keuntungan-dan-kerugian-nikah-siri

Nikah Siri

Bapakmu ganti lagi, Mul?” Tanya Zidan. Mulyana tidak menjawab. Dia sudah bosan menjawab pertanyaan serupa dari para tetangga termasuk teman sepermainannya. Mulyana sebenarnya malu punya ibu yang selalu berganti-ganti pasangan dalam waktu yang singkat. Entah apa yang terjadi dalam rumah tangganya, hingga ibu kandungnya tersebut bisa menikah hingga delapan kali. Dan setelah yang ke delapan ini, ibunya masih mengutarakan niatnya untuk menikah lagi.

Mulyana bukan orang dewasa, dia anak ABG yang baru kelas tiga SMP. Tapi Mulyana tahu bagaimana rasanya sakit hati ketika ibunya dijadikan bahan pergunjingan karena kerap berganti suami. Leli, demikian nama ibu kandung Mulyana. Dia seolah menganggap remeh sebuah rumah tangga. Sedikit tidak cocok langsung minta cerai. Sedikit salah faham langsung minta pisah. Kata cerai begitu mudahnya terlontar dari mulut wanita itu. Jika tidak segera dijatuhi talak, maka tingkahnya semakin ngelunjak. Jika sudah demikian, laki-laki mana yang tahan. Ujung-ujungnya para mantan suaminya pun dengan terpaksa menjatuhkan talak.

Mulyana yang taat dan rajin belajar agama kerap memperingatkan ibunya agar jangan terburu-buru meminta cerai jika ada masalah. Lebih baik diselesaikan dari hati ke hati. Kepada sang ibu Mulyana katakan bahwa Tuhan itu menghalalkan perceraian, tapi Tuhan pun membencinya. Cerai hanyalah jalan terakhir dari permasalahan yang sudah sangat rumit, bukan masalah remeh- temeh yang biasa terjadi dalam rumah tangga. Nasihat dari anaknya itu tak didengar oleh Leli. Leli lebih memilih mengikuti kata hati dan emosinya. Jika sekali tidak setuju ya sudah selamanya tidak setuju. Dia tetap selalu ingin bercerai.

“Halah…. sudah  jangan ceramahi ibu terus! Ibu bercerai pun tak akan membuat bapak tirimu mengelurkan biaya. Kita kan cuma kawin siri.” Begitu jawab Leli jika Mulyana menasihatinya.

Ya, delapan kali menikah, delapan kali pula Leli nikah siri. Baginya nikah siri adalah sebuah kemudahan. Jika ingin pisah tak usahlah mengurus ini-itunya. Cukup dengan kata talak, maka selesailah urusan. Tapi bagi Mulyana bukan masalah mudahnya bercerai tatkala ibunya memilih nikah siri dengan setiap lelaki, melainkan kesungguhan niat dari ibunya dari awal pertama menikah. Apakah ketika ibunya menikah dia sudah berniat bercerai jika di kemudian hari dalam rumah tangganya terjadi masalah? Jika memang begitu, maka bagi Mulyana lebih baik ibunya tak menikah lagi saja. Cukuplah saja dengan pernikahan pertamanya bersama Mansyur, ayah dari Mulyana yang telah lama tiada.

“Kenalkan ini Pak Hamid, Mul! Calon bapakmu?” Ucap Leli pada satu waktu.

Mulyana yang sopan menganggukkan kepala. Dia pun mengulurkan tangannya kepada lelaki bermur 60 tahunan itu. “Saya Mulyana, anak semata wayang ibu.” Ucapnya.

“Saya sudah tahu tentangmu, nak! Ibumu banyak cerita. Semoga kamu bisa menerima bapak sebagai bapakmu.” Pak Hamid tersenyum, wajahnya penuh harap. Dia berharap agar Mulyana bisa menerima dia sebagai calon bapaknya.

“Jika ibu telah mantap dengan pilihannya, saya tidak bisa melarang. Semoga bapak bisa menjadi imam yang baik buat ibu saya dan menerima keberadaan kami yang seperti ini.”

“Tentu saja, Nak! Bapak akan menyayangi kalian. Apalagi bapak sudah tua, sudah lama juga pensiun dan sudah ditinggal istri sejak sepuluh tahun lalu. Bapak ingin ada yang mengurus di hari-hari tua bapak.”

“Bapak punya berapa orang anak?” Mulyana merasa penasaran.

”Bapak punya enam orang anak, yang lima sudah pada punya jodoh merantau jauh. Tinggal yang bungsu yang masih kuliah di Yogyakarta dan sangat jarang pulang. Makanya itu bapak ingin punya istri lagi biar tidak sepi di rumah.” Terang Pak Hamid, lelaki yang diketahui sebagai pensiunan kepala sekolah dan pengusaha sukses di desanya.

Percakapan antara Mulyana dan Pak Hamid tak berlangsung lama. Pak Hamid buru-buru pamit pulang karena ada suatu urusan.

“Apa ibu serius akan menikah dengan lelaki setua itu, ibu kan masih cukup muda?” Tanya Mulyana kepada ibunya setelah Pak Hamid pulang.

“Tentu saja. Dia punya gaji pensiun yang bisa menyambung hidup ibu secara berkelanjutan. Beda dengan suami ibu yang dulu yang tidak punya penghasilan tetap. Masalah umur itu nomor sekian.”

“ Kalu menurut Mul lebih baik ibu menikah resmi saja. Jangan nikah siri lagi!”

“Kenapa? Ibu tetap tidak ingin ribet dalam ikatan pernikahan. Toh itu kan sah juga secara agama?”

“Bukan apa-apa, bu! Tapi Mul takut kalau ibu bercerai lagi. Mul malu sama tetangga kalau Mul harus gonta-ganti bapak terus. Mul ingin pernikahan ibu adalah yang terakhir, jangan mudah meminta cerai. Lagian juga Pak Hamid terlihat sangat baik.”

“Yang nikah kan ibu, jadi kamu gak usah banyak ngasih aturan ke ibu. Harusnya kamu bersyukur sebentar lagi akan punya bapak yang punya gaji pensiun dan kita akan menempati rumah yang bagus.”

Mendengar perkataan ibunya Mulyana tidak mampu menimpali lagi. Dia sangat menjaga perdebatan dengan ibunya. Satu-satunya cara yang bisa Mulyana lakukan hanyalah berdo’a semoga rumah tangga ibunya dengan Pak Hamid benar-benar langgeng.

Hari berputar begitu cepat. Leli dan Pak Hamid resmi menjadi suami istri. Mereka menikah di bawah tangan. Bukan atas kemauan Pak Hamid nikah siri seperti itu, tapi Leli lah yang mendesak. Berulang kali Pak Hamid menjelaskan bahwa nikah siri itu banyak kekurangannya, tapi Leli bersikukuh dengan pendiriannya. Leli benar-benar tidak ingin terikat oleh aturan pernikahan yang rumit jika kelak dia merasa tidak cocok dengan Pak Hamid dan kemudian meminta pisah. Di otak Leli rupanya jalan keluar dari setiap permasalah sebuah rumah tangga adalah sebuah perpisahan. “Buat apa-apa pusing-pusing mikiran ini-itu , tinggal minta cerai maka kelarlah urusan. Itulah enaknya kawin siri.” Begitu fikir Leli.

Tiga bulan setelah pernikahan, Leli diketahui hamil. Rupanya Tuhan masih memberi kepercayaan kepada Pak Hamid untuk menjadi seorang ayah sekalipun usianya sudah lebih dari setengah abad. Pak Hamid begitu bahagia, demikian juga Leli. Dan setelah  menanti kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah seorang bayi cantik yang diberi nama Zahra. Zahra tumbuh menjadi gadis cilik kesayangan Leli dan Pak Hamid. Sejak kehadiran Zahra rumah tangga Leli dan Pak Hamid terlihat semakin harmonis. Mulyana pun bersyukur akhirnya ibunya bisa menjalani rumah tangga dengan baik. Namun sayang, sejak kelahiran Zahra, anak-anak Pak Hamid dari pernikahan yang dulu belum pernah sekalipun datang menengok adik barunya itu. Jika ingin bertemu bapaknya, anak-anak Pak Hamid selalu meminta bapaknya yang berkunjung ke rumah mereka tentunya tanpa membawa Leli dan Zahra. Entah mengapa hal itu terjadi, Mulyana dan Leli pun tak tahu jawabnya. Mulyana yang semakin dewasa cuma bersangka baik saja mungkin anak-anaknya Pak Hamid itu orang-orang sibuk, jadi tidak pernah punya waktu untuk mengunjungi bapak dan keluarga barunya di sini.

