Quentin-Tarantino (1)

Quentin Tarantino

Membicarakan Tarantino dalam sebuah tulisan pendek seperti ini akan selalu tidak tepat dan tidak pantas. Dia harus di tempat teratas dari sutradara generasi terkini. Sejauh yang bisa diingat, Kill Bill hingga yang terakhir Once Upon A Time In Hollywood, Tarantino mendapat penghormatan yang tinggi; karyanya diterima dengan baik, dikritik secara sah, dinikmati dengan selera yang baik.

Kehadirannya sudah lebih dari tiga dekade, tetapi Tarantino baru merajai Hollywood dalam belasan tahun terakhir. Orang-orang mulai mengenalnya melalui Resevoir Dogs, lalu Pulp Fiction membuat namanya diperbincangkan oleh penikmat dan kritikus. Tarantino benar-benar mengibarkan benderanya sendiri tatkala Inglerious Basterds hadir sebagai sebuah sinema yang sangat ambisius, penuh terobosan baru dan sebagai sebuah film perang yang ‘diinginkan’.

Karakter.

Penciptaan karakter dalam film- film Tarantino adalah sebuah kegilaan. Mengingatkan orang kepada Marquez di dunia sastra walaupun sastra dan sinema adalah dunia yang jauh berbeda. Jika sastra hanya mampu menciptakan sebuah karakter yang hidup dalam dunia rekaan penulis, sekalipun dunia tersebut berupa refleksi paling kuat dari realitasnya, maka karakter yang lahir dari tangan Tarantino adalah manusia yang diciptakan Tuhan tetapi diberi napas, hidup, dan mati di depan kamera oleh Tarantino. Mungkin berlebihan, tetapi jika anda melihat keseluruhan penciptaan orang ini anda tahu bahwa bukan omong kosong jika dia adalah jenius kalau; tidak gila. Manusia ciptaan Tarantino nyaris sempurna sebagai manusia. Melihat (tokoh film) anda akan mengingat kemiripan dengan orang-orang yang anda kenal, yang jika dalam kondisi ciptaan Tarantino mereka akan bertindak seperti dalam film itu. Masuk akal dan manusiawi. Saking kuatnya karakter, Tarantino seolah tidak perlu membuat alur cerita untuk menyelesaikan kehidupan tokoh-tokoh tersebut. Delapan orang penjahat yang terjebak di sebuah kedai pada suatu hari bersalju, tidak butuh telunjuk sutradaranya untuk memulai perkelahian dan kematian mereka yang tentu saja bagi mereka biasa-biasa saja (adakah kematian yang tidak tragis untuk seorang penjahat?). Dan lucunya, di antara ke delapan penjahat tersebut ada satu atau dua tokoh yang kemudian bakal dicinta dan didukung oleh penonton.

Bagaimana dengan Joker? Tidak sebanding. Todd Phillips hanya menciptakan seorang gila yang membunuh karena alasan yang mungkin hanya bisa dimengerti orang gila. Menonton Joker tidak lebih daripada sebuah gambaran bahwa ternyata ada satu mahkluk di dunia sebuah dunia yang hidup dengan cara begitu asing. Masalahnya apa? Tidak masalah. Anda tidak akan menemukan jejak apa pun darinya di dunia nyata. Dunianya di dunia Marvel, seorang superhero gelap yang menyelamatkan penderitaannya sendiri, bahkan yang sangat absurd menjadikannya sebuah komedi hitam. Ketokohan dalam Kill Bill yang terkesan brutal tetap terasa masuk akal, bahkan kesan diabaikan yang dialami tokoh utama kita dalam Reservoir Dogs lebih menyentuh.

Dialog.

Kekuatan karakter dalam hasil karya Tarantino paling banyak terbentuk dari dialog orang-orangnya. Seakan bagi Tarantino, mulut dan suara adalah esensi sangat penting, yang jika digunakan bahkan satu kata saja, ya haruslah kata yang penting. Satu kata menjadi satu keping yang tentang dirinya.

Dalam once upon a time in hollywood, nuansa karakter yang terbentuk dari begitu banyak dialog sangatlah kental. Walaupun bertele-tele, tetapi tidak menjemukan. Justru menanam ketokohan karakter-karakter tersebut ke dalam kesadaran penonton. The Hateful Eight penuh dengan dialog, gerutuan dan umpatan yang mana jika tanpa itu penonton kehilangan alur. Tarantino membuat dialog tidak sekedar percakapan biasa, melainkan memainkan peran kompleks dimana jati diri, cerita masa lalu, keinginan-keinginan tersembunyi, keberanian dan ketakutan ditampilkan dengan sangat terampil.

Inglerious Basterds: sebuah masterpiece ala Tarantino.

Inglerious Basterds sendiri hadir sebagai sinema perang yang dibalut drama serta komedi cerdas yang sesuai dengan latarnya. Karyanya ini menjadi ledakan dalam karir Tarantino meskipun tiga film terdahulunya juga memiliki elemen kejut dan sangat berpengaruh; Kill Bill Reservoir Dogs (1992), Pulp Fiction (1994), Kill Bill I & II ( 2003 & 2004). Tidak juga berarti bahwa karyanya yang lain kekurangan kualitas; Django Unchanged (2012), The Hateful Eight (2015), Once Upon A Time…In Hollywood (2019). Beberapa film awalnya telah menahbiskan sosok Tarantino sebagai ‘yang diperhitungkan’, tetapi Inglourious Basterds (2009)-lah yang membuat dia sebagaimana sekarang. Ketiga film besar lainnya yang lahir usai Basterds menjadi bukti bahwa bukan kebetulan jika dia mengguncang Hollywood pada 2009 tersebut.

perang lainnya, Inglerious Basterds adalah sebuah kisah perang yang telah direvisi oleh penulisnya. Sebuah kisah alternatif yang menyahuti keinginan-keinginan penonton terhadap kekejaman Nazi dan Hitler. Bukan bertujuan untuk menipu penonton, toh sejak awal nuansa fiksinya telah tampak (jika anda pernah menontonnya). Tarantino ibaratnya seseorang yang paham apa keinginan orang-orang terhadap perang dunia II; membunuh Hitler. Melalui sinemanya, bahkan dia menunjukan dengan lebih baik. Dendam terhadap Nazi dan Hitler seolah lunas, tuntas. Para korban perang akhirnya mengulang kembali sejarah dan menjadi pahlawan.

Tarantino tidak pernah berusaha mengajak penonton untuk menyangkal sejarah. Dia bahkan melakukan penghormatannya sendiri. Dalam Basterds sejarah tentang perang dihadirkan dengan gamblang. Hitler dan Nazi adalah momok bagi siapa pun. Tarantino hanya menulis ulang lalu menciptakan pahlawan yang seolah atau seharusnya hadir di sana. Dia tidak berusaha membalikan dongeng, tetapi menyelipkan kisah heroik yang manusiawi. Orang-orang menginginkan Hitler dihukum, dan Tarantino mengamini. Dia membuat beberapa pahlawan untuk ini; hadir secara heroik tetapi penuh dengan aspek kemanusiaan yang realistis. Natural pada tempatnya dan karikaturis secukupnya. Dibalik keberanian seseorang yang melewati batas kemanusiaannya tetap memiliki ketakutan, kecurigaan, kebencian, kasih dan keberuntungannya yang menjadi aspek tak terpisah dari kemanusiaan itu sendiri.

Ya, seperti diawal tulisan, membicarakan Quentin Tarantino tidak akan pernah cukup dengan cara ini. Anda hanya perlu menelusuri jejak penciptaannya atau menunggu karya barunya dan menjadi bagian dari orang-orang pertama yang menikmati.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan