cangkang-ketupat

Ketupat-Ketupat Karman

“Sudah berapa ratus ketupat yang kita buat, ceu?” Tanya Rosmini, tetangga yang biasa membantu Ceu Izah membuat cangkang ketupat.

“Ada sekitar tiga ratusan. Pesanan paling banyak dari Bu Haji Imas.” Jawab Ceu Izah seraya sibuk menggeser ke arah pojok cangkang ketupat yang sudah selesai dikerjakan. Ceu Izah terlihat kesulitan mendapat tempat duduk karena cangkang-cangkang ketupat yang belum sempat ditata.

“Bu Haji Imas kan biasanya dijual lagi di pasar. Dia tidak hanya pesan dari kita tapi juga dari Kang Machdar. Malah Kang Machdar bisa menyetok cangkang ketupat hingga ribuan. Dia memasarkan ketupatnya ke hampir semua pasar. Apa Ceu Izah juga tidak berniat menyetok cangkang ketupat lebih banyak biar bisa dipasarkan di berbagai tempat?” Tanya Rosmini seraya terus menganyam daun-daun kelapa.

“Ceu Izah bisa saja membuat cangkang ketupat sebanyak itu, tapi Ceu Izah kesulitan bahan baku. Ini juga daun kelapanya Ceu Izah ambil dari kebun Mak Asih, nenek Ceu Izah. Sedikit-sedikit ya beli dari orang. Tapi kebanyakan pemilik pohon kelapa gak mau menjualnya karena yang diambil rata-rata daun kelapa muda. Mereka takut pohon kelapanya mati apalagi di kampung kita ini pohon kelapa semakin langka karena habis ditebang. Kebun-kebun kelapanya sekarang dibuat pemukiman.” Terang Ceu Izah sambil menyelonjorkan kaki.

“Tapi Kang Machdar bisa mendapatkan daun kelapa dengan mudah. Bahkan kemarin Ros lihat dia membawa hampir satu pick-up daun kelapa. Entah dari mana?”

“Kamu gak nanya, Ros? Kalau tahu kan Ceu Izah bisa ikut beli ke tempatnya.”

“Ah, mana berani. Orang sombong kayak Kang Machdar mana mau ngasih tahu. Kalau ngasih tahu tempat penjualan daun kelapa muda rugilah dia. Dia berfikir nanti usahanya akan semakin tersaingi.”

“Ya biarin saja, Ros! Kita bersyukur saja dengan bahan baku yang ada. Tidak usah melihat usaha orang lain. Rezeqi sudah ada yang ngatur.”

Ceu Izah dan Rosmini terus menganyam daun kelapa menjadi cangkang-cangkang ketupat. Dalam setengah jam saja keduanya sudah bisa menumpuk puluhan cangkang ketupat. Bagaimana mungkin mereka tak selihai itu, sudah lebih dari sepuluh tahun Ceu Izah menjadi pengrajin ketupat. Rosmini adalah generasi ke dua yang bekerja pada Ceu Izah sebagai buruh pengrajin ketupat. Dahulu, yang suka membantu Ceu Izah adalah ibunya Rosmini. Namun karena ibunya sering sakit-sakitan maka Rosminilah yang menggantikan ibunya bekerja pada Ceu Izah.

Pagi-pagi buta beberapa orang telah berdatangan ke rumah Ceu Izah. Mereka adalah para penjual cangkang ketupat di pasar.

“Apa pesananku sudah ada, ceu?”Tanya Karman, penjual yang sudah menjadi langganan Ceu Izah selama bertahun-tahun.

“Ada. Seratus buah ya?” Ceu Izah terlihat mengambil satu kresek besar cangakang ketupat pesanan Karman.

“Kalau bisa besok aku pesan dua ratus buah ya, ceu! Ternyata tahun sekarang pesananku membludak.”

“Wah, kalau itu Ceu Izah belum bisa janjikan. Soalnya Ceu Izah kesulitan bahan baku. Belum lagi pesanan yang lain. Coba aja kamu pesan ke Kang Machdar. Kata Rosmini dia punya stok banyak. Kang Machdar kan gak pernah kekurangan bahan baku.”

“Gitu ya, ceu…Tapi aku kurang sregg dengan Kang Machdar. Selain kurang ramah, harganya pun sedikti mahal. Nawar seratus perak per biji saja jawabnya malah tak mengenakan.” Terlihat raut tidak senang di muka Karman. “Kalau bisa Ceu Izah saja yang menyetok barang, tolong diusahakan.” Lanjutnya.

“Tapi Ceu Izah tidak janji. Kalau ada bahan bakunya Ceu Izah akan kasih kamu barang. Tapi kalau tidak ada ya mungkin kamu terpaksa minta Kang Machdar nyetok barang ke kamu.”

“Ya..tapi males, ceu! Aduh, tolak pinggangnya itu lo! Padahal kita kan beli bukan ngutang. Pembeli bolehkan nawar, apalagi aku belinya banyak.” Lagi-lagi Karman terlihat kurang sregg dengan Machdar.

“Kalu kamu  butuh gak apa-apalah. Ditahan saja rasa kecewanya. Mumpung kamu banyak orderan. Kapan lagi bisa meraup untung dari jualan cangkang ketupat. Kamu juga harus mempersiapkan diri buat ongkos mudik dan sebagainya. Demi anak istrimu abaikan saja rasa tidak enak itu. Semua orang juga tahu kalau watak Kang Machdar memang begitu.” Ceu Izah mencoba menyemangati.

“Baiklah, ceu! Lain kali aku coba ke tempat Kang Machdar. Sekarang aku ke pasar dulu.” Karman segera berlalu dari hadapan Ceu Izah. Sementara Ceu Izah geleng-geleng kepala mengingat lagi keluh kesah Karman tentang watak Machdar yang angkuh.

*****

Machdar bertolak pinggang memandori kelima para pekerjanya. Tumpukan daun kelapa memenuhi ruangan yang cukup luas di salah satu bagian rumahnya. Di sini, para pekerja selalu fokus, jarang sekali ada kelakar di antara pekerja. Machdar benar-benar memposisikan dirinya sebagai seorang bos. Bos yang sangat ketat. Sepertinya para pekerjanya tak diperbolehkan membuang satu menit saja untuk bercanda. Bagi Machdar satu menit bercanda adalah kerugian sepuluh ketupat.

Tidak seperti Ceu Izah yang begitu hangat kepada pegawainya, Rosmini. Machdar begitu menyeramkan di mata para pekerjanya. Suasana begitu terasa tegang jika  Machdar berdiri bertolak pinggang di pintu ruangan mengawasi para pekerja. Di tempatnya, Machdar memberlakukan sistem borongan dengan target. Bukan borongan semampunya. Meski upah yang diberikan sesuai jumlah yang dihasilkan masing-masing pegawai, tapi jika tidak memenuhi target Machdar akan memberi bonus berupa semprot caci maki.

“Ini hasil kerjamu hari ini? Ke sini tuh mau main apa mau kerja? Kalau hasilnya cuma segini bagaimana bisa dapat barang yang banyak. Kalau terus-terusan begini aku akan ganti kamu dengan pegawai yang lain!” Begitu jika Machdar marah.

Sebenarnya para pekerja Machdar sudah sangat lelah dengan sikap Machdar. Tapi karena mereka terdesak kebutuhan maka mereka tetap bertahan. Apalagi menjelang lebaran ini, kebutuhan terasa berlipat-lipat. Rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju lebaran menjadi salah satu alasan para pekerja di tempat Machdar bertahan. Ongkos mudik dan membeli kue-kue untuk menyambut hari raya menjadi alasan yang lainnya.Para pekerja Machdar belajar tuli dan buta atas segala caci maki sang bos. Mereka menganggap itu hanya angin lalu. Toh itu dirasa hanya beberapa waktu saja menjelang lebaran, setelah itu usaha cangkang ketupat milik Machdar akan tutup. Sebelum mereka bekerja pada Machdar, pernah para pekerja itu melamar ke tempat Ceu Izah. Namun karena kekurangan bahan baku daun kelapa Ceu Izah menolaknya. Dia hanya bisa memperkerjakan Rosmini.

Dalam hitungan hari saja seluruh tumpukan daun kelapa di tempat Machdar telah berubah bentuk menjadi cangkang-cangkang ketupat yang cantik. Dan cangkang-cangkang ketupat itu telah ludes diangkut para penjual ke pasar.

Para pekerja di tempat Machdar terpaksa diliburkan untuk satu hari. Machdar mulai kesulitan mendapatkan bahan baku. Tempatnya membeli daun kelapa telah habis. Tidak ada lagi pemilik kebun yang mau menjual. Machdar terlihat termenung di teras rumah. Dia sibuk memikirkan bahan baku ketupat yang telah habis. Sementara pesanan semakin banyak. Tiba-tiba dari luar teras Karman datang mengagetkannya.

Punteun, Kang!” Ucap Karman dari luar pagar rumah Machdar.

“Oh….ya…! Kamu rupanya.” Machdar terlihat kaget. “Ada apa, Man? Tak biasanya kamu datang ke sini.”

“Saya cuma mau pesan cangkang ketupat, kang! Apa masih banyak stok?”

“Hah, kamu telat. Semuanya sudah habis. Apa kamu tidak ambil di tempat Si Izah? Biasanya kamu ambil dari sana.”

“Sudah tidak ada stok, kang! Kebetulan yang order ke saya tahun ini membludak. Ceu Izah tidak sanggup nyetok barang buat saya. Kekurangan bahan baku.”

“O..gitu ya. Ya jelas si Izah gak bisa dapat bahan baku banyak. Dia cuma ngandelin dari kebun milik neneknya. Kalau saya kan tahu tempat penyuplai daun kelapa khusus ketupat. Tapi kebetulan sekarang agak berkurang. Kapan kamu butuh cangkang ketupatnya, Man?’

“Kira-kira dua hari lagi. Saya butuh banyak.”

“Nah, kalau begitu kamu bisa bantu saya ambil daun kelapanya. Kalau kamu bantu pesananmu akan saya prioritaskan. Kebetulan si Juned yang biasa ikut ke kampung cari daun kelapa sedang sakit. Gimana, mau ikut?”

Karman tidak segera menjawab, dia sedikit berfikir. Tapi tak lama dia menjawabnya.

“Baiklah, kang! Tapi nanti harganya dikurangin ya. Kan saya sudah bantu Kang Machdar ambil daun kelapa.”

“Ohhh…kamu tenang saja. Nanti aku kasih harga paling miring. Asal kamu mau bantu saya saja.”

Mendengar jawaban Machdar, Karman merasa heran. Tumben lelaki angkuh ini mau menurunkan harga cangkang ketupatnya. Sesuatu yang tidak pernah terjadi selama ini. Dalam obrolan kali ini pun Karman melihat Machdar begitu ramah dengan senyum yang selalu ditebar. Ya, mungkin karena Machdar butuh bantuannya, sehingga dia bisa seramah itu padanya.

“Jadi kapan kita ambil bahan baku, kang?” Tanya Karman ingin pasti.

“Nanti malam.”

“Kok malam-malam, kang? Saya sholat tarawih ya..” Karman terlihat kurang setuju.

“Saya ada waktunya malam. Kalau siang-siang saya sibuk. Tapi ya terserah kamu, Man! Kalau ingin barangmu saya suplai ya kamu ikut saja nanti malam.”

Karman terdiam. Dia sedang menimbang-nimbang tawaran Machdar.

“Baiklah, kang! Saya ikut.”

Mendengar jawaban Karman Machdar tersenyum. “Bagus! Nanti malam jam delapan kita berangkat.”

Karman mengangguk. Setelah mengakhiri percakapan Karman pun segera pergi. Dia berencana akan melaksanakan sholat tarawih setelah selesai mengambil bahan baku daun kelapa bersama Machdar.

Machdar menyetir sendiri mobilnya. Biasanya dia hanya duduk manis bermain HP sedang Juned bertindak sebagai sopir. Karena kali ini bersama Karman yang tidak hanya tidak bisa menyetir tetapi juga tidak tahu tempat penyuplai daun kelapa, maka terpaksa posisi sopir digantikan oleh Machdar sendiri.

Mobil Machdar tiba di sebuah kebun yang jauh dari pemukiman. Rasa sepi begitu terasa. Gelap. Jika tidak membawa senter sangat susah buat melihat jalan. Di kebun itu terdapat banyak pohon kelapa. Karman melihat ke kiri dan kanan, mengarahkan senternya ke sana ke mari. Lalu pada satu pohon kelapa tertulis kalimat yang menerangkan tentang pemilik kebun tersebut. Di sana tertulis “KEBUN KELAPA HAJI IMRON“.

“Ini milik Haji Imron, kang?” Tanya Karman ingin lebih jelas tentang kebun kelapa itu.

“Iya. Di sini masih utuh pohon kelapanya. Dia tidak pernah mau menjual daun-daun kelapanya karena takut mati.”

Karman kaget mendengar penjelasan Machdar. Jika sang pemilik tidak mau menjual daun kelapanya, lalu untuk apa Machdar membawanya ke tempat itu, mencuri? Karman mulai ketakutan. Takut kalau dia dipaksa mencuri oleh Machdar yang terkenal galak.

“Kamu kenapa, Man? Tenang saja. Kemarin siang Haji Imron sudah saya telepon dan dibujuk agar mau menjual daun-daun kelapa mudanya. Dia setuju. Dan sekarang kita bisa ambil sebanyak-banyaknya. Kamu juga gak usah takut kayak gitu. Saya bukan pencuri. Dan asal kamu tahu, Pak Haji Imron sudah saya beri uang sebagai tanda jadi transaksi daun kelapa ini.” Machdar faham benar apa yang sedang difikirkan oleh Karman sekarang. Maka dia pun berusaha menenangkannya.

“Maafkan saya, kang! Saya tidak bermaksud…”

“Ahh….sudah gak usah difikirkan! Lebih baik sekarang kamu naik dan saya akan sinari kamu dengan senter dari sini. Kamu juga jangan lupa pakai helm yang ada senternya ini biar bisa terlihat saat memilih daun. Ayo, saya tahu kamu pandai memanjat!”

Dengan berat hati Karman menuruti titah Machdar. Susah payah Karman memetik daun kelapa muda di tengah-tengah malam yang gelap dan hanya mengandalkan senter, namun dengan ketekunan akhirnya hampir satu pick-up daun kelapa dari kebun Haji Imron berhasil dibawa pulang.

Riuh ramai begitu terasa di pasar saat satu hari lagi menjelang lebaran. Karman terlihat sibuk melayani para pemesan cangkang ketupat.

“Wah, ramainya ya, Man! Dapat dari mana stok cangkang ketupat mu?” Tanya Ceu Izah yang datang menghampiri Karman. Dia menenteng banyak bahan baku untuk membuat menu khas lebaran.

“Kang Machdar yang menyetok barang. Dia punya banyak bahan baku.” Jawab Karman sembari terus melayani para pembeli.

“Beruntung ada Kang Machdar jadi kamu masih punya stok. Padahal sekarang lagi ramai-ramainya. Kalau Ceu Izah sudah tidak produksi lagi. Dua hari yang lalu bahan baku sudah habis. Terakhir di dapat dari Pak Haji Imron. Dia datang dan menawarkan daun kelapanya. Padahal dulu dia tidak pernah mau menjual daun kelapanya kepada siapa pun. Dia takut pohon kelapanya mati kalau di ambil yang bagian mudanya saja. Dia lebih memilih menjual buahnya saja dibanding daunnya.”

“Jadi haji Imron juga menjual daun kelapanya ke Ceu Izah? Mungkin sekarang dia melihat peluang bagus dari bisnis daun kelapa, jadi dia mau menjual daun kelapanya.”

“Bukan begitu, Man! Daun kelapa yang dijual ke Ceu Izah adalah daun kelapa sisa curian orang. Haji Imron bilang bahwa pohon-pohon kelapanya diketahui rusak pada pagi hari. Pucuk-pucuk mudanya habis. Kemungkinan yang mencuri pada malam hari sewaktu orang-orang sholat tarawih. Posisi kebun kan jauh dari pemukiman, jadi tidak ada yang mengetahui. Kalau menurut Ceu Izah sih yang mencuri ya pengrajin ketupat. Mengingat yang dicuri cuma daun-daun mudanya saja.Tapi siapa dia, Ceu Izah sendiri tidak tahu.”

Mendengar cerita Ceu Izah tiba-tiba Karman merasa sedang disambar petir. Benar saja apa yang dikatakan hati kecilnya waktu itu, bahwa Machdar sedang melakukan pencurian daun kelapa Haji Imron. Kemarahan terhadap  Machdar kemudian membalut hatinya, dia murka terhadap kebohongan Machdar. Rupanya selama ini dia hanya diperalat Machdar untuk membantunya melakukan perbuatan yang dilarang agama. Jika bukan karena imannya yang kuat, sudah barang tentu Karman menenteng senjata tajam ke rumah lelaki keparat itu. Jika menuruti hawa nafsu, Karman ingin sekali menghabisi Machdar. Tapi sekali lagi, akal sehat Karman yang menahannya. Dia segera beristighfar, mengelus dada.

“Apa Ceu Izah kenal Haji Imron?” Tanya Karman setelah berusaha menenangkan diri.

“Tentu saja. Dia masih terikat hubungan kekerabatan dengan Ceu Izah. Makanya dia menawarkan daun kelapanya kepada Ceu Izah. Dasar pencuri, sudah tidak peduli lagi mana yang haram dan halal. Kalau menurut Ceu Izah, jika sudah kehabisan bahan baku ya sudah gak usah produksi lagi. Dari pada tetap produksi tapi hasil curian. Amit-amit!” Ceu Izah bergidik, pertanda bahwa dia mengutuk pencurian itu.

Karman terdiam. Dia resah…benar-benar resah. Bagaimana kalau akhirnya pencurian itu terbongkar dan orang-orang tahu bahwa dia terlibat di dalamnya.

“Ceu izah sudah selesai belanja. Sekarang mau pulang. Setelah dari pasar mampir dulu ke rumah Ceu Izah. Ada sedikit THR buat kamu. Kamu kan pelanggan tetap Ceu Izah.”

Karman mengangguk. Lalu Ceu Izah pun berlalu menumpangi becak.

Pandangan Karman kosong, menghadap lurus ke arah sungai yang panjang. Perlahan dia meremas lembar-lembar uang di tas hitamnya. Seluruh cangkang ketupatnya telah habis terjual. Diskon yang diberikan Machdar membuatnya untung lebih banyak. Namun bagi Karman untung itu bukanlah berkah melainkan belenggu. Karman merasa telah mencari jalan rezeqi dengan cara yang tidak dibenarkan agama. Dia mencuri daun kelapa lalu menjualnya. Tidak mungkin uang hasil curian dia berikan kepada anak istri. Meskipun tidak dipungkiri bahwa rayuan syetan membujuknya untuk terus membelanjakan uang tersebut. Tapi bagi Karman keberkahan rezeqi adalah yang dicarinya. Tidak akan pernah dia mengalirkan barang haram di tubuh anak istrinya. Jika kali ini dia berani melempar seluruh uang hasil dagangannya ke sungai dan membiarkannya hanyut di sana. maka dia yakin besok lembar-lembar uang itu akan menjadi tiketnya ke syurga. Atas dasar itulah Karman mengambil seluruh uang di dalam tasnya. Dia mengguntingnya hingga tak berbentuk, lalu menghanyutkannya di sungai. Tetiba, menyeruaklah rasa lega di hati Karman. Belenggu itu hilang. Karman merasa bebas….Karman selalu yakin jika dia berani membuang satu kejelekan maka Tuhan akan menggantinya dengan ribuan kebaikan.

BACA JUGA:

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan