Jejak Sejarah Pembangunan
Nampaknya riwayat pembangunan negeri ini penuh dengan kisah tentang rusaknya hutan dan lingkungan hidup ketika harus bertarung melawan kepentingan dan kekuatan ekonomi. Terlebih Negara ini dikelola oleh para konglomerat yang mempunyai jejaring oligarki bersama dengan penguasa.
Istilah pembangunan di Indonesia mulai populer semenjak tahun 1960 era rezim orde baru. Selepas merdeka dari penjajah, tentu Indonesia sebagai Negara berkembang ingin membangun pondasi menuju kemajuan. Sebagai “Negara dunia ketiga”, istilah pembangunan infrastruktur fisik maupun ekonomi menjadi mantra sakti yang bisa mengentaskan penyakit sosial.
Melalui konsep Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) era Orba inilah mentalitas yang terbangun mengarah pada pembangunan ekonomi yang 60 % pendanaan pembangunan mengandalkan pinjaman luar negeri (negara-negara dunia pertama) dan investasi asing[1]. Konsekuensinya adalah pembangunan yang dilaksanakan tidak berdasarkan konsep otonom milik pemerintah, namun dipengaruhi oleh konstelasi ekonomi-politik Internasional. Dalam kacamata Negara dunia pertama penyakit tersebut erat kaitannya dengan kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, ekonomi, pengangguran, dsb. Karena itu, yang dilakukan pertama kali adalah pembangunan ekonomi.
32 tahun pembangunanisme era rezim otoriter berlalu dan merupakan waktu yang cukup lama untuk menanamkan pemahaman kepada masyarakat bahwa yang dinamakan pembangunan ialah pembangunan ekonomi. Maknanya telah direduksi sedemikian rupa dengan tidak mempertimbangkan aspek lain seperti Hak Asasi Manusia, Ekologi, dan keadilan sosial. Maka tak heran banyak sekali kasus HAM yang ditinggalkan. Alih-alih mengobati “penyakit”, justru yang terjadi sebaliknya. Hutang internasional, masalah keadilan sosial, kesenjangan pembangunan antar wilayah, hingga kerusakan lingkungan di Indonensia menjadi wajah baru dampak pembangunan.
Kini, empat dasawarsa telah berlalu. Nampaknya ekonomi masih menjadi panglima pembangunan. Dalam narasi di dokumen RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)[2] tahun 2020-2024 bagian arahan presiden, kerangka yang dibangun untuk mencapai visi 2045 belum terlepas dari grand design kebijakan ekonomi. Semenjak periode kedua era Jokowi dimulai saja bisa kita perhatikan setiap kali Presiden menyampaikan pidato, maka ekonomi akan sering didengungkan ke publik. Terlepas dari tahun 2020 ini sedang menghadapi pandemik, setidaknya dokumen ini disusun dan disahkan sebelum kondisi krisis ini. Penyesuaian kondisi (new normal) pun mulai diberlakukan, tidak menutup kemungkinan target pembangunan RPJMN juga akan kembali dikebut sesuai rencana awal.
Posisi Alam
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana nasib pelestarian lingkungan di Indonesia di tengah krisis iklim dunia?
Pasca Protokol Kyoto 1997 hingga Perjanjian Paris lima tahun silam, rasanya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa komitmen Indonesia dalam mengatasi krisis iklim dunia belum begitu serius. Dalam Perjanjian Paris pengurangan emisi karbon jelas masih menjadi agenda utama[3]. Negara-negara anggota menentukan target masing-masing, di tahun berapa mereka akan mencapai 0 emisi karbon.
Dalam hal ini berdasarkan data yang dihimpun oleh World Resources Institute (WRI), Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia dan hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Kongo di Afrika yang menyimpan keanekaragaman hayati sangat tinggi, sehingga berperan penting dalam stabilitas ekosistem global.
Artinya peran Negara ini menjadi penting dan strategis untuk mencapai target kenaikan suhu global dibawah angka 2 derajat C sebelum 2050. Namun bersamaan dengan itu laju deforestasi sangat mengejutkan. Data Forest Watch Indonesia menyebutkan hutan di Indonesia hilang 0,1 ha per 2 detik. Pada periode tahun 2000-2017 saja setidaknya 23 juta ha atau setara dengan 75 kali luas Provinsi DIY musnah[4]. Ini menunjukkan akumulasi dari lemahnya tata kelola hutan.
Yang jadi masalah adalah pertautan antara ekonomi dengan lingkungan seringkali tak menemui titik temu. Meminjam istilah Emil Salim, ekonomi bekerja dengan pasar, tetapi sinyal lingkungan tidak tertangkap oleh mekanisme pasar. Ekolog memandang alam merupakan satu kesatuan dalam sistem kehidupan dimana kita hidup berdampingan. Bagi ekonom konvensional, sumber daya alam – air, tanah, tumbuhan, bahan tambang – tak lebih hanya sekedar faktor produksi bernilai ekonomis untuk perusahaan dan pabrik demi mencipta barang dan jasa. Alam merupakan benda yang manusia bisa kuasai dan lucuti sesuka hati untuk kepentingan pasar. Yang namanya “berkuasa”, pasti punya potensi untuk mengeksploitasi karena adanya ketimpangan posisi. Itu yang selama ini saya amati dan pahami.
Persepsi yang berbeda dalam memandang alam tersebut kemudian tertuang dalam kebijakan, dimana antara kebijakan ekonomi dan kelestarian alam selalu terjadi kontradiksi. Ketidakseimbangan inilah yang mengancam posisi alam saat ini. Istilah pembangunan terlalu mendeskreditkan alam sebagai faktor yang kurang diperhatikan.
Bagaimana mungkin berbicara tentang perubahan iklim serta komitmen yang menyertainya jika pola pembangunan masih seperti yang lalu. Di sisi lain, ancaman perubahan iklim semakin nyata dihadapan kita semua. Baru-baru ini Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melaporkan ada dua pulau di Sumatera Selatan telah tenggelam akibat kenaikan muka air laut, sedangkan empat pulau lainnya terancam tenggelam 2020 ini. Empat pulau tersebut adalah Pulau Burung, Pulau Salahnomo, Pulau Kalong, dan Pulau Kramat. Dan banyak pulau lain yang juga terancam[5].
Ancaman lain hadir dalam bentuk bencana alam, khususnya bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim, yakni hidrologi (banjir, tanah longsor, dan gelombang tinggi), meteorologi (badai, cuaca ekstrem), dan klimatologi (kekeringan, kebakaran hutan). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis telah terjadi 2676 bencana alam periode Januari hingga 10 Desember 2020. Dimana bencana tersebut didominasi oleh banjir, tanah longsor, dan putting beliung. Angka tersebut berpotensi terus bertambah di kondisi La Nina seperti ini.
Dengan kondisi demikian kok Indonesia rasanya belum sadar betul mengenai gentingnya isu perubahan iklim untuk segera diambil kebijakan strategis, atau bahkan dijadikan grand isu utama untuk melingkupi semua aspek pembangunan yang telah direduksi maknanya tersebut. Penuh rasa skeptis dalam benak saya pribadi kalau sudah berbicara krisis iklim dan bagaimana pembangunan Negara ini berjalan.
Hanya sedikit refleksi saja pasca momentum 5 tahun Perjanjian Paris berjalan dan bagaimana komitmen kita sejauh ini.
Daripada sibuk mengurusi masalah-masalah yang gak penting-penting amat berulang-ulang dibahas dan menimbulkan suasana tidak kondusif. Ideologi, agama, ideologi, agama, kapan berbicara perubahan iklim?!
Sumber Bacaan:
Buku:
Salim, Emil. 2010. Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Belum ada tanggapan.