Seni Kehilangan

Alice tersenyum, bibirnya pucat dan keriput, ketika tengah membuka komputer dia menemukan sebuah video pribadi yang direkamnya jauh-jauh hari.

“Hai Alice,” kata video itu kepadanya. Rambut pirangnya tergerai pada kedua bahu, wajahnya masih terlihat segar meskipun lingkaran mulai terbentuk di sekitar matanya.

“Aku adalah kau, dan aku punya hal penting yang harus kukatakan. Kupikir kau telah mencapai titik dimana kau tak mampu menjawab setiap pertanyaan. Jadi ini adalah langkah logis berikutnya. Aku yakin akan hal itu. Karena apa yang terjadi padamu, Alzheimer, kau bisa menganggapnya hal yang tragis.” Suaranya serak dan ada lingkaran kosong pada bola matanya.

“Tapi kau telah mencapai banyak hal. Kau memiliki karir yang luar biasa dan pernikahan yang hebat. Dan tiga anak yang manis…”

Dengarkan aku, Ini hal penting. Pastikan bahwa kau sendirian, dan pergilah ke kamar tidurmu. Di kamar tidur ada meja rias dengan lampu biru.  Buka laci atas. Di belakang laci ada botol dengan pil di dalamnya tertulis “take all pills with water.” Ada banyak pil dalam botol itu. Sangatlah penting bagimu untuk menelan semuanya. Oke? Dan kemudian berbaringlah dan tidur. Dan jangan beritahu siapapun tentang yang kau lakukan, oke?”

Adegan ini saya kutip dari film Still Alice, sebuah segmen ketika Alice yang menderita Alzheimer suatu hari menemukan kembali video yang pernah direkamnya. Saya melihat rencana bunuh diri yang dirancang oleh Alice di dalam video itu ketika memorinya belum banyak yang terhapus. Dulunya dia adalah seorang dosen linguistik yang cerdas, tetapi tiba-tiba mengalami penyakit Alzheimer di usia yang masih muda, 50 tahun. Bagian ini tragis, namun masuk akal bagi Alice untuk membuat konspirasi bunuh diri dengan dirinya sendiri. Dia melakukan apa yang bisa menghubungkan diri nanti dengan siapa dia dulunya, sebelum semua memori benar-benar menguap.

Ya, siapa yang bisa tahan terhadap perasaan kehilangan? Kehilangan banyak hal setiap hari; kehilangan pekerjaan, kehilangan kekasih. Bagaimana jadinya, seperti Alice, tiba-tiba kita kehilangan ingatan tentang letak pintu kamar mandi sampai-sampai kita kencing di celana. Kita akan menangis, bukan karena malu, kita menangis karena takut terhadap hal-hal yang terenggut dari ingatan kita. Perlahan-lahan kita menjadi konyol, susut kemudian mengambang.

Saya menonton Still Alice beberapa hari setelah pengumuman pemenang piala Oscar, yang menempatkan Julianne Moore sebagai aktris terbaik dalam film ini. Still Alice memang berbicara tentang kehilangan. Setiap hari dalam hidup, kita kehilangan banyak hal dan kehilangan paling besar adalah kehilangan kenangan. Bukankah, baik sadar atau tidak, sepanjang hidup kita mengumpulkan banyak kenangan, berkeliling dunia, menemukan banyak teman, menikah dan membangun keluarga? Lalu bisa saja seperti Alice yang menderita Alzheimer dini, semua hal yang kita kumpulkan dengan susah payah perlahan mulai terenggut.

Kehilangan menghantam siapa saja, tidak hanya kepada orang-orang berpenyakit Alzheimer. Still Alice dengan murah hati menyampaikan pesan dari seorang penderita Alzheimer kepada kita bahwa apa pun yang kita miliki, apa pun itu, akan hilang suatu saat. Dalam pidatonya di sebuah perkumpulan penderita Alzheimer, Alice mengutip puisi dari Elizabeth Bishop yang berbicara mengenai seni kehilangan. Saya mencari di website mengenai puisi ini dan menemukannya di sini .

Seni menerima kehilangan tak sulit untuk dikuasai; Begitu banyak hal memiliki kemungkinan akan hilang, maka hilangnya bukanlah bencana.  tulis Elizabeth Bishop.

Aku kehilangan dua kota, dan lebih luas lagi beberapa area milikku

Dua sungai dan sebuah benua

Aku kehilangan mereka!

Tetapi itu bukan bencana

Kehilangan memang mengerikan, tetapi tidak masalah, itu akan selalu terjadi pada siapa saja, sehingga menjadi penting agar kita belajar untuk menerima semua jenis kehilangan. Kita akan kehilangan orang-orang terkasih, namun itu bukanlah akhir dunia. Elizabeth Bishop pun menutup baris puisinya;

Bahkan,

kehilangan dirimu; suara kelakarmu, isyaratmu yang kucinta

aku tidak akan berbohong, memang kenyataan!

Seni menerima kehilangan tidak terlalu sulit dikuasai

Walau mungkin tampak seperti bencana

 

****

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan