menulis-cerpen-yang-asyik

Memunculkan Efek Emosional pada Pembaca Fiksi

mahasiswa-dan-menulis-opiniPada pembaca fiksi, meskipun tampak tenang dan diam tanpa gerakan yang berlebihan, sebenarnya terjadi sebuah proses yang bersifat emosional pada dirinya saat dia sedang membaca. Proses itu bersifat emosional sebab berkaitan dengan sisi-sisi perasaan pembaca, seperti sedih, gembira, kesal, sayang, dan marah terhadap kondisi atau keadaan yang dialami oleh tokoh sentral dalam cerita yang dibacanya. Untuk itu, penulis fiksi semestinya mampu menempatkan kondisi atau keadaan yang dialami tokoh sentral ke dalam sebuah jalinan alur sehingga intensitas perhatian pembaca begitu tinggi terserap ke dalam tokoh cerita. Selain dengan “melibatkan” pembaca dalam cerita lewat teknik penyudutpandangan (point of view), efek emosional pada pembaca juga dapat dipicu dengan menempatkan tokoh sentral cerita itu pada suatu kondisi yang benar-benar dapat dibayangkan dan dirasakan begitu parah sampai-sampai berada pada titik puncak emosional si pembaca sendiri. Kondisi atau situasi apa saja yang dapat menimbulkan efek emosional pembaca?

KEPEDIHAN. Katanya, kepedihan ibarat pedang bermata dua. Maksudnya? Baik yang menderita kepedihan itu maupun tokoh yang membuat kepedihan itu terserap begitu kuat ke dalam ingatan pembaca. Artinya, keduanya akan mungkin selalu diingat oleh pembaca! Cerita klasik kita, Sitti Nurbaya misalnya, baik Sitti Nurbaya maupun Datuk Maringgih selalu diingat para pembacanya. Sitti Nurbaya menderita sebab harus kehilangan kekasih yang dicintainya, lalu menikahi Sang Datuk tua sehingga hidup bersama suami yang begitu kasar dan jahat menjadikannya hidup dalam kepedihan. Dan, Sang Datuk tua itulah yang membuatnya menderita. Kedua tokoh itu begitu kuat masuk dalam ingatan pembaca, bahkan ingatan kolektif pembaca!

Kepedihan bisa berupa penderitaan fisik atau penderitaan yang bersifat emosional. Bayangkan jika tokoh sentral cerita kita, misalnya, adalah seorang pemuda tampan, kaya, dan terkenal terus mengalami kecelakaan hingga kaki dan tangannya harus diamputasi, wajahnya rusak, koma hingga berbulan-bulan, sehingga kekayaannya habis, lalu pacarnya meninggalkannya untuk menikah dengan pemuda lain. Apa yang Anda rasakan?  Atau, coba kita tengok tokoh Lintang dalam Laskar Pelangi. Bukankah ada kepedihan yang dimunculkan penulis di sana sebab anak jenius yang luar biasa itu harus keluar dari sekolah sebab harus menjadi tulang punggung keluarganya menggantikan ayahnya? Dan, kita terus ingat Lintang, bukan?

Kepedihan atau penderitaan yang dialami oleh tokoh bukanlah sekadar, misalnya, jatuh dari pohon atau terkena lemparan batu, tetapi sesuatu yang memang berdampak besar bagi pengembangan plot selanjutnya. Dengan kata lain, kejadian itu adalah kunci untuk membuka pintu masuk ke dalam plot cerita. Kejadian buruk yang dialami tokoh sebaiknya tidak diulang-ulang. Kejadian buruk yang terjadi satu kali pada diri tokoh akan dinilai punya makna penting oleh pembaca, namun jika kejadian itu berulang-ulang terus-menerus, maka itu akan dinilai sebagai sebuah lelucon.

PENGORBANAN. Kata pengorbanan ini saya pakai mengacu pada dua pemaknaan, yaitu (1) menjadikan tokoh atau karakter sebagai korban, dan (2) sebuah pilihan yang dilakukan oleh tokoh atau karakter yang akan berdampak pada keseluruhan hidup tokoh tersebut. Dalam pandangan saya, kedua bisa berdampak pada munculnya rasa emosional pembaca.

Baik tokoh sebagai korban maupun tokoh yang menyebabkan penderitaan (pengorban) akan menarik perhatian pembaca. Pada tokoh korban akan timbul rasa simpati kepada pembaca. Sebaliknya, pada tokoh pengorban akan timbul rasa benci, sebal, atau marah pada diri pembaca. Apalagi jika tokoh pengorban itu selalu berhasil dalam menjalankan aksi-aksinya, dan penderitaan kian bertambah pada tokoh korban, maka bisa dipastikan emosional pembaca akan kian terkuras.  Tapi, kita perlu berhati-hati dalam menempatkan tokoh korban dan tokoh pengorban. Penempatan kondisinya harus dibuat sedemikian rupa sehingga tindakan yang dilakukan itu memiliki makna penting, bukan sebuah tindakan yang biasa saja yang jauh dari makna sebagai sebuah pengorbanan. Pun, soal penempatan tokoh korban dan tokoh pengorban harus pula memperhatikan konstruksi dan konstelasi tokoh-tokoh tersebut dalam cerita. Katakanlah, tindakan balas dendam yang dilakukan tokoh cerita (berarti tokoh cerita menjadi tokoh pengorban) justru akan mendapat simpati dari pembaca, dan tokoh korbannya malahan kematian atau kekalahannya menjadi sebuah kegembiraan bagi pembaca.

Memilih antara X dan Y pun berarti akan mengorbankan salah satunya. Memilih X bermakna mengorbankan Y, sebaliknya memilih Y berarti mengorbankan X. Novel-novel tentang kisah cinta segitiga, misalnya, ada pihak yang menjadi korban. Tapi, sekali lagi konstelasi tokoh-tokoh dan struktur cerita berperan penting dalam menguras perasaan pembaca. Dalam film-film Hollywood sering kita temukan tokoh-tokoh utamanya dihadapkan pada dua pilihan yang menentukan. Beberapa film menunjukkan adegan di mana tokoh utamanya dihadapkan pada pilihan menyelamatkan dunia (tokoh lain) atau mengorbankan dirinya sendiri.

PENGANTISIPASIAN. Pengantisipasian adalah upaya-upaya yang dilakukan agar sesuatu yang mengerikan tidak terjadi. Pengantisipasian itu harus muncul dalam diri si pembaca. Jadi, si pembaca dibuat membayangkan sesuatu yang buruk yang akan menimpa tokoh sentral dan tanpa sadar, pembaca itu membayangkan antisipasi-antisipasi yang mungkin bisa dilakukan tokoh tersebut. Bila kita menonton film, kita pernah mengalami atau melakukan sebuah antisipasi, misalnya, dengan menutup mata ketika sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada tokoh. Bahkan, kita dibuat geregetan saat tokoh tersebut tidak menyadari akan apa-apa yang akan dialaminya. Mungkin, kita akan berteriak memaki tokoh tersebut atas ketidaksadaran yang kita sadari. Bisa pula, saat kita anak-anak, melihat adegan atau kengerian yang bakal dialami tokoh yang kita sayangi, janntung kita lebih cepat berdetak dan tanpa sadar kita mengepal-ngepalkan tangan kita. Nah, seorang penulis fiksi harus mampu meramu peristiwa-peristiwa sedemikian rupa sehingga pembaca sudah membayangkan kejadian seperti apa yang akan menimpa tokoh dan tanpa sadar muncul pengharapan akan bebasnya tokoh dari situasi tersebut.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan