Salah satu ritual saya yang paling menyenangkan di masa kecil adalah melakukan hompimpah. Dulu, saat mengaji di surau, saya memiliki teman yang kesehatan mentalnya agak terganggu. Namanya Halima berambut keriting. Sebelum proses pendidikan dimulai, kami bermain petak umpet dengan diawali hompimpah. Tentu, Halima selalu kalah. Tetapi, dia tak peduli. Dengan senang hati Halima menghitung satu sampai sepuluh, lalu mencari kami yang sembunyi mengenakan mukenah, atau di balik lemari yang berisi kitab suci.
Di lain waktu, kami pindah ke kompleks gudang. Biasanya, kami berangkat lebih sore dan menyelinap melalui lubang menuju gudang tembakau sebagai arena bermain. Tanpa Halima, proses hompimpah berlaku lebih adil. Setiap orang pasti merasakan takdir kalah atau menang, dan tak satupun menggerutu.
Sampai sekarang, hompimpah masih dilestarikan oleh anak-anak terutama yang bertempat tinggal di pelataran kampung seperti saya. Sayang, ritual ini hanya berlaku untuk kalangan mereka, bukan untuk masyarakat dewasa, lansia atau tingkat remaja.
Penyebabnya, karena pemilu telah berhasil mengantarkan suasana miris nan menakutkan. Beda pilihan siap adu hina dan cacian. Apalagi di media sosial yang tak memiliki penyaring, semua kata-kata kasar seperti: asu, tai, jancuk, terlontar begitu saja. Seandainya kata jancuk ditempatkan pada kondisi sendau gurau, misal: Jancuk, ini kopi enak banget, sih, atau yang menjadi ciri khas arek Suroboyo-an, silakan. Karena kata ini tidak mengandung unsur menghujat. Sialnya, justru kata-kata kasar dan yang lebih kasar di atasnya itu digunakan untuk menghina antar kubu. Padahal mereka mengaku beragama.
Akibatnya, agama diseret dalam dunia politik. Beruntung kalau agama benar-benar dijadikan ijtihad memilih pemimpin. Lha, ini. Tak satu pilihan dianggap kafir, satu pilihan memiliki tiket surga, lainnya masuk neraka. Duh, Gusti. Kenapa harga surga dan nerakaMu ditentukan manusia, padahal mereka bukan Tuhan sepertiMu?
Begitulah Indonesia saat ini. Rasa-rasanya, saya ingin menciptakan alat penghisap ujar kebencian atau meminta bantuan Doraemon saja, ya. Barangkali, dia bisa menciptakan alat tersebut dan hilanglah segala bentuk hinaan di negeri ini. Kendati caci maki itu tak ditujukan langsung pada saya, tetapi sedikit tidaknya menguras tenaga saat menemui meme atau berita hoax yang seliweran. Jika dituruti, bisa-bisa saya mengidap penyakit kronis bernama kanker caci.
Kalau Doraemon tak mampu, mungkin saya akan mengembara dari timur ke barat, mencari Sun Go Kong dan sang guru. Bukankah, kera sakti itu selalu memiliki cara menghadapi peliknya masalah? Kalau begitu, dia bisa mampir. Setidaknya, untuk beradaptasi dan menunggu apa yang bakal dia lakukan. Bisa saja, dia merayu Puteri Kipas untuk mengusir kebencian-kebencian yang diidap banyak orang.
Ai, tentu keduanya hanya khayalan. Saya yakin sekuat mungkin, tak satupun ilmuwan yang mampu menciptakan alat pengusir kebencian. Jangankan menciptakan, andai semua teknologi dan aplikasi dibinasakan dan kita kembali ke zaman lampau, kebencian tetaplah ada pada diri manusia.
Ingatkah Anda saat Qabil tega membunuh Habil? Konon, peristiwa pembunuhan ini disebut tindak pidana pertama yang terjadi di muka bumi. Sedangkan yang lebih tua dari kejadian tersebut, yakni saat Iblis berhasil menghasut Adam-Hawa agar mencicipi buah khuldi sampai keduanya terusir dari surga.
Ndilalah, kalau begitu, saling hasut menghasut sudah ada sejak zaman dulu? Pantas kalau sekarang berkembang biak lebih banyak. Satu orang menghasut lainnya, kalau tak sependapat dianggap kafir. Begitu seterusnya berulang-ulang. Terutama, menjelang pilpres mendatang.
Padahal, kontestasi politik haruslah disandarkan pada takdir. Berusahalah semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya usaha, baru setelah itu dipasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Bukan dengan saling melempar bola panas dan yang menjadi cacing kepanasan adalah masyarakat bawah. Bisa jadi para politikus bermusuhan di depan publik, tetapi berjabat tangan di belakang. Sedangkan masyarakat bawah, baik di media sosial atau bertemu langsung, saling bermusuhan dan menjadi korban kepentingan.
Mari kita sadari, bahwasannya sebagian hidup di muka bumi didasarkan atas hompimpah termasuk ajang pemilihan pemimpin. Ada campur tangan Tuhan yang menentukan jalan hidup seseorang termasuk kalah menang dalam konteks pemilu. Yang mendasar adalah berusaha, berikhtiar, setelah itu baru pasrah.
“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput darimu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya padamu…” (Q.S. Al-Hadid ayat 23) setidaknya, ayat ini memberi penegasan, kalau kita tak perlu bersedih meghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita, dan janganlah kita berbangga jika sesuai dengan keinginan sebab segala sesuatu akan kembali padaNya. Lantas, apa yang perlu dibanggakan kalau tak ada yang abadi di muka bumi?
Mudah-mudahan, khayalan saya yang terakhir tak seperti khayalan menemui Doraemon atau Sun Go Kong. Atau, justru malah hanya sekadar angan-angan dan kebencian semakin mengakar? Entahlah. Hompimpah Negeriku! Hompimpah Nasibku! Hompimpah! Hompimpah! Hompimpah!
Belum ada tanggapan.