Kringggg….suara telepon berbunyi.

“Hallo…ini dengan siapa?” Tanya Mulyana.

“Bapak ada?” Orang di ujung telepon itu balik bertanya.

“Bapak sedang keluar sama ibu. Maaf ini dengan siapa? Kalau ada pesan buat bapak biar saya sampaikan.”

“Bilang saja sama bapak kalau saya Ruslan anaknya yang tugas di Aceh menelepon.”

“Oh..Mas Ruslan, apa kabar mas?”

“Baik…kamu anak dari istrinya bapak ya? Siapa namamu?”

“Saya Mulyana. Salam kenal. Oh..ya kapan mau main ke sini? Bapak sekarang punya anak perempuan cantik.”

“Dari dulu saya tahu. Katanya bapak sangat manjain dia. Siapa nama adikmu itu?”

“Zahra…dia adik yang lucu. Terus kapan Mas Ruslan nengok adik Zahra?”

“Ah, nanti-nanti saja. Lebih baik saya ngurusin yang penting-penting dulu. Ya sudah sampaikan salamku pada bapak.”

Tuuuuttttt…..tuuuuttt….telepon kemudian mati. Ruslan menutupnya tiba-tiba. Percakapannya dengan Ruslan menyisakan rasa kurang enak di hati Mulyana. Sepertinya anak-anak Pak Hamid tidak terlalu respon dengan kehadiran Zahra. Tapi ya sudah, bisa saja itu terjadi karena Zahra memang tidak satu kandungan dengan ibu mereka. Yang paling penting bagi Mulyana adalah kasih sayang Pak Hamid kepada Zahra tidak berkurang sekalipun anak-anaknya dari pernikahannya  terdahulu kurang merestui kehadiran Zahra. Mulyana berdo’a agar Pak Hamid diberikan umur panjang dan kesehatan hingga bisa mendidik dan mengurus Zahra hingga dewasa.

“Bu, apa sebaiknya pernikahan ibu diresmikan saja secara negara. Mul lihat rumah tangga ibu dengan bapak sangat rukun. Sayang kalau statusnya cuma nikah siri. Lagi pula sekarang sudah ada Zahra. Dia harus punya kekuatan hukum sebagai anaknya bapak.” Kembali Mulyana mengingatkan ibunya akan status pernikahannya yang masih siri.

“Ngomong apa kamu ini? Semua orang juga tahu kalau Zahra itu anaknya Pak Hamid. Jadi kekutan hukum apalagi yang diperlukan. Toh ibu tidak melahirkan Zahra di luar nikah.”

“Bukan begitu bu…tapi Zahra ini punya kakak-kakak dari istri bapak yang dulu. Apa yang dimiliki bapak tidak akan diwariskan untuk Zahra seorang. Bapak sudah semakin tua. Selama masih ada bapak kehidupan Zahra terjamin. Tapi jika bapak gak ada, siapa yang menjamin hidup Zahra. Ibu tidak bekerja, aku juga masih sekolah. Zahra harus punya kekuatan hukum sebagai anaknya bapak agar dia punya jaminan buat masa depan. Dia harus mendapatkan haknya. Ibu mengerti kan maksud Mul?”

“Ah sudah…sudah…! Ibu sudah nyaman degan status nikah siri ibu.” Leli yang minim ilmu tentang aturan pernikahan tetap menolak anjuran Mulyana untuk segera meresmikan pernikahannya secara negara. Dan lagi-lagi Mulyana tak mampu berkutik, dia hanya bisa mengikuti kemauan ibunya.

