Usia memang tidak selalu sejalan dengan kedewasaan. Usia senja tidak selalu cocok dengan konsep kebersahajaan atau kematangan. Semakin massalnya uban tidak paralel dengan semakin mandirinya seseorang. Oleh karena itu jangan terlalu percaya pada usia.73 tahun usia Bangsa Indonesia menarik setiap orang untuk bertanya, “Sudah cukup dewasakah bangsa kita?”
Salah satu takaran kedewasaan kolektif sebuah bangsa adalah kebebasan berpikir dan bertindak secara mandiri. Tanpa sebuah pemikiran semacam ini, negara hanya akan menjadi kekuatan buta yang mudah dimobilisasi oleh penguasa. Berpikir mandiri mengandaikan adanya individu yang mampu melaju melawan arus mainstream utama bagai gerakan mekanisme pemecah ombak pada sebuah kapal. Dengan demikian oposisi merupakan sebuah keniscayaan dalam demokrasi.
Menjelang perhelatan pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, muncul gerakan berjudul “#2019GantiPresiden”. Gerakan ini lahir dan berkembang secara luas melalui berbagai media komunikasi modern. Facebook penuh dengan kutipan sarat makna ini. Tak kurang pula pada aplikasi online berbasis web lain seperti WhatsApp atau Instragam. Seakan kurang canggih, kutipan ini bahkan telah dan sedang menjelma sebuah gerakan separatis dalam komunitas-komunitas kecil nan potensial.
Gerakan ini muncul sebagai tanggapan atas masa kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang sedang berlangsung, Jokowi-JK. Ada yang menyoal bertumbuhnya utang nasional yang membengkak bagai tumor pada wajah Indonesia. Yang lain menyerang kepribadian presiden dan gestikulasi politik pencitraannya. Pada sudut agama, alasan rasa keagamaan juga menjadi tuntutan ketidakpuasan. Tampaknya, “#2019GantiPresiden” kini menjadi arus utama prahara politik Indonesia, pasalnya muncul kelompok tandingan dengan antitesisnya sendiri yang menamai diri dengan hashtag “#2019TetapJokowi” atau “#2019Jokowiduaperiode”.
Tak Berpikir Tanda Anti Politik
Sebagaimana op0sisi merupakan sebuah keniscayaan dalam demokrasi, demikian pun gerakan “#2019GantiPresiden” merupakan sebuah kewajaran dalam berpolitik. Namun, bukan berarti tak punya potensi destruktif yang sebanding.
Hannah Arendt, sorang filsuf perempuan Yahudi, punya keprihatinan tersendiri atas bahaya yang menyelinap di balik gerakan masif semacam “#2019GantiPresiden”. Masyarakat dalam gerakan massa seperti ini digambarkan sebagai, “all imprisoned in the subjectivity of their own singular experience.” Kebenaran bagi mereka adalah, “seen only under one aspect and is permitted to present itself only one perspective.” (1958:58, Human Condition). Menurutnya, keterlibatan masyarakat dalam gerakan-gerakan mainstream berideologi tertentu dapat menyesatkan pada ‘ketidakmampuan berpikir’ (thoughtless) (2018:23). Orang hanya bergabung atas desakan komunal atau gerakan emosional buta. Gejala seperti ini merupakan sebuah gejala dari modernitas. Dia menilai bahwa zaman kita ditandai oleh ketidakmampuan berpikir mandiri dan ketakutan untuk menilai secara representatif sebuah tindakan politik.
Yang menjadi masalah utama bukanlah intisari dari ideologi yang diadopsi melainkan kurangnya kemampuan kritis untuk menakar atau berpikir atas ideologi bersangkutan. Barangkali yang perlu ditakuti adalah bukan memikirkan sesuatu yang tidak bisa dipikirkan melainkan tidak berpikir sama sekali.
Lebih lanjut, Arendt, sebagaimana diungkapkan oleh Yosef Keladu dalam bukunya Etika Keduniawian, Karakter Etis Pemikiran Hannah Arendt, menyatakan bahwa bahaya dari thoughtlessness adalah kecenderungan tidak kritis mengaplikasikan kebenaran filosofis atau justru terjebak di dalamnya (2018:31). Jangan sampai, gerakan semacam itu justru berikhtiar untuk mengabsolutkan standar moral tertentu tanpa mempertimbangkan aspek kebebasan berpikir sesama warga negara.
