Kala bersuara mencari keadilan, justru ketidakadilan yang diperoleh. Belum lagi stigma dari sesama perempuan yang menentang apabila perempuan berani bersuara, dan malah meminta berdiam saja. Tentu menambah berat perjuangan itu sendiri.
Saya kira, Francoise d’Eaubonne memang benar. Perempuan dan alam memiliki persamaan dalam soal penindasan. Jika alam dikuasai agama kapitalis, maka perempuan dikuasai hirarki gender. Jika alam yang tak ubahnya tubuh manusia, di mana batu layaknya tulang justru ditambang, tanah yang tak ubahnya kulit malah dikeruk, sedangkan sumber air yang berlaku sebagai aliran darah kini mengering, maka perempuan, lewat tubuhnya ia dilecehkan, baik verbal maupun fisik.
Lantas, apakah keadaan ini akan membaik? Entahlah. Saya gamang menjawabnya, mengingat keberingasan manusia ketika mengeruk alam kadang melebihi buasnya harimau dan serigala. Lagi pula, saya hanya seorang perempuan yang konon ‘hanya’ bersandar pada lunglai celana dalam dan kutang, sedangkan saya tinggal di wilayah yang alamnya kian dijarah keserakahan.
Belum ada tanggapan.