Apakah perkembangan peradaban membawa kualitas hidup manusia lebih baik? tentu kita akan menunda untuk mengiyakan saat melihat fenomena stunting yang terjadi pada generasi anak bangsa kita Indonesia. Banyaknya anak penderita stunting membuat kita malu terhadap makhluk purba yang konon belum mengenal peradaban. Sebut saja makhluk purba Indonesia bernama Meganthropus Paleojavanicus maupun Homo Soloensis. Meski belum mengenal imunisasi dan ilmu medis modern, mereka umumnya memiliki badan sehat yang kekar, kuat dan sehat. Dengan tinggi badan rata-rata 130cm-210cm dapat dikatakan mereka tidak mengalami gangguan stunting. Kesehatan prima mereka peroleh dari makanan alami yang mereka kumpulkan dari hutan atau hasil buruan. Gizi makanan alam serta kondisi lingkungan yang bagus kelak membuat makhluk purba ini mengalami evolusi kognitif hingga mampu mengenal kegunaan api, berfikir, dan berkomunikasi dengan menciptakan bahasa.
Pengaruh pangan alami terhadap baiknya kualitas hidup bangsa kita juga pernah dinikmati masyarakat nusantara di kurun niaga (1450-1680). Anthony Reid mencatat ketakjuban bangsa Eropa terhadap kesehatan bangsa kita di bukunya berjudul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga Jilid I (Yayasan Pustaka Obor Indonesia : Jakarta, 2014). Bangsa Eropa yang datang ke nusantara saat itu tidak menemui penyakit maupun wabah yang melanda penduduk. Bahkan hingga mereka pun dikabarkan tak mengerti apa itu wabah karena tidak adanya fenomena tersebut. Sangat langka ditemukan penyakit kecuali beban usia tua. Hampir tak ditemukan cacat, lumpuh, bongkok maupun tuli.
Kita akan dibuat terkaget dengan fakta tinggi badan bangsa kita yang tidak berbeda dengan bangsa kulit putih tersebut pada abad 18. Kesaksian ini diberikan oleh bangsa Eropa terhadap tinggi rata-rata orang Jawa, Sumatera, dan Bugis yang sama tinggi badannya dengan ukuran menengah orang Eropa. Tinggi badan orang nusantara tidak bertambah, begitu pula tingkat nutrisi, di antara abad ke-17 hingga abad ke-20, bahkan justru sedikit menunjukan penurunan. Bagi mayoritas Asia Tenggara, kelaparan atau ketimpangan makan (malnutrition) tidak pernah merupakan bahaya saat itu. Kebutuhan kalori dan protein yang cukup mudah didapat dari bahan makanan yang tersedia. Mereka gemar memakan buah-buahan yang secara murah telah disediakan alam. Kualitas hidup yang luar bisa masyarakat saat itu ditunjang oleh iklim cuaca yang bagus, makanan, dan obat-obatan yang tidak dijumpai oleh Bangsa Eropa.
Perkembangan zaman kurang berpihak pada kemajuan bangsa kita kemudian. Datangnya era penjajahan menghancurkan tatanan sosial ekonomi nusantara yang sejahtera dengan kebijakan imperialistiknya. Monopoli dagang, peperangan, sistem tanam paksa, ditambah penindasan bangsawan feodal menguras hidup rakyat hingga ke sari-sari gizinya. Banyak kasus kelaparan terjadi, wabah mematikan memusnahkan penduduk pada suatu wilayah, kekurangan gizi yang kronis menjadi ancaman sehari-hari. Rakyat tidak mampu mendapatkan beras sebagai sumber kalori dan nutrisi karena sawah mereka harus ditanam kopi dan tebu atau dirampas hasilnya oleh bangsawan lokal. Kurangnya gizi yang berakibat pada menurunnya daya kognitif yang dulu pernah dicapai si Meganthropus maupun jenis Homo pertama nusantara. Bangsa kita pun akhirnya menjadi dungu, pasrah, tidak berselera terhadap perubahan. Mereka tidak mampu berfikir mencari solusi atas kesengsaraannya. Struktur sosial yang menindas dan buruknya kesehatan fisik dan mental berpadu menjadi tembok penjara kesengsaraan yang sangat rapat nyaris tanpa celah keluar. Sempurnalah sudah penderitaan rakyat!
Indonesia Sehat melalui Pencegahan Stunting
Persoalan stunting bukan hanya problema kesehatan semata, namun saling terkait dengan faktor alam, struktur sosial, dan kualitas pangan. Fenomena stunting yang keruh mewarnai kabar kebangsaan hari ini juga tidak terlepas dari faktor tersebut. Menurut data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013 mencatat sekitar 37 persen balita Indonesia, atau 9 juta anak, mengalami stunting akibat kurangnya asupan gizi dan sakit berulang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk karena telah melebihi batas toleransi stunting maksimal 20 persen. Data WHO menyebutkan 7,8 juta dari 23 juta atau sekitar 35,6 persen balita di Indonesia adalah penderita stunting. Tercatat hanya 2 provinsi dari 24 provinsi yang jumlah kasus stunting dibawah batas 20%.