Politik yang dimengerti oleh filsuf Hannah Arendt adalah sebuah ruang di antara (in-between) manusia yang terbentuk saat mereka bertindak dan berkomunikasi satu sama lain sebagai pribadi yang bebas dan setara. Thoughtlessness merupakan sebuah tindakan yang menempatkan pribadi sebagai penerima buta (blind receiver) tanpa kesetaraan dan kebebasan yang cukup. Dengan demikian jelaslah, bahwa orang yang tidak mau berpikir kritis berarti anti-politik. Dengan meminjam gagasan Hannah Arendt, partisipasi politik dinilai dari kemandirian berpikir dan bertindak sebagai individu yang bebas. Tepat inilah resep manis yang mengindikasikan kedewasaan sebuah bangsa.
Generasi Naratif, bukan Konsumtif
Tugas menjadi bangsa yang dewasa (mature nation) merupakan tugas kita bersama. Untuk mewujudkan idealisme tersebut, paradigma kita harus berubah. Setiap orang harus menjadi bagian dari generasi naratif alih-alih konsumtif.
Generasi naratif adalah generasi yang tanggap secara kritis pada realitas dan membuatnya menjadi bernilai publik dalam bentuk sebuah narasi. Ia bersama-sama memproduksikan kebaikan dan nilai-nilai kolektif daripada sekedar mengonsumsi kebenaran yang dijejalkan dari luar. Pribadi yang naratif meyakini kemampuannya untuk ‘menceritakan’ pikirannya dalam tindakan atau bahasa verbal, meskipun harus melawan arus. Dengan demikian, setiap orang dalam kapasitasnya sebagai warga negara memiliki hak untuk melontarkan kritik terhadap segala realita dan agenda-agenda politik tertentu tanpa harus menjadi bagian darinya.
Sebaliknya, generasi konsumtif adalah karakter generasi yang menerima segalanya secara buta (take for granted). Pribadi yang seperti ini cenderung mudah untuk dimobilisasi oleh kepentingan tertentu. Sebagai sebuah kekuatan buta, karena mengabaikan kemampuannya untuk berpikir, ia dapat mengoyakkan demokrasi.
Dalam konteks politik menjelang Pilpres 2019, kecenderungan konsumtif seperti ini bisa menjadi ancaman yang mengerikan. Sekali kita terjebak dalam ideologi yang destruktif tanpa membuat diskursus, maka kita tidak ada bedanya dengan tunggangan politik sekelompok penguasa. Nasionalisme sempit, terorisme, budaya korupsi, dan radikalisme agama bisa saja muncul karena orang melonggarkan daya kitisnya.
Ciri pola pikir yang konsumtif secara historis pernah ditemukan dalam pemerintahan komunis Soviet, Rusia. Melalui otoritas Lenin, berbagai pemikiran untuk mengkaji Marxisme secara ilmiah dan rasional ditolak. Dogma Marxisme Soviet tampak sangat mandul dalam memunculkan diskursus intelektual-ilmiah, justru di dalam negara-negara komunis sendiri. Banyak tokoh penting yang akhirnya dibuang dan dibunuh karena menyajikan pola pikir alternatif atau kritik atas Marxisme. Konsep Marxisme dianggap sebagai kebenaran final tanpa kompromi. Tentu saja prinsip ini mengkhianati makna sebuah kebenaran dalam peribahasa Latin; “Inermis est veritas, arma veritatis veritas”. Kebenaran tidak memiliki senjata, senjata kebenaran adalah kebenaran itu sendiri.
Berkecambahnya gerakan “#2019GantiPresiden” atau “#2019TetapJokowi” bisa dilihat dalam dua aspek yang paradoksal. Di satu sisi, menguatnya gerakan ini bisa mengindikasikan semakin tingginya interese dan daya kritis masyarakat terhadap politik bangsa. Namun, di sisi lain, keterlibatan pada salah satu kutub mungkin hanya dibarengi dengan sentimen emosional daripada pertimbangan rasional. Dalam media-media sosial, orang-orang membubuhkan tagar-tagar tersebut dalam status pribadi mereka hanya supaya kelihatan nge-trend atau hanya ikut-ikutan.
Kedewasaan demokrasi hanya bisa dilihat dari kemampuan setiap orang untuk berpikir otonom. Tanpa adanya atmosfer yang bebas atau setara untuk menyuarakan aspirasi, demokrasi hanya akan tampil bertopengkan totalitarianisme. Gagasan atau pikiran kritis kita haruslah lahir dari profunditas cordis (kedalaman hati) bukan dari suara mayoritas atau simbol-simbol kolektif.
Munculnya isu #2019GantiPresiden atau #2019TetapJokowi perlu dilihat sebagai tugas untuk dikaji. Trend-trend atau simbol-simbol yang demikian tidak boleh dilihat secara hitam-putih; yang satu benar dan yang lain salah. Pemahaman kita harus sampai pada tahap membaca realitas yang tersembunyi di dalam fakta-fakta yang ada. Dengan demikian, kita tidak akan terjebak dalam salah satu ekstrim.
Belum ada tanggapan.