Apakah memfungsikan akal dalam beragama berbahaya bagi anak-anak? Tentu saja tidak. Ismail merupakan contoh anak yang justru memiliki keutamaan agama karena fungsi akalnya. Hal itu bisa kita lihat bagaimana jawaban Putra Ibrahim yang berusia 9 tahun saat hendak disembelih.
Ismail mengetahui perintah Allah yang akan merenggut nyawanya itu setelah mendengar penjelasan mimpi ayahnya. Ismail tidak merengek untuk dikasihani. Ia menerima perintah tersebut dengan rela hati sembari membesarkan hati sedih ayahnya karena sang anak harus mati di tangannya sendiri. Bahkan, ia menasehati ayahnya tentang beberapa hal agar perintah itu terlaksana sebaik-baiknya. Sikap dan ketabahan Ismail telah melampaui nalar seorang anak pada semestinya.
Kesadaran religi Ismail menarik dicermati bagi orang tua dan pendidik agama. Umumnya, seorang anak belum memiliki perhatian tinggi pada perintah-perintah agama. Dunia bermain dan bersenang-senang merupakan hal yang diketahui oleh anak. Seorang anak tentu akan menjerit jika mendengar dirinya dikurbankan atas perintah Tuhan, namun Ismail tidak demikian. Kesadaran beragama yang dimiliki Ismail tersebut tentu tidak terlepas dari proses pendidikan ayahnya, Ibrahim, yang mengenalkan agama pada anaknya.
Ada hal menarik yang dapat kita cermati dalam peristiwa Ibrahim dan Ismail. Hal menarik tersebut terletak pada cara Ibrahim mengajarkan agama kepada Ismail dengan mengedepankan dialog. Percakapan Ibrahim kepada Ismail sebelum ia mengayunkan pedang ke leher anaknya merupakan contohnya. Ibrahim mendiskusikan bersama Ismail perihal perintah Tuhan yang ia terima melalui mimpinya tersebut. Ia bahkan meminta pendapat Ismail mengenai mimpinya tersebut.
Dialog memiliki nilai sangat penting dalam agama. Dialog agama mestinya dilihat sebagai upaya menghadirkan nalar dalam beragama. Dialog agama juga sarana pendidikan nalar dalam beragama. Ibrahim pun mengalami dialektika nalar saat mempertanyakan keabsahan patung sebagai Tuhan yang disembah. Nalar Ibrahim meragukan benda mati yang tidak memiliki nafas bagi dirinya sendiri mampu menolong manusia. Hal itu ia alami semasa masih kanak-kanak hingga menjelang remaja.
Nalar Ibrahim mengantarkan pada sebuah pengembaraan pencarian Tuhan yang sejati. Ibrahim merenungi alam setelah ia merasa tidak puas dengan patung yang disembah kaumnya. Ia mencari dan bertanya adakah matahari, rembulan, dan bintang itu pencipta semesta? Nalar Ibrahim segera dapat menyimpulkan bahwa benda langit itu bukanlah Tuhan karena ia menghilang dan tidak abadi. Ibrahim berdialog dengan dirinya sendiri menguji setiap pemahaman agama.
Ibrahim menggunakan dialog saat menyadarkan kaum dan ayahnya. Metode dialog dilakukan Ibrahim menghadapi Namrudz dan kaumnya yang marah karena Ibrahim menghancurkan “tuhan-tuhannya”. Ibrahim menunjuk bahwa patung terbesar itulah yang menghancurkan patung lainnya. Namrudz pun menjawab bahwa tidak mungkin sebuah patung, benda mati, dapat melakukan hal tersebut.
Jawaban Namrudz itu kemudian dijadikan alat kritik oleh Ibrahim untuk menggugah nalar beragama Namrudz dan kaumnya. Bagaimana mungkin patung yang tidak mampu memberikan manfaat serta kuasa untuk membahayakan itu layak disembah? Namrudz tidak mampu menjawab kritik Ibrahim. Nalarnya menyepakati kritik Ibrahim secara diam-diam, namum ia enggan mengakui. Mereka justru membakar Ibrahim hidup-hidup, sebuah kekejaman khas dimiliki kaum yang menyangkal nalar.
Dialog vs Perintah
Dialog Ibrahim semestinya menjadi teladan bagi orang tua dalam menumbuhkan rasa keagamaan anak-anak. Berdialog sangat penting karena mengikutsertakan fungsi nalar dalam beragama. Dialog membangun sikap kokoh beragama pada Ismail serta mengasah nalar kritis Ibrahim dalam pencarian Tuhan yang Haq.
Dialog berbeda dengan perintah. Perintah itu sulit membentuk kesadaran. Kesadaran lahir dari pemahaman bukan perintah dan hukuman. Bagaimana mungkin seorang anak akan giat dalam sholat tanpa mengerti urgensi melakukan sholat?
Hal inilah yang terjadi dalam cara mendidik agama di masyarakat kita. Sesuatu yang tidak mengherankan jika kemudian anak malas beribadah, jarang pergi ke masjid atau becanda dalam masjid. Saat menjelang dewasa mereka pun lupa doa sehari-hari, hafalan surat pendek, dan seakan tidak bergairah lagi pada agama.
Seorang anak tetaplah manusia yang berfikir menuntut sebuah alasan. Kehadiran perintah tanpa dialog menjadi sebuah paradoks dalam peningkatan mutu religi. Namun sayang, penghadiran nalar berfikir dalam agama justru dipandang negatif bagi sebagian pihak.
Proses berfikir bahkan dianggap membahayakan aqidah anak-anak. Ruang untuk bertanya bagi anak pun ikut hilang karena khawatir fikiran dan pertanyaan polos mereka dapat merendahkan agama. Agama pun menjadi sesuatu yang tertutup dan tidak boleh dibicarakan. Bayang-bayang akal adalah musuh agama pun terus lestari hingga dunia universitas.
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan pengajaran agama di pesantren. Pengajaran agama di pesantren mengedepankan dialog seperti dalam metode sorogan. Metode ini diawali dengan membaca kitab kuning di hadapan guru yang akan mengkoreksi bacaanya. Diskusi mengenai pemahaman dan persoalan dibahas kemudian setelah semua santri menyelesaikan gilirannya.
Beberapa kitab kuning, kitab klasik yang dipelajari di pondok pesantren, pun juga menggunakan format dialog dalam metode penulisannya. Sebut saja Kitab Jawahirul Kalamiyah karya Syaikh Thahir bin Shalih Al Jazairi. Kitab tauhid ini umumnya diajarkan sebagai pendasaran aqidah. Metode dialog berupa tanya jawab agama dimaksudkan penulis untuk memudahkan pembaca pada kalangan pemula.
Kitab tersebut memuat pertanyaan-pertanyaan kritis yang pernah dilontarkan oleh pemikir teologi generasi salaf hingga aliran teologi Islam. Penulis tidak mengkhawatirkan atas pertanyaan-pertanyaan yang pada kalangan umum dianggap membahayakan aqidah. Penulis yakin, jawaban yang rasional berserta dalil naqli yang diberikan akan memuaskan nalar pembaca. Jika argumen masuk akal, maka keyakinan yang kuat akan diperoleh.
Dialog dan nalar sudah semestinya kita hadirkan sejak dini dalam pendidikan agama. Nalar beragama akan sangat penting dibangun terlebih saat menginjak usia remaja. Kita tidak perlu mencemaskan Fakultas Ushuludin akan melahirkan seseorang yang murtad. Kita perlu mengkoreksi persepsi bahwa mendiskusikan agama dengan kritis bisa menggoyahkan keimanan.
Kita pun perlu menyadari bahwa mengkritisi diskursus agama bukan berarti melecehkannya. Bukankah Ibrahim pun mengalami gejolak jiwa karena pertanyaan fundamental pada masa mudanya? Bukankah Namrudz jua yang mendustakan nalar kritis anak muda Ibrahim dan menganggapnya melecehkan agama nenek moyang?
Penulis merupakan Mahasiswa Aktif Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Bahasa Inggris. Penulis juga merupakan Pengelola Toko Buku Online Abjad Rakjad
Belum ada tanggapan.