Bank Dunia melihat stunting berdampak buruk pada sektor ekonomi Indonesia karena beban biaya belanja kesehatan yang dikeluarkan. Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam sambutannya pada pembukaan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2018 di salah satu hotel kawasan Pancoran Jakarta Selatan (Selasa, 3 Juli 2018). Wapres mengungkapkan bahwa berbicara soal stunting adalah membicarakan nasib bangsa kedepan. Bangsa yang generasi penerusnya mengalami stunting akan berdampak pada rendahnya daya saing dan produktifitas negara. Hal ini tentu akan merusak ekonomi negara tersebut, tegas Wapres sabagaimana yang ditulis dalam situs Kemkes sehatnegeriku.go.id. Bonus demografi yang seharusnya dinikmati bangsa kita kedepan akan sia-sia sebab menjadi beban demografi karena penduduknya stunting.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi penyebab stunting terjadi pada anak sejak masa kandungan dan pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Dampak stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Gejala stunting bisa dikenali dari lebih pendeknya badan anak dari anak seusianya atau proporsi tubuh normal namun anak nampak lebih muda/kecil untuk seusianya. Ciri gejala stunting lainnya adalah berat badan anak lebih rendah untuk anak seusianya, serta pertumbuhan tulang tertunda. Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga diakitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal. Tergangunya perkembangan otak menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. Stunting juga berpengaruh pada buruknya kesehatan karena menjadi salah satu faktor penyebab diabetes, hipertensi, obesitas, hingga kematian akibat infeksi. Stunting di awal kehidupan akan berdampak buruk pada kesehatan, kognitif, dan fungsional ketika dewasa.
Penyebab umum stunting adalah tidak sesuainya asupan makan yang memenuhi kebutuhan gizi. Faktor penyebab stunting bisa dipicu oleh beberapa maupun gabungan faktor berikut : kurang gizi kronis dalam waktu lama, tidak mendapat ASI ekslusif enam bulan, kesehatan ibu saat hamil, tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori, perubahan hormon yang dipicu oleh stres, dan sering menderita infeksi di awal kehidupan anak. Stunting bukan semacam penyakit endemic seperti demam, dan flu yang dapat disembuhkan dengan cepat. Anak penderita stunting masih memiliki harapan untuk sembuh dengan mengejar pertumbuhan optimal anak pada usia 4 hingga 6 tahun. Namun pencegahan stunting tentu lebih baik daripada penyembuhan karena kita tentu tidak menginginkan anak menderita. Waktu terbaik mencegah stunting adalah selama masa kehamilan dan dua tahun awal kehidupan bayi.
Banyaknya balita penderita stunting menempatkan Indonesia dalam status darurat stunting nasional. Menanggapi hal itu, Kemenkes RI melakukan upaya penanganan stunting melalui 5 pilar pencegahan stunting di Indonesia yaitu ; komitment, kampanye, konvergensi program, akses pangan bergizi, dan monitoring program. Komitment pemerintah dalam mencegah stunting terlihat dari upaya program yang direncanakan serta kerja sama yang dibangun bersama-sama mencegah stunting. Bahkan rapat pembahasan tentang stunting dipimpin langsung di bawah presiden Joko Widodo. Presiden juga terlibat langsung dalam kampanye pencegahan stunting sebagaimana yang diberitakan di situs Kemenkes RI sehatnegeriku.kemkes.go.id saat mengawali kegiatan di hari kedua rangkaian kunjungan kerjanya di kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, minggu pagi (8/4). Presiden mengarahkan agar Ibu-Ibu membawa anaknya rutin ke posyandu dalam setiap bulan untuk dipantau perkembangan tinggi dan berat badannya. Dalam kunjungan tersebut turut mendampingi Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Mereka meninjau “Pelayanan 5 Meja Posyandu” yang terdiri dari ; meja pendaftaran, meja penimbangan dan pengukuran tinggi/panjang badang, meja pencatatan hasil, meja penyuluhan, dan pelayanan gizi balita, ibu hamil dan Ibu menyusui, serta meja pelayanan kesehatan pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat cacing. Kemenkes juga melibatkan unsur kementrian RI lainnya untuk bersinergi dalam mencegah stunting. Hal ini dirumuskan dalam konvergensi program, mengingat perlunya unsur kementrian lainnya turut menopang pencegahan stunting sesuai dengan bidang kerjanya seperti penyediaan fasilitas sanitasi dan air bersih.