Hari Minggu adalah hari yang paling menyenangkan bagi Leli dan Pak Hamid. Seperti biasa mereka akan membawa Zahra berkeliling mall dan mengajak anak emasnya itu menjajal semua arena permainan. Zahra yang sudah berumur empat tahun tampak begitu ceria. Terkadang Pak Hamid pun ikut nyebur ke kolam bola menemani putri cantiknya itu. Sedangkan Leli bertugas sebagai fotografer, mengabadikan keceriaan suami dan anaknya. Berjam-jam mereka bermain di sana, hingga akhirnya mereka menyudahinya karena Pak Hamid sudah mulai lelah.

“Bunda ayo kita pulang! Bapak  merasa capek.” Ajak Pak Hamid dengan wajah yang sedikit pucat.

“Bapak memang terlihat capek, lebih baik istirahat saja. Zahra bisa main lagi lain waktu.”

Leli dan Pak Hamid pun membawa serta Zahra pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Pak Hamid langsung masuk kamar dan tertidur.

Sudah hampir sore, namun Pak Hamid belum juga terjaga. Leli merasa heran karena tidak biasanya Pak Hamid tidur selama itu. Maka setelah menyiapkan kopi untuk suaminya, Leli pun masuk kamar dan membangunkan Pak Hamid. Namun setelah beberapa saat digugah, Pak Hamid tak juga memberi respon. Tubuhnya kaku dan dingin. Wajahnya pucat pasi. Innnalillahi…Pak Hamid telah tiada. Dia benar-benar tertidur untuk selamanya. Leli menjerit, tak kuasa menerima kenyataan yang diluar dari sangkanya. Bayangkan saja tadi siang Pak Hamid masih terlihat bugar menemani Zahra bermain, tapi ini sore nyawa suaminya itu telah melayang. Menurut dokter Pak Hamid terkena serangan jantung setelah sebelumnya melakukan aktifitas yang berlebihan. Andai Leli tahu kalau Pak Hamid punya riwayat sakit jantung, mungkin tadi siang dia akan membatasi Pak Hamid agar tidak terlalu over saat menemani Zahra bermaian. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Leli hanya bisa pasrah. Termasuk pasrah menerima kenyataan kalau Zahra harus menjadi yatim di saat balita, percis dengan apa yang dirasakan Mulyana dulu.

Empat puluh hari setelah kepergian Pak Hamid, Ruslan beserta kelima saudaranya yang lain untuk pertama kalinya mengajak Leli, Mulyana, dan Zahra untuk berkumpul.

“Begini Bu Leli, maksud kami berenam mengadakan kumpulan ini karena ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan.” Ucap Ruslan mengawali pembicaraan.

“Silahkan bicara saja saya dan anak-anak akan mendengarkan dengan baik.” Timpal Leli seraya memangku Zahra yang sudah mulai terkantuk-kantuk. Akhirnya anak kecil itu pun terlelap di pangkuan ibunya.

“Saya Ruslan sebagai anak sulung bapak mewakili kelima adik saya yakni Masdawati, Irma, Yusuf, Eka dan yang paling kecil Radit, menyampaikan terima kasih karena selama bertahun-tahun Bu Leli telah mengurus dan menemani bapak kami. Tentunya kami sangat bahagia dengan kehadiran Bu Leli di tengah-tengah keluarga kami.”

“Mengurus dan menemani bapak adalah kewajiban saya sebagai seorang istri.”

“Iya saya paham, bu! Tapi sebagai anak-anak bapak yang sangat jarang sekali pulang untuk menjenguk bapak kami merasa berhutang budi pada Bu Leli. Oleh karena itu kami ingin memberikan sedikit tanda terima kasih buat Bu Leli. Ambilah!” Ruslan menyodorkan sebuah amplop besar kepada Leli.

“Apa ini?” Leli kebingungan, dia tidak mengerti akan maksud Ruslan.

