Setiap lebaran hampir tiba, pemandangan tentang jalan seolah menjadi perhatian kita kembali. Jalan yang bergelombang, jalan yang berlubang disepanjang pantura itu adalah cerminan. Apa yang kita perbaiki, tak selalu mulus di masa-masa berikutnya. Jalan tak sekadar dimaknai sebagai proyek semata yang tiap tahunnya selalu ada, atau diadakan. Jalan seperti menjadi metafora. Ia adalah diri kita, ia adalah jiwa kita. Terkadang, sesuatu yang baik, mesti dilakukan berkali-kali, seperti usaha memperbaiki. Dalam sesuatu yang berulang-ulang itu, ada upaya untuk mencapai dan menggapai sempurna.
Seperti itu pula kiranya saat kita menjumpai ramadan sudah berakhir. Saat hari raya tiba, orang-orang berbondong-bondong untuk pulang, menemui diri, menemui asal-muasal. Ada upaya untuk tak melupakan yang lewat, yang dulu, yang menjadi landasan, yang menjadi pijakan. Kita tahu, yang muasal itu ada di desa, ada di kampung. Di kampung itu, ada usaha untuk menengok jejak yang telah lalu. Ada laku ziarah untuk melihat masa lampau. Seolah, di setiap hari raya itu, kita disadarkan kembali tentang ingatan, tentang sejarah.
Pulang, bukan sekadar upaya untuk tetirah (istirahat), tapi merupakan sebuah eksistensi. Pada akhirnya, kita tak membangun, tak membawa kesuksesan, keberhasilan, dan segala yang kita capai, ketika pulang justru kita tak membawa apa-apa. Disanalah sebenarnya setiap lebaran tiba, kita diingatkan, kita dipanggil untuk pulang. Maka, peristiwa kematian itu tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang menyentak, sesuatu yang ditakuti, tapi dianggap sebagai sesuatu yang alamiah.
Meski begitu, ketika mudik, ada perjuangan yang dilakukan yang tak selalu mulus. Kemacetan, lapar, haus, hingga desak-desakan di dalam kendaraan sudah menjadi hal yang biasa. Kemenangan dicapai saat kita mampu mengalahkan rintangan dan cobaan itu.
Ketika peristiwa mudik dikaitkan dengan persoalan pembangunan, maka pembangunan pun demikian halnya. Ada banyak orang jujur dalam pembangunan, tetapi ada pula orang yang disebut munafik pembangunan. Istilah ini saya temukan di buku berjudul Islam Multidimensional (1986). Ir. A Syahirul Alam melukiskan seorang munafik pembangunan ibarat sebuah tongkat yang disandarkan di dinding tembok semata. Ia kelihatan kokoh, kuat, tapi ketika ada angin, atau kita senggol saja, sudah roboh. Para munafik pembangunan inilah yang mesti disingkirkan dari jalan mudik. Sehingga upaya perbaikan jalan di setiap tahunnya itu memang upaya yang benar-benar serius. Dan kerusakan itu bukan akibat dari kesalahan pembangunan melainkan karena hujan, serta panas yang menyebabkan jalan rusak di setiap tahunnya.
Mudik, memang mengembalikan kita sebagai orang udik, orang desa, orang kampung. Disana pula ada memori tentang gotong royong, toleransi, tenggang rasa, serta kerja keras yang menyatu dalam diri orang desa. Meski sudah berdomisili di kota, meski telah hidup di kota, ada kerinduan akan nostalgia, sehingga kita tak menghilangkan identitas kedirian kita.
Keriuhan, kemacetan, kecepatan, hingga hiruk-pikuk kota tak bisa dihadapi begitu saja tanpa mentalitas orang desa yang memerlukan kerjasama, memegang nilai luhur tradisi, hingga toleransi. Nilai-nilai itulah yang dibawa dan dipertahankan ketika orang desa merantau sejauh apapun itu. Maka, tatkala ia berhasil, atau sukses dalam soal material, hingga spiritual, ia tak melupakan kampung sebagai tempat dimana ia ditempa untuk menjadi diri yang sejati.
Dari sana peristiwa mudik tetap menjadi sesuatu yang perlu, bukan hanya untuk mengingat, tapi juga sebagai silaturahim, upaya untuk mempererat yang terpisah itu, orang jawa bilang ngumpulke balung pisah (menyatukan tulang yang berpisah). Dan tak heran, ketika mudik, semua anggota keluarga seperti berkumpul kembali, menjadi satu, untuk saling berbagi kebahagiaan, berbagi cerita dan nostalgia.
Mudik bisa dimaknai bahwa kita bukanlah orang yang congkak, sombong, yang melupakan identitas diri kita. Ada upaya untuk mengikis ego, menghilangkan hal-hal yang berbau materiil, untuk memupuk yang spiritual. Dengan mudik, kita tak menjadi lupa diri, bahwa sejatinya kelak kita akan kembali ke asal, kembali ke Tuhan.
Saat lebaran tiba, kita pun diajak untuk menikmati hidangan meja makan yang membuat kita kembali merasakan momen di masa kecil kita. Hidangan-hidangan itu mengingatkan kita kembali pada apa yang tumbuh dan besar di sekeliling kita mampu membuat kita terjaga. Orang desa, hidup dan tumbuh besar dari alam. Ada ajakan untuk mengingat alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kita.
Kita juga diajak untuk mengingat simbol-simbol, petuah, ajaran dibalik setiap makanan yang kita makan. Tentu saja hal ini berbeda ketika kita berada di kota yang berhadapan dengan makanan yang siap saji. Apa yang kita makan membuat kita mengingat filosofinya, nilai-nilainya.
Kembali
Mari meresapi sajak Rumi yang menggambarkan bagaimana makna mudik. Di dalam Matsnawi, Rumi menulis : Di mata Sang Pemilik Hati/ hati ibarat jasad/ia adalah tambang. Rumah hati tiada berarti tanpa/ pancaran sinar Sang Matahari/ Ia pekat dan hampa/ tanpa kekasih Sang Raja. Cahaya Matahari bukanlah sinar dalam hati/ ruang sempit/ pintu yang tertutup. Kuburan lebih kau sukai / maka kemarilah/ keluar dari persemayaman hati.
Manusia kelak akan kembali pada penciptanya. Sebagaimana kita, kelak akan kembali pada kampung, pada asal muasal kita. Dan kuburan hanya tempat bagi tubuh kita, sedang ruh tetap kembali pada Tuhan. Mudik, seperti kalimat pendek Rumi : Kita telah menyesali dirikita tak akan meninggalkan kampung ini.
*) Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengasuh SMK CITRA MEDIKA SUKOHARJO
Sumber gambar : tribunnews.com
Belum ada tanggapan.