“Dia abadi, bunda, abadi selama bersinggungan dengan bumi. Bumi adalah petani, bunda, petani, petani itu juga!” ucapan itu merupakan penggalan dialog antara Minke dan Ibunya. Dialog tersebut diabadikan dalam novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jejak Langkah (Lentera Dipantera : 2009). Ibu dan anak itu sedang membicarakan Bisma, tokoh wayang yang sangat sakti. Mereka mengagumi kesaktian Bisma yang dapat hidup lagi ketika jasadnya menyentuh bumi.
Minke meyakini bahwa bumi adalah simbol dari petani. Tanah dan sumber kehidupan (pangan) adalah dunia kerja petani. Bisma abadi karena kekuatan ghaib tanah. Kesaktiannya berasal dari berkah pusaka cangkul petani. Keyakinan tersebut begitu meluap dalam hati Minke. Luapan hatinya keluar dari mulutnya dengan semangat membanjiri perhatian Ibunda yang menyimak dengan khidmat.
Ibunda segera memotong imajinasi anaknya tersebut. Ibunda menganggap tidak ada hubungannya petani dengan bumi. Bagi Ibunda, petani tidak memiliki secuil remah kehormatan dari pekerjaannya. Semakin dekat pekerjaan kepada tanah, semakin tidak ada kemuliaan pada dirinya. Oleh karena itu, petani tidak akan tertulis dalam cerita wayang. Kisah-kisah wayang hanya menceritakan raja, satria, dan para pandita. Petani lenyap dalam imaji kisah kehidupan.
Imaji petani tidak hanya lenyap dalam naskah kuno kisah wayang. Imaji petani juga lenyap dalam kehidupan universitas. Buku-buku kuliah kering dari kisah petani. Ceramah dosen dan diskusi di kelas jarang melibatkan petani. Teori-teori tidak menyisakan ruang cukup untuk menampung keluh kesah petani.
Teori pertanian, jenis obat, merk pupuk tanaman, serta marketing pertanian lebih utama daripada nasib petani yang tenggelam oleh praktik pengetahuan akademik tersebut. Imaji petani bahkan hilang dalam setiap bulir nasi hangat yang disantap mahasiswa di kantin. petani pun juga lenyap dalam kamus masa depan calon sarjana. Petani mati sejak dalam fikiran.
Hilangnya imaji petani dalam benak mahasiswa merupakan satu sebab terkikisnya generasi petani. Berita di media cetak maupun online telah banyak memaparkan data-data hilangnya generasi tani. Sebut saja Headline Harian Umum Solopos Edisi 22 September 2016. Regenerasi petani pedesaan dikabarkan mengalami krisis selama 40 tahun terakhir dalam koran tersebut.
Solopos juga turut mengabarkan diskusi tentang Modernisasi dan Krisis Regenerasi Petani di Pedesaan yang digelar Program Studi Sosiologi FISIP, Universitas Sebelas Maret (UNS) bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.
Diskusi tersebut membahas presepsi pemuda tentang petani. Narasumber acara memaparkan bahwa secara umum pemuda mengangap petani tidak menarik. Petani identik dengan kotor, miskin, bodoh, tidak modern, serta sebuah pekerjaan yang mebutuhkan tenaga berlebih.
Presepsi pemuda tentang petani yang disampaikan narasumber diskusi di atas membuat kita prihatin. Perasaan miris juga akan kita rasakan saat mendengar sindiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal lulusan Institute Pertanian Bogor (IPB).
Jokowi menyindir lulusan IPB banyak yang bekerja di Bank. Hal itu ia dapati setelah mengecek di jajaran direksi perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).“Terus yang ingin jadi petani siapa? Ini pertanyaan yang harus dijawab oleh mahasiswa-mahasiswa” Kata Jokowi dalam Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke-54 di Kampus IPB (Bogor, Rabu 6 September 2017). Sindiran presiden disambut tawa para hadirin.
Darurat (Mentalitas) Agraria
Sindiran Jokowi di atas tidak hanya terbatas pada IPB. Seluruh perguruan tinggi di Indonesia sebaiknya turut berbenah berkaca dari kejadian tersebut. Hal ini disebabkan perguruan tinggi saat ini turut menjadi faktor utama penggerusan generasi tani. Perguruan tinggi bangsa kita lebih berwatak modernisme kota dibanding berwatak agraris. Oleh sebab itu, ia sering mengabaikan desa dan kehidupan tani.
Watak industrialisme sangat kuat menguasai dunia akademik. Imaji mahasiswa yang sebelumnya dipenuhi sawah, kebun, dan hijau tanaman kampung halaman lenyap ketika masuk universitas. Proses perkuliahan menanamkan imaji jalan tol, gedung bank, kantor, cerobong asap. Imaji tersebut menggeser bayangan asri kampung halaman dalam otak mahasiswa.
Bayangan sawah dalam pikiran mahasiswa digilas oleh teori modernitas. Model kehidupan kota pun mengubur tentang imaji pedesaan. Mahasiswa kemudian menjadi asing dengan kampung halamannya sendiri. Mereka tidak mampu lagi membedakan kunir dan jahe. Manusia model ini terus menerus diproduksi oleh kampus pada tiap tahunnya.
Jika kita berkaca pada persoalan pendidikan, maka permasalahan agraria tidak terbatas pada tanah dan hukum. Permasalahan agraria juga menyangkut mentalitas bertani yang mulai hilang. Ketiadaan generasi petani akan memperpanjang daftar tanah yang dikeringkan menjadi bangunan industri. Agenda reforma agraria akan gagal jika tidak ada yang mau bertani untuk mengolah lahan yang dibebaskan. Oleh sebab itu, usaha menanamkan mental bertani sebagai proses kaderisasi petani menjadi penting. Universitas harus turut berperan dalam proses kaderisasi petani.
Mentalitas bertani juga menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa aktifis yang bersemangat memperingati Hari Tani. Imaji petani tidak hanya cukup menghiasi diskusi dan aksi semata. Ia harus mewujud menjadi jalan hidup. Hal yang cukup memalukan jika kelak mereka juga menjadi pegawai bank, atau kontraktor jalan tol setelah purna dari dunia aktifis. Aktifisme mereka akan runtuh berbalik menjadi beban petani yang dulu diperjuangkan.
Saya pun berandai-andai, bagaimana jika suatu ketika Jokowi memeriksa riwayat organisasi jajaran kementriannya. Ia pun kemudian mendapati banyak lulusan demonstran pembela tani bekerja kantoran di senayan. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana mantan demonstran itu menjawab sindiran Jokowi “Terus yang jadi petani siapa? Kalo semua aktifis maunya kerja kantoran di kursi kementrian?”. Mungkin mereka akan tertawa ha ha ha.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Penulis juga merupakan Pengelola Toko Buku Online Abjad Rakjad.
Belum ada tanggapan.