“Ini uang sebesar lima puluh juta. Ibu Leli bisa mempergunakannya buat modal hidup Bu Leli bersama anak-anak. Mungkin Bu Leli bisa menjadikannya modal berdagang atau usaha lainnya. Mudah-mudahan usaha Bu Leli lancar dan sukses dan bisa membiayai kehidupan Zahra sebagai adik terkecil kami.”

Leli terdiam. Apa yang dimaksudkan Ruslan sungguh dia tidak faham. Sementara Mulyana yang seolah sudah bisa menebak maksud Ruslan hanya bisa terdiam. Dia rasanya tidak punya hak apapun untuk berbicara. Posisinya di sana hanya sebagai anak tiri yang selama ini numpang hidup pada Pak Hamid sang ayah tiri.

“Bagaimana Bu Leli apa ibu sudah mengerti maksud saya?” Tanya Ruslan. Leli menggeleng.

“Begini, bu! Selama ini ibu kan tinggal di rumah bapak. Karena sekarang bapak sudah tidak ada maka rumah warisan ini akan kami jual saja. Toh kami tidak tinggal di sini lagi. Tidak hanya itu semua aset yang bapak tinggalkan akan kami jual kemudian dibagi rata kepada semua anak-anaknya bapak. Tapi mohon maaf bu…untuk adik Zahra kami tidak memasukannya kepada ahli waris dari harta bapak. Sebagai gantinya kami memberikan uang yang lima puluh juta ini.” Jelas Ruslan, sebuah penjelasan yang membuat Leli kaget.

“Kok Zahra tidak dimasukan kepada ahli waris, kenapa?”  Tanya Leli sedikit heran dan juga kesal.

“Maaf Bu Leli, Zahra memang anak kandung bapak. Tapi pernikahan Bu Leli dan bapak hanya terjadi secara siri. Zahra tidak punya kekuatan hukum apapun untuk mendapat waris dari bapak. Kecuali bapak memberi wasiat atas hartanya untuk Zahra. Tapi selama ini bapak tidak memberi wasiat apapun untuk Zahra. Tapi karena kami masih berbaik hati, maka sebagai kakak-kakaknya kami ingin memberikan hadiah berupa modal usaha untuk masa depan Zahra. Tolong diterima.!”

Leli tak mampu melawan perkataan Ruslan. Apa yang disarankan Mulyana tempo lalu agar dia segera meresmikan pernikahannya secara negara memang benar adanya. Kini dia mengenyam kerugiannya. Zahra yang seharusnya mendapatkan bagian warisan yang jauh lebih besar dari sekedar uang lima puluh juta, kini harus gigit jari. Sementara kakak-kakaknya akan semakin kaya raya dengan harta warisan yang melimpah ruah.

“Mungkin setelah hari ke seratus bapak kami akan segera pasang pengumumuan di pagar rumah ini bahwa rumah ini akan dijual. Bu Leli bisa berkemas sedikit-sedikit dari sekarang. Bukankah Bu Leli masih punya rumah di kampung sana?”

“Iya, saya akan kembali menempati rumah saya di kampung.” Ucap Leli dengan nada sangat pelan.

Hari ke seratus berlalu. Leli, Mulyana dan Zahra angkat koper. Di sepanjang perjalanan Leli menyesali keputusannya untuk nikah siri. Dan jika kelak dia mendapat jodoh lagi hal itu tidak akan pernah diulangi lagi.

Sementara itu Ruslan dan adik-adiknya tertawa ria menyaksikan kepergian Leli dan kedua anaknya.

“Selamat jalan Zahra, akhirnya kamu pergi juga. Meskipun kamu balita tapi kamu penghalang besar bagi jatuhnya harta warisan bapak kepada kakak-kakakmu ini.” Ucap Ruslan di hadapan kelima adiknya.

“Ya, tadinya aku khawatir bapak akan memberikan sebagian besar hartanya untuk Zahra, mengingat dia menjadi anak emas. Tapi untungnya bapak belum sempat melakukan itu.” Timpal Eka.

“Ya kita memang beruntung.” Ucap Masdawati. Ruslan dan kelima adaiknya pun tertawa penuh suka cita.

BACA JUGA:

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan