Gavin d’Costa menuliskan, “when religion controlled society, that society was incapable of dealing with religious differences” (Christianity and World Religions, 2009). Jika d’Costa benar, dalam kondisi itu artinya agama menabukan perbedaan. Dualitas hitam-putih mengotakkan agama. Formulasi agama yang tepat atau sesat menjadi pelik. Agama melibatkan kepentingan sosio-politis dalam rumusannya. Ini indikasi mengentalnya persaingan (rivalitas) dalam agama.
Di sudut lain, tidak perlu argumen panjang-lebar untuk menunjukkan kalau internet sudah menjadi conditio humana yang baru. Internet sudah menjadi anasir penting dalam menentukan cara manusia meng”ada” dewasa ini. Di ruang ketiga ini, kita bebas beraktualisasi; mulai dari menyalurkan aspirasi politik sampai pada pemuasan hasrat seksual sekalipun. Internet bukan lagi sekadar tatanan teknologis jaringan antar-komputer. Dia telah menjadi subjek maha raksasa yang menentukan gaya hidup manusia dengan sangat mendasar.
Rivalitas agama yang bergulung dengan dunia digital ternyata memperkusut keadaan. Kita, tampaknya, masih sering menyalahgunakan kebebasan yang ditawarkan internet. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan ruang itu untuk menghasut, menyebarkan, dan mengujarkan kebencian.
Perilaku Beragama di Ruang Maya
Ruang maya itu encer. Siapa pun mudah mengakses dunia selebar genggaman tangan ini. Semua bebas seperti tanpa batas. Siapa saja bisa melontarkan apa pun sesuka hatinya.
Kebebasan di ruang maya ternyata berimbas pada perilaku umat beragama. Interiornya masih dihiasi hujatan diskriminatif, kebencian, dan permusuhan. Beragama akhirnya menjadi sangat antagonis. Agama tidak lagi tinggal dalam konteksnya. Agama sepertinya gagal mengurusi apa yang di sekitarnya. Itu dikarenakan agama tertautkan dengan terpaan dunia maya yang brutal. Ini membuat agama seolah jadi sumber percekcokan.
Contoh terbaru terlihat pada rembesan “Aksi Damai” 4 November silam. Perhatian masyarakat tersedot pada isu politik berkedok agama ini. Ini bermuara dari media sosial. Seseorang menyunting dan menyebarkan pernyataan salah satu kontestan Pilkada DKI di media daring. Sang editor melebarkan konteksnya pada ranah agama; isu yang mudah tersulut jadi kobaran murka di masyarakat kita. Sudah begitu, masyarakat menerima pula pelintiran itu sebagai fakta. Ya sudah, api tersulut kemana-mana.
Majalnya nalar memparah keadaan. Sudah bukan rahasia kalau pendapat umum mudah mencengkerami kita. Kita gampang gusar sebelum memahami. Kita sukar menunda untuk percaya. Kita sering merelakan diri digagahi oleh apa kata orang banyak. Neraca daya kritis kita selalu merugi. Defisit akal sehat!
Di ruang maya, kita lebih cepat “bicara” dibanding “mendengar”. Kita malas menimbang dengan seksama. Kita ingin lekas tampil nir-substansi. Kita terburu-buru memutuskan tanpa perhitungan. Kita tergesa menyimpulkan minus berlogis-pikir. Akibatnya, cara beragama di ruang ini menjadi tertutup, berkacamata kuda, dan bersudut pandang tunggal. “Di luar keyakinanku, semua salah!” begitu motonya. Jadi tidak mengherankan, jika cara bertutur kita kental bercorak aroma permusuhan. Dengan enteng mencap agama lain sebagai kafir menjadi biasa. Di ruangan ini, beragama sekaligus berbencian menjadi lumrah.
Adil Sejak dalam Pikiran
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” nasehat Jean Marais kepada Minke dalam novel Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer. Minke yang kasmaran digundahgulanakan oleh pendapat umum. Dia gobar hati karena jatuh cinta pada Annelies, putri seorang nyai; bernama Ontosoroh. Keluarga nyai tidaklah dipandang. Secara susila, publik menilai rendah mereka. Anggapan umum inilah yang merisaukan Minke.
Adil sudah sejak dalam pikiran adalah ajakan untuk menyelidiki. Dia menolak berduga-sangka. Dia menguji apa kata orang. Dia memeriksa dulu sebelum percaya. Dia tidak menghakimi sebelum tahu duduk perkara. Di hadapannya, semua pendapat adalah hipotesis yang meminta pembuktian. Dia menuntut diri melihat dari ragam sudut untuk menilai. Inilah perilaku terpelajar itu.
Di tengah lagak netizen di media sosial dewasa ini, adil sejak dalam pikiran menjadi maha penting. Internet banyak menebar kecohan. Berkat kemajuan teknologi, tipuan informasi mudah dikerjakan. Tak butuh waktu lama untuk menyunting tulisan, berita, gambar, bahkan video seturut kepentingan. Semua bisa dilakukan bermodal dua jempol lincah di layar gawai setelapak tangan.
Sebenarnya, kita dapat mengantisipasi kasus penistaan agama yang sedang marak, jika kita bisa berlaku adil sudah sejak dalam pikiran. Kita akan mudah memilah perkara; mana yang teologis dan politis. Kita bakalan gampang berjarak dari prasangka dan amarah. Kita mudah terseret karena lemahnya rasa adil sudah sejak dalam pikiran. Sentimen kita mudah tersulut. Ketidakadilan dalam pikiran membuat irasionalitas dipuja bak raja.
Tak bisa dipungkiri, ragam konflik berbau agama di dunia nyata banyak bersumber dari ruang rumpi dunia maya. Agama disana dipanggungkan serampangan. Hermeneutika teks tak diacuhkan. Prinsip semantik tiada dipedulikan. Jumlah like dan sebarannya menjadi acuan keberanan. Tirani mayoritas sebagai ancaman demokrasi bermula diruang itu. Tak pelak, ini pertanda kita memang bangsa yang belum terpelajar karena belum bisa berlaku adil sudah sejak dalam pikiran.
Belum ada tanggapan.