Menjelang akhir tahun, saya suka sekali membuat coretan berisi apa-apa yang ingin dicapai di tahun berikutnya. Kadang seputar penulisan; menerbitkan buku, kadang pula soal apa dan tempat yang ingin dikunjungi. Bermodal rasa percaya diri setinggi langit, saya tempel di pintu lemari, dan diketik pula di note laptop supaya terpajang sepanjang 365 hari.
Minggu pertama, semangat saya, ya Tuhan, mirip-mirip kerasukan jin Ifrid. Sangat menggebu-gebu. Tak kenal pagi, petang, malam, saya menguras banyak tenaga dan pikiran. Minggu kedua, persis orang kelaparan. Makan apa saja yang tersaji di atas meja. Nah, masuk pekan ketiga, tubuh saya seperti orang kehausan. Butuh minuman penyegar dahaga. Baru setelah memasuki Minggu keempat –masih di bulan Januari- semangat saya tak ubahnya anget-anget tahi ayam. Bergelora di awal, terjungkal di belakang.
Astaga, sebetulnya saya tak tega melihat kertas yang ditempel tadi berubah warna jadi usang dan kusam, bahkan kadang copot diterpa angin. Sedangkan note di laptop, kadang dibaca, kadang tidak. Seakan-akan saya tak pernah menulisnya begitu. Sialnya, ini tak hanya terjadi sekali. Entah mengapa saya suka mengulang kebodohan semacam ini.
Ai, tentu tak baik saya mencari sesuatu yang patut disalahkan, meskipun Statistic Brain dari University of Scranton yang dilansir Forbes menyebutkan kalau hanya 8% orang yang berhasil mencapai resolusi tahun baru yang dibuatnya. Umpama ada yang mau dikambinghitamkan, tentu saja saya sendiri. Mengapa semangat beresolusi saya berasa hangat tahi ayam. Mengapa tak saya jadikan semangat itu rasa durian yang jangankan dibuka, masih utuh saja aromanya menyerbak ke mana-mana.
Tapi, ya, gitu. Susahnya, lebih berat dari rindunya Dilan. Sampai tak sawang-sawang begini. Kira-kira apa, sih, penyebab resolusi saya itu selalu gagal. Kadang gagalnya seperti gerhana matahari total, kadang berhasilnya seperti gerhana matahari cincin. Setelah merenung begitu lama, setelah makan dan tidur pula, saya kira, penyebabnya karena saya lebih fokus pada tujuan akhir bukan pada proses. Andai saya fokus pada proses, saya punya langkah konkrit apa yang bakal dijalani. Ibarat naik tangga, setahap-setahap yang ditempuh begitu, saya akan sampai di tangga atas. Sebaliknya, kalau fokus pada hasil akhir, saya tak paham apa-apa yang mesti dilakoni.
Sialnya, karena saya fokus melihat hasil, semangat saya mengendur perlahan. Yang harusnya mengatur stamina, justru saya obral di awal. Ya, habis hanya beberapa hari. Tubuh saya tidak siap menerima perubahan drastis semacam ini. Mengubah kebiasaan terutama yang buruk itu sangat sulit. Buktinya, saya sering menunda-nunda.
Ah, nanti saja. Sekarang tak apa. Begitu saya mencari alasan pemaaf guna membenarkan tindakan sendiri. Sekali menunda, merasa gelisah. Berkali-kali menunda, terbiasa dan akhirnya, ya, tidak berubah-ubah. Padahal di titik inilah, istilah istiqomah muncul. Entah di tahun 2020, apakah saya masih istiqomah gagal atau justru resolusi saya terwujud. Tentu saya berharap semuanya terwujud. Hihihi.
Kadang, kalau lagi sadar, saya heran melihat iblis dan setan. Mereka ini, istiqomah sekali mengganggu manusia. Mereka tak punya tanggal merah atau mengambil cuti berlibur. Tiap waktu ada saja kelakuan mereka. Kadang, ya, meniup lewat telinga, mengedipkan mata, lalu masuk ke dalam dada. Ingin rasanya saya berbincang-bincang, bertanya resep apa, sih, yang mereka pakai sampai se-istiqomah begini.
Tapi, ya, daripada bertanya ke setan, mending saya menemui malaikat saja. Mereka, kan, istiqomah juga. Kalau tugasnya berdzikir, ya, berdzikir terus sampai kiamat. Tidak tidur. Nah, siapa tahu, saya ketularan sedikit gitu. Apalagi, di tahun 2020, saya sudah menulis resolusi. Ada yang baru, sebagian besar yang lama. Perkara nanti gagal, ehmmm, semoga saja tidak. Konon katanya, hanya keledai yang jatuh di lubang sama dua kali. Lha, saya, berkali-kali. Astaga…
Belum ada tanggapan.