Bulan Mei merupakan bulan spesial. Dalam bulan Mei terdapat banyak peristiwa sejarah. Salah satu peristiwa terpenting di bulan Mei adalah peristiwa meletusnya reformasi 1998. Meletusnya reformasi 98 merupakan tonggak bagi kehidupan kebangsaan kita. Peristiwa reformasi 1998 tersebut, menurut saya, lebih penting dari peristiwa manapun di Indonesia pasca bencana malari dan krisis ekonomi yang di mulai tahun 1994. Mengapa demikian?
Hal itu terkait signifikasi peristiwa tersebut. Signifikasi peristiwa reformasi 1998 terletak pada subjek penggagas dan agenda yang diusung. Subjek penggagas gerakan reformasi 1998 adalah mahasiswa, agen perubahan yang selama ini menjadi penggerak roda sejarah di Indonesia. Pada momentum reformasi 1998, seluruh Indonesia, baik yang aktif pada organisasi kampus maupun yang bergelut sebagai aktivis literasi tergabung dalam satu barisan. Sedangkan agenda yang diusung para mahasiswa dalam gerakan reformasi 1998 adalah demokratisasi publik yang berupa pembukaan saluran keran-keran politik, ekonomi dan informasi yang selama ini tertutup.
Pada isu demokratisasi informasi misalnya. Pembukaan keran-keran informasi yang dituntut mahasiswa dilakukan sebab ada monopoli wacana dan informasi. Seluruh berita, data, dan fakta diseragamkan. Akhirnya munculah imperialisme pemikiran. Hal tersebut membuat narasi-narasi wacana kita tidak berkembang.
Runtuhnya orde baru memungkinkan pengembangan narasi-narasi baru di indonesia. Fakta serta kejadian sejarah misalnya. Pasca reformasi, tafsir informasi tentang sejarah mulai menggeliat. Banyak wacana sejarah tandingan dibangun. Narasi-narasi tersebut adalah narasi yang dibangun putra-putri berjiwa reformasi untuk memperkaya dan mempertajam wacana keilmuan di negeri ini.
Selama orde baru, Narasi sejarah tentang tragedi 1965 selalu memojokkan dan menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang tunggal peristiwa berdarah tersebut. PKI selalu dianggap biadab, kejam, brutal dan mungkin mirip setan seperti dalam drama-drama kolosal. Namun, narasi besar dan tunggal ini mulai mendapat tandingan pasca reformasi tercipta.
Menurut versi mutakhir, yang membahas sejarah dalam dimensi yang lebih kompleks dari sekedar gambaran klise hitam-putih, tragedi kemanusiaan 1965 adalah pergumulan kepentingan PKI, Soekarno, Anggatan Darat, dan CIA. Begitupun yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Yang bertanggung jawab atas peristiwa nahas tersebut adalah seluruh komponen yang terlibat, yaitu PKI, Angkatan Darat, Soekarno, dan CIA.
Narasi sejarah 1965 yang dibangun oleh orde baru seperti contoh di atas merupakan bentuk aktual dari sloganisme literasi. Sloganisme literasi merupakan bentuk lain dari doktrin tertulis yang disebarkan secara diulang-ulang. Pemerintah orde baru, mencetak buku, majalah, tabloid, dan buletin dalam rangka menjaga otoritas wacana. Pamrihnya adalah kestabilan politik dan ketiadaan oposisi. Dengan membuat sloganisme literasi dalam sejarah kita, rezim orde baru berharap bisa melanggengkan kekuasaan mereka.
Sejarah Sloganisme ORBA
Sloganisme literasi pada konteks sejarah versi orde baru, merupakan sloganisme yang dibangun oleh aktivis literasi. Salah satu aktivis literasi paling berpengaruh di Indonesia adalah Nugroho Notosusanto. Karyanya, hingga saat ini masih digunakan sebagai sejarah ”yang benar” versi pemerintah. Muatan ideologisnya pun, tersebar di seluruh buku sejarah di Indonesia. Mulai dari bangku Sekolah Dasar, hingga Sekolah Menengah bahkan perguruan tinggi.
Nugroho Notosusanto adalah seorang intelektual sekaligus sejarawan militer. Ditangannya tercipta banyak slogan Orde Baru. Nugroho muda, menamatkan sekolah menengahnya di Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Univaersitas Indonesia. Semasa menjadi mahasiswa, Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis sastra. Banyak karangan fiksi yang dia tulis, terutama pada tahun 1952-1963.
Dengan mendapatkan beasiswa dari Rockfeller Foundation, Nugroho Notosusanto melanjutkan studinya di London, Inggris, kemudian memantapkan diri sebagai sejarawan sekaligus intelektual militer. Buku Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia merupakan tugas pertama Nugroho Notosusanto ketika menjabat sebagai kepala Pusat Sejarah ABRI (Wijaya 2013:151).
Bagi saya, segala macam bentuk sloganisme adalah alamat bahaya. Sebab, seperti kata Soe Hok Gie, kehidupan bangsa Indonesia dan nalar intelekualnya tidak bisa dibangun atas dasar nalar slogan-slogan. Slogan-slogan adalah mantra-mantra yang menipu. Dengan hidup dari slogan-slogan, kita telah berada dalam ambang ketumpulan pikiran.
Pertanyaanya sekarang adalah, mampukah kita, manusia Indonesia, keluar dari jebakan sloganisme yang selama ini telah mendarah daging. Jika mampu, saya yakin, kita akan mampu melahirkan gagasan-gagasan bermutu yang jauh dari nalar slogan, seperti yang dilakukan Nugroho Notosusanto dan para aktivis literasi rezim orde baru.
Belum ada tanggapan.