Ketersediaan pangan bergizi adalah penting mencegah stunting karena menjadi faktor utama penetu selamat atau tidaknya anak dari stunting. Hal ini ditangkap oleh Kemenkes melalui programnya “Akses Pangan Bergizi”. Dalam beberapa kunjungannya ke daerah, Menteri Kesehatan memberi pengarahan untuk mengkonsumi makanan sehat sayur mayur, buah, dan sumber protein seperti telur, kacang-kacangan. Pemanfaatan pangan lokal ditekankan agar terpenuhi kebutuhan gizi sebagaimana yang terlihat dalam pameran aneka produk makanan lokal yang sehat di beberapa tempat yang ia kunjungi. Dialog juga dilakukan baik dengan organisasi pangan internasional seperti pertemuan dengan IMF Eat Forum, dan Asia Pacific Food Forum, maupun langsung dengan masyarakat seperti yang dilakukan melalui gerakan “Ayo Minum Air” (AMIR) di SD 12 Rawamangun, Jakarta Timur (2/Maret/18) dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS). Gerakan yang terakhir ini bertujuan untuk mendorong berperilaku sehat dengan 3 kegiatan yaitu melakukan aktifitas fisik, mengkonsumsi sayur dan buah, dan memeriksa kesehatan secara rutin.
Kekerasan Iklan pada Anak
Upaya pencegahan stunting dan intervensi gizi yang dilakukan Kemenkes RI melalui programnya telah berhasil menurunkan angka stunting ke level 33,6 persen pada tahun 2016 (detik.com, 15/8/18). Namun di balik keberhasilan itu, kita masih dihadapkan pada tantangan berat yang harus dihadapi yakni intervensi iklan produk-produk makanan terhadap anak. Konten iklan yang bertujuan memenangkan hati penontonnya, dalam hal ini anak, dapat berakibat pada kekerasan anak karena menyebabkan pola konsumsi yang salah berujung pada menyakiti anak.
Iklan bertujuan untuk mempersuasi penonton untuk membeli produknya. Metode iklan jamak menggunakan cara hiperbolik saat mempromosikan produknya. jika tidak hati-hati, cara tersebut dapat menjerumuskan penerima iklan. Sebut saja kasus gizi buruk yang terjadi pada 3 balita di Kendari dan 1 di Batam disebabkan oleh pemberian produk susu kental manis hingga harus dilarikan ke Rumah Sakit (Tribun Jabar, 9/02/18). Orang tua mengira produk tersebut dapat membuat anaknya sehat, kuat, dan berpresatasi sebagaimana di konten iklan.
Jika melihat periklanan kita, banyak sekali ditemukan iklan produk makanan anak mengkonstruksi image anak sehat, selalu menang perlombaan, dan menjadi juara kelas dengan mengkonsumsi produk tertentu. Ada pula iklan yang menampilkan khasiat penambah tinggi badan setelah meminum produk susu. Sosok idola anak dalam kartun dan film hiburan anak tidak jarang ditampilkan dalam produk iklan untuk mempersuasi anak. Produk makanan anak tersebut diperlihatkan sebagai penambah kekuatan sang tokoh untuk menghadapi musuhnya.
Meskipun apa yang dikatakan iklan itu tidak nyata, pesan-pesan iklan akan bekerja dalam alam bawah sadar anak. Melihat tokoh idolanya mengkonsumsi minuman dan makanan dalam iklan tertentu, anak akan merengek minta dibelikan makanan yang tidak jelas gizinya tersebut. Satu dua kali orang tua menolak membelikan jajanan itu akhirnya pasrah menuruti keinginan anak agar tidak menangis. Orang tua yang memiliki pemahaman yang kurang akan segera membelikan produk makanan pabrik yang dapat mengantarkan anaknya berprestasi dan sehat sebagaimana yang disampaikan dalam iklan. Anak pun lebih tertarik dan rajin mengkonsumsi produk pabrik tersebut dibanding sayur mayur maupun buah-buahan. Akibatnya, anak mengalami kurang gizi, dan tidak jarang harus dirawat di rumah sakit. Iklan produk seringkali tidak memperhatikan konsekuensi modus iklan mereka terhadap anak.
Ironisnya, persuasi untuk menarik minat anak mengkonsumsi buah dan sayur sangat minim sekali. Sosialisasi televisi tentang makanan sehat kadang muncul dengan seorang ahli yang menjelaskan manfaat sayur-mayur dengan penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak dijangkau pemahaman anak. Sayur dan buah tidak hadir dalam kisah petualangan idola anak. Segelas susu dan telur tidak pernah terlihat berperan menambah kekuatan sang tokoh mengalahkan musuhnya. Buah dan sayur pun dianggap adalah makanan biasa, tidak ada yang spesial, dan mungkin cenderung makanan orang susah. Anak pun tidak tertarik bahkan ada yang tidak mau memakan sayur dan buah.
Belum ada tanggapan.