kupu-kupu

Kupu-Kupu di Sarang Andeng

Asap putih mengepul dan membubung dari tungku tanah liat. Orang-orang tak lagi memikirkan panci peot yang menjerang air, atau ranting-ranting kayu yang berubah wujud jadi abu di sudut dapur masing-masing. Unggunan bara api tungku seolah tiada berarti daripada pemandangan di depan mata. Riap dua andêng yang melengkung lantas menelusup ke balik rimbun bambu, selaksa rahasia penuh tanya. Mereka menerka-nerka, mengapa dua andêng yang menyinggahi sumber air Bhuttong? Tak biasanya sumber air itu diteguk dua pelangi secara bersamaan. Selarik kabar menguar lantas menjamah mulut bertemu mulut. Mereka berkesimpulan jika pembongkaran makam Apsari penyebabnya.

            “Sumber air itu bherrit. Angker. Mungkin arwah Apsari mandi di sana.”

            “Husst! Mereka ini bidadari surga yang mandi pakai canteng emas.”

            “Canteng emas?” mata salah seorang anak membeliak. Ia membayangkan gayung kemilau emas berisi tinggam syahwat.

            “Kalau dijual, kau bisa kaya-raya. Sennok-sennok tak sengaja melihatnya.”

          Kedua mata anak itu kian membelalak. Lama ia tertegun sampai-sampai tak sadar kalau permainan cahaya andêng mulai menyusut seiring desau angin dan rintik gerimis menyisir pelepah pisang.

       “Hey, Randu. Kau hendak menunggu bidadari di situ?” seorang anak berteriak dari tengah pematang.

          Lekas anak itu bergegas menghampiri kawannya. Dalam langkahnya yang tergesa-gesa, telinganya menangkap tawa dari tempat andêng itu berlabuh. Sekilas ia menoleh. Tak ada siapa-siapa bahkan sisa langsat warna andêng pun tak ada. Hanya serimbun batang bambu di depan mata. Ia lanjut menapaki seruas jalan, tetapi baru dua langkah, tawa perempuan yang melengking nyaring tak bisa ia elak. Diam-diam ia membayangkan sosok bidadari telanjang di antara batang-batang bambu yang menjulang.

***

            “Apakah sennok pernah melihat canteng emas, Bu’?”

           Embu’ mendelik. Tampak ia tersentak mendapati pertanyaanku. Ujung kain jarik yang dikenakan, ia jinjit sampai betis sebelum menuruni umpak-umpak rumah. Masih bersungut ketika embu’ memintaku tak mengucapkan kalimat buruk sebelum akhirnya melenggang ke arah sungai. Padahal dalam benakku tertimbun banyak tanya. Ia serupa ombak yang tak putus-putus membentur karang lantas menimbulkan dentuman yang terdengar.

            Di sini, di lereng Raung ini, meski udara dingin sanggup menggigilkan tulang, watak embu’ akan sepanas neraka apabila aku menyebut kalimat-kalimat yang bernuansa kotor. Di sini, anak-anak seperti aku ini, terbiasa menyebut farji perempuan serupa mengucap nama barang. Tanpa tedeng aling-aling. Orang-orang tua hanya tersenyum. Mereka akan marah apabila pengucapannya terjadi dalam bentuk pertikaian. Kalau sebatas gurauan, farji perempuan seolah-olah bahan olokan yang paling mudah mendatangkan gelak tawa.

***

            Aku mengelak ketika Randu menyebut sennok. Entah darimana ia dengar bisikan itu, nyata-nyata ia bertanya soal pelacur di depanku. Percakapan seperti ini harusnya tak terjadi pada anak seusia Randu. Benar ia sudah balig, tapi membicarakan sennok pasti mengarah pada kemaluan. Dan aku tak mau ia seperti laki-laki di kampung ini yang tak bosan-bosan menganggap kemaluan perempuan sebagai bahan tawa.

          Biasanya, di bawah geladak bambu yang menghubungkan bentangan Sungai Mayang dan daratan, para lelaki yang tengah menggali pasir itu tak pernah lepas bicara soal syahwat. Mereka bercakap-cakap sembari menatap perempuan-perempuan yang tengah melepas kutang lantas membersihkan badan, sedangkan kedua tangan mereka mengeruk pasir di dasar sungai. Aku tak mau Randu begitu. Biar bagaimanapun, ia keluar dari farjiku dan laki-laki bermulut belang itu barangkali lahir dari farji batu.

***

Embu’ melarangku menyebut kemaluan perempuan sebagai ejekan. Kata embu’, sebaiknya lelaki menembang kemaluan perempuan di atas ranjang daripada melontarkan dalam percakapan yang beruju tawa hinaan. Karenanya aku tak ikut berseloroh manakala Ra’is menyebut farjimu seharum melati. Kulihat kau tersipu ketika anak-anak yang baru selesai melihat permainan kasti, bersuit mendapati Ra’is menggandeng lenganmu. Bisaku terpaku lalu membuang muka memandang langit timur.

            “Kau menyukai Rindi?”

           “Tidak,” kataku. Tak mungkin aku mengiyakan tanya Burhan, meski buncahan buih rasa menyatu dalam dada.

            “Rindiani hanya pantas untuk anak berayah-ibu.”

            Aku memutuskan pulang. Di sepanjang jalan, anak carêk  itu masih berteriak. Aku betul-betul muak. Pertanyaan Burhan setengah menggertak. Tatap mata anak itu penuh kebencian sekaligus hinaan. Aku betul-betul gusar, bahkan ketika embu’ datang dari sungai, aku kembali melempar tanya.

            “Apakah sennok pernah melihat canteng emas, Bu’? Apa Eppa’ mati lantaran penasaran melihat canteng emas itu?”

            Raut wajah embu’ tak lagi gelagapan. Malah menaruh seember pakaian yang selesai dicuci di sudut teras, lantas menatapku lekat-lekat.

            “Eppa’mu kesambet. Sumber air itu bherrit. Sepulang menebang bambu di sumber air Bhuttong, eppa’mu sakit perut. Tiga hari kemudian dipanggil Lah Ta’ala.”

            Aku mempercayai ucapan embu’. Itulah musabab aku tak malu mendekatimu. Meski kau anak seorang kalebun, aku yang tak punya ayah bukan persoalan. Justru yang jadi soal, manakala aku duduk di atas umpak-umpak rumah, lalu kau yang berjalan seorang diri di antara kerisik daun dan ranting mahoni usai seharian berduaan dengan Ra’is, tiba-tiba memanggilku. Sontak aku tersentak.

            Petang itu tampak gegap. Katamu, cahaya matahari yang turun kala gerimis akan mendatangkan andêng, dan itu adalah waktu terbaik menikmati pelangi berdua. Aku mengiyakan saat kau menarik lengan lalu kita berlari-lari di antara rintik hujan dekat sungai. Seolah ada yang menuntun, kau berteduh di bawah daun pisang yang kupayungi pada tubuhmu lantas sejenak kita melepas hasrat.

            Ujung andêng masih menjatuhkan diri pada sumber air Bhuttong. Aku yang masih menyisakan bara dalam dada mengajakmu ke sana. Bercumbu di bawah sapuan warna-warni pelangi pasti menjadi cerita. Kau tertawa saat kita menyusup di antara sela-sela bambu di mana warna andêng menerpa tubuh kita. Aku baru menyentuh kedua bibirmu manakala mendengar tawa perempuan dari hulu sumber mata air. Aku yakin mereka bidadari yang sedang mandi. Bukan, katamu. Mereka sennok. Kata Ra’is dan Burhan, sumber air Bhuttong sarang penyamun. Tempat pemandian pelacur yang gubuknya di seberang sumber air.

            “Bukan bidadari yang mandi? Bukan canteng emas yang mereka pakai untuk meneguk sumber air lantas menyirami tubuh yang telanjang?”

            “Itu adalah kepercayaan yang disebarluaskan. Hanya Eppa’ dan beberapa perangkat desa yang tahu cerita sebenarnya.”

            “Burhan cerita padamu sebab ia anak carêk, sedangkan engkau anak kalebun?”

          Kau mengangguk. Aku mengajakmu menyelinap lantas mengendap-endap di antara batang bambu. Pada balik rimbun bambu yang menghijau, aku melayangkan pandang pada seorang lelaki yang tak lain adalah ayah Burhan. Gemuruh dadaku kian riuh saat memandang sekretaris desa itu menggerayangi payudara seorang perempuan. Aku tahu napasmu mendadak tak teratur melihat perempuan yang tengah megap-megap. Kau kian erat menggengam lalu meminta pulang, tapi aku tahan.

Aku mengajakmu meliuk-liuk lewati batang bambu menuju hulu sumber mata air. Mata air yang mestinya tak ternodai, tapi justru menampung sarang pelacur. Di sinilah sennok-sennok membersihkan mani dari selangkangan. Lengking beberapa perempuan menyeruak ke segala sudut alam. Aroma rambutmu yang tergerai memancing kelakianku mengeras. Aku memintamu berdiri di belakangku tanpa melepas genggaman. Aku tahu kau berdebar. Dan kita-kita sama gemetar manakala pemandangan di hulu sumber air ini tak asing dalam pandang. Embu’ku dan eppa’mu tampak saling bertindih. Napas mereka tersengal-sengal tanpa batasan yang menghalang.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan