Semua di muka bumi ini memiliki batas, demikian kah pula dengan perihal kesetiaan? Pertanyaan ini menyita perenungan saya beberapa hari ini. Pertanyaan ini saya baca dalam salah satu buku berjudul Cerita dari Digul (Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta, 2015) merupakan kumpulan tulisan karya para eks-Digulis yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Buku ini ternyata banyak berkisah tentang getirnya nasib cinta yang dialami oleh para Digulis.
Sebut saja kisah Bung Pandu. Anggota muda Sarekat Islam Merah ini mengalami pengalaman cinta yang pahit dengan seorang perempuan. Mungkin bisa dimaklumi, kebencian Bung Pandu terhadap kaum hawa itu berakar dari dua kali ia ditinggal istri akibat terlibat pergerakan kemerdekaan.
Istri pertama Bung Pandu adalah anak seorang juru tulis di kantor Assistant Wedana. Pernikahan itu tidak dilakukan atas dasar suka sama suka melainkan atas permintaan sang juru tulis tersebut sebab Bung Pandu digadang bakal menjadi calon priyayi, seperti mertuanya.
Naas, Bung Pandu justru diceraikan sepihak oleh mertuanya sendiri di kemudian hari. Mertua Bung Pandu tidak suka keterlibatannya dalam aktivitas Sarekat Islam. Pengalaman pahit ini membuat kesimpulan dalam pikiran Bung Pandu bahwa perempuan yang dinikahi secara adat atau perjodohan, bukan atas dasar suka sama suka, tak akan membawa kesetiaan.
Kisah cinta Bung Pandu yang kedua tak kalah tragis. Seusai bercerai dengan istri pertama, Bung Pandu melawat ke Semarang, tempat pusat pergerakan Sarekat Islam Merah. Bung Pandu menimba pengetahuan pergerakan di kota itu sembari melupakan cintanya pada istri pertama.
Bung Pandu aktif menjadi propagandist Sarekat Islam Semarang. Semakin hari ia semakin terkenal melalui surat kabar yang memberitakan aktivitasnya. Di tengah kesibukan aktivitas politik, ia berkenalan lalu jatuh cinta pada Zus Emi, seorang perempuan propagandist juga.
Cinta dua muda mudi propagandist itu berujung pada pernikahan. Bung Pandu menikahi Zus Emi bukan melaui perjodohan melainkan atas dasar suka sama suka. Bung Pandu yakin bahwa pernikahan cara Barat itu lebih baik. Bahkan cinta mereka sangat idealis.
Zus Emi bersedia menerima cinta Bung Pandu asalkan pemuda itu bersedia menyediakan jiwanya untuk pergerakan rakyat sengsara. Pernikahan mereka dianggap sah ketika Bung Pandu dipenjara sebab membela rakyat. Tidak lama kemudian, Bung Pandu pun tertangkap dan mereka berdua telah sah menjadi suami istri.
Kesetiaan pun diuji. Bung Pandu ditangkap kembali setelah pemberontakan di Betawi 1926. Ia dijatuhi hukuman pembuangan ke Boven Digul. Kabar pembuangan itu diceritakan Bung Pandu pada istrinya.
Bung Pandu meminta istrinya agar tidak bersedih hati ketika ia tinggal sendiri di pulau Jawa sebab Bung Pandu tidak ingin istrinya tidak turut merasakan kesengsaraan hidup di pembuangan. Zus Emi menolak, bahkan berjanji akan turut kemana pun Bung Pandu berada walau di neraka sekalipun! Bung Pandu bangga atas kesetiaan istrinya itu namun sayang, ucapan itu tinggal ucapan.
Zus Emi ingkar janji. Ia ditakut-takuti kehidupan Boven Digul yang ganas hutannya maupun biadab perilaku para buangan politik disana. Zus Emi berkhianat lalu menikah dengan seorang politisi terkenal. Kenyataan ini membuat hati Bung Pandu remuk dan dendam kepada seluruh kaum hawa.
Seni Pengalihan dan Amor Fati
Pasangan mana kah yang abadi? Apakah yang dinikahi secara adat, agama atau atas dasar suka sama suka? Tiada yang bisa menjamin. Perceraian, anak terlantar, kekerasan rumah tangga, pembunuhan, perselingkuhan, pertengkaran ternyata tak pernah sepi di koran, televisi hingga gosip tetangga. Kemana kah larinya cinta ketika itu?
Meski banyak bahtera rumah tangga bernasib muram, ternyata juga tidak sedikit mereka yang berhasil mempertahankannya dengan berbagai cara.
Saya mengamati dan belajar dari beberapa diantara mereka yang berusaha menjaga utuh ikrar perkawinan. Setidaknya ada dua cara mereka menghadapi ujian berat itu yakni melalui seni pengalihan dan mencintai takdir (amor fati).
Seni pengalihan adalah suatu sikap batin berupa mengalihkan perhatian kita dari penderitaan hidup kepada hal lain yang lebih bermakna. Objek yang bermakna itu bisa berupa Tuhan, pahala, keyakinan agama dan sejenisnya atau bisa berupa hal kongkret yang umumnya adalah anak-anak mereka sendiri.
Banyak saya jumpai pasangan suami istri sering bertengkar, merasa jenuh dan benci namun enggan berpisah sebab teringat anak mereka. Luka hati pun ditahan demi sang buah hati.
Hal yang tak kalah mengagumkan adalah kesetiaan hati seorang istri dari sebuah keluarga muslim salafi yang pernah saya dengar. Suaminya terkena musibah tuna netra. Ia pun menjadi tulang punggung keluarga penuh semangat merawat suami dan anaknya. Energi mental yang luar biasa ini bersumber dari keyakinan agamanya yang kuat. Keridhoan Allah serta surga-Nya memberi kedamaian psikis yang tak tergantikan. Neraka dunia pun dengan mudah bisa dilalui oleh muslimah tersebut.
Lain halnya dengan cara mempertahankan kesetiaan yang dilakukan oleh orang awam. Alam mental mereka yang tidak banyak condong pada hal yang abstrak melainkan lebih lekat pada realitas indrawi yang kejam dan menyiksa membuat jiwa mereka terbentur sangat keras dan hebat bergejolak.
Tanpa perlindungan mental berupa agama, orang awam rentan binasa dihajar ujian hidup. Namun mereka memiliki cara lain untuk bertahan yakni dengan sikap nerimo berusaha mencintai takdir mereka sendiri. Hal ini yang saya pelajari dari pandangan hidup seorang ibu penjual gorengan dan minuman di angkringan. Ia juga menjadi tulang punggung keluarga, berjuang mengkuliahkan anaknya meski kehidupan cintanya sangat memilukan.
Kesetiaan atau Keadilan?
Zaman modern telah mengajarkan hak dan keadilan. Lalu muncullah dilema, mana yang dipilih: kesetiaan atau keadilan? Kedua hal itu menggerakkan kesadaran manusia untuk melawan ketidaksetaraan. Agama dan sikap nerimo diam-diam dianggap tak relevan. Apakah ini melanggar kesetiaan? Namun ironisnya, kesadaran akan keadilan itu pula yang mengantarkan banyak rumah tangga berakhir di meja hijau.
Berkorban dengan bersikap setia atau menerima ketidakadilan demi anak maupun ridho Tuhan bukan hal yang sepenuhnya salah. Bahkan sangat banyak mereka yang nerimo ketidakadilan itu karena ada hal lain yang lebih bermakna. Mereka pun bersedia menggenggam bara api meski pasangannya sendiri lah yang menjadi apinya. Misalnya pasangannya selingkuh, namun tetap menjaga kesetiaan. Tetap bertahan itu sangat saya kagumi.
Apakah membalas rasa sakit hati dengan keadilan dan hukuman itu salah? Tentu tidak. Meninggalkan pasangan yang cacat fisik atau tidak beruntung rejekinya? Tak ada yang melarang. Namun ada baiknya kita mempertimbangkan kisah Bung Pandu dengan dendamnya terhadap perempuan.
Kebencian Bung Pandu berakhir penyesalan. Ia telah membuat Okini, istri yang terpaksa ia nikahi saat pelarian dari Boven Digul, tewas beserta anaknya setelah berbulan-bulan mencari suami yang mengabaikannya. Pencarian keadilan untuk luka hati Bung Pandu menelan korban tak bersalah dan berhati tulus. Barangkali, nasib Okini itu pula yang menimpa anak-anak korban perceraian.
Belum ada tanggapan.