tan-malaka-sebagai-tokoh-pendidikan

Tan Malaka; Tokoh Pendidikan yang Terlupakan

Tidak hanya sebagai bapak republik, sebagai tokoh pendidikan Tan Malaka juga terlupakan. Nasibnya memang tragis, selama hidup dibuang dan berakhir dibunuh oleh bangsanya sendiri. Bahkan setelah matipun ia coba dilenyapkan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Tidak heran jika pemikiran dan jasanya sebagai perintis sekolah yang dibangun oleh tangan rakyat pribumi sendiri sepi dari diskursus pendidikan nasional kita.

Tan Malaka, meskipun berkali-kali dilenyapkan, telah mengingatkan bahwa “dari alam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi”. Suara itu kemudian ditangkap oleh mereka yang mau menelaah sejarah bangsanya dengan jujur. Salah satu orang diantara mereka itu adalah seorang peneliti Belanda, Herry A Poeze, yang menuliskan jasa-jasanya pada republik termasuk dalam bidang pendidikan dalam bukunya Tan Malaka, gerakan kiri, Revolusi Indonesia (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 2008).

Pengalaman mengajar buruh di perkebunan Deli memberikan kesan mendalam bagi Tan. Sikap rasis, gaji tidak adil, dan kesengsaraan yang dialami buruh perkebunan, saudara sebangsanya, sangat melukai hati dan rasa keadilanya. Tan turut mempelajari dan menyimpulkan bahwa sebab rakyatnya menerima kesengsaraan terus menerus ialah tidak mampu menyusun pandangan hidup.

Rakyatnya tidak mengenal apa itu “kemerdekaan” karena mereka tidak sempat merasakan pendidikan. Mereka hanya mengerti bekerja di kebun dan penderitaannya adalah nasib hidup yang harus dijalani tanpa bisa diubah. Tidak ada yang mengenalkan rakyat apa itu kemerdekaan dan menuntunnya bagaimana mengubah nasib yang nestapa.

Pendidikan kolonial sudah tentu melarang paham kemerdekaan diajarkan. Sebab itu, Tan mengajarkan pandangan hidup sebagai bangsa dan manusia Indonesia yang merdeka kepada buruh perkebunan tersebut. Upaya Tan membuahkan hasil. Ia berhasil membuat buruh perkebunan mengenal rasa merdeka kemudian mengadakan pemogokan di perkebunan Deli. Namun Tan harus membayar perbuatannya itu dengan pembuangan dirinya.

Rasa Mardika

Pembuangan tidak menyurutkan langkah Tan untuk mengupayakan pendidikan demi kemajuan bangsanya. Upaya tersebut berlanjut saat ia bertemu dengan Semaun, pemimpin Sarekat Islam (SI) Semarang yang berhaluan kiri. Pertemuan ini melahirkan gerakan penting dalam sejarah pendidikan nasional. Mereka mendirikan SI School sebagai sekolah tandingan kolonial pada tahun 1921. Tan menyusun brosur sekolah SI Semarang dan Onderwijs ( Yayasan Massa, 1987) guna menjelaskan tujuan sekolah milik SI Semarang tersebut.

tan-malaka-sebagai-tokoh-pendidikanKonsep pendidikan Tan Malaka bertujuan untuk membangun “rasa mardika” pada rakyat disamping pengembangan akal budi. Ada tiga pokok utama yang diutarakan dalam brosur SI Semarang dan Onderwijs yaitu pendidikan kemodalan untuk alat penghidupan, pendidikan pergaulan, dan pendidikan keberpihakan

Pembekalan dunia kerja adalah fungsi pendidikan yang lazim diyakini masyarakat kita. Hal ini tentu tidak salah mengingat pendidikan berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan hidup meski tidak mutlak. Realita ini difahami oleh Tan Malaka. Rakyat harus dibekali dengan berbagai kecakapan untuk menghadapi dunia kemodalan yang tak kenal ampun dalam penuh persaingan. Kecakapan kemodalan akan memberikan cara mencari rizki untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya kelak bukan untuk memupuk kekayaan penjajah.

Kurikulum pendidikan SI School tidak berbeda jauh dengan Sekolah Belanda sebab diajarkan pula ilmu berhitung, menulis, ilmu bumi, dan bahasa asing. Ilmu-ilmu tersebut sangat berguna bagi rakyat Indonesia untuk memberikan kecakapan mengolah segala sumber daya alam buminya dengan tangannya sendiri. Hal yang membedakan dengan sekolah Belanda adalah soal penanaman rasa bangga sebagai bangsa Indonesia pada muridnya melalui sejarah gemilang nenek moyang Indonesia.

Tan memandang bahwa Indonesia dahulu dikenal sebagai bangsa yang kreatif dan sangat gemar bekerja. Tidak heran jika bangsa kita dahulu maju dalam berbagai bidang seperti pembuatan kapal yang mampu mengantarkan bangsa kita berlayar hingga benua Afrika. Namun kegemaran bekerja itu hancur saat penjajahan datang memusnahkan daya kreatif dan inisiatif bangsa melalui kerja paksa dan monopoli dagang. Sejak itu, bekerja adalah hukuman dan paksaan bukan kegemaran lagi. Watak malas dan pasif pun muncul menjadi karakter bangsa kita akibat penjajahan bukan sebab keramahan alamnya.

Penghancuran mental bangsa tersebut kemudian dikukuhkan oleh sistem pendidikan kolonial yang berorentasi mencetak buruh bagi perusahaan Belanda. Pabrik hanya membutuhkan tenaga yang sehat dan giat bekerja. Pabrik Belanda hanya memerlukan tukang tulis, tukang hitung, dan buruh yang menjalankan mesin. Sudah tentu keahlian menurut kegemaran tidak akan diberi ruang karena akan mengacaukan sistem kerja pabrik. Desakan ekonomi yang mengharuskan bekerja membunuh semangat berkarya sehingga bangsa kita hanya mengejar uang bukan lagi ilmu pengetahuan.

Pendidikan pergaulan dimaksudkan untuk memberikan hak-hak anak berupa kesukaan hidup dalam bermain. Bergaul dan bermain adalah faktor penting pembentuk kecakapan sosial. Anak belajar berdemokrasi, bertanggungjawab, serta bergotong royong dalam bermain. Mereka belajar membuat peraturan, memberikan pendapat, serta menaati keputusan yang telah mereka buat sendiri. Guru bertugas memberikan arahan dan memajukan jiwa sosial anak tersebut. Alam bermain ini akan membangun kecakapannya kelak saat memimpin rakyatnya. Tiada ruang bermain di sekolah menyebabkan anak jadi individualistis tak mampu merasakan nikmatnya berkumpul. Sifat ini membentuk watak anak yang hanya suka mencari kesenangan bagi masing-masing dirinya kelak saat dewasa.

Muara pendidikan Tan adalah membangun rasa cinta dan kewajiban kepada rakyatnya. Tan mengenalkan tanggungjawab mereka kelak sebagai kaum terpelajar harus membela rakyat dan bangsanya. Hal ini dilakukan dengan pelibatan anak terhadap kerja kasar yang dilakukan kaum kromo. Rasa empati terhadap rakyat akan terbangun melalui pelibatan kerja tersebut. Cara ini adalah kritik terhadap sekolah Belanda yang memisahkan kerja tangan dan otak. Pemisahan ini menyebabkan timbulnya rasa kebencian terhadap adat kaum kromo yang kotor dan terpaksa melakukan kerja kasar.

Konsep pendidikan Tan Malaka patut dipertimbangkan guna mengatasi berbagai persoalan bangsa. Salah satunya adalah maraknya mental korupsi dan budaya pencitraan yang jamak dilakukan politisi. Seringkali kita melihat sederet gelar akademik menghiasi nama dalam poster-poster pencalonan. Namun ironisnya, gelar-gelar tersebut tidak menunjukan sifat mulia sebagai seorang terpelajar dengan adanya korupsi. Kegiatan yang seolah merakyat hanya dilakukan untuk pencitraan karena sejatinya dalam lubuk hati politisi tersebut tidak memiliki empati sejak dini terhadap rakyatnya. Pemerintahan pun kering dari kebijakan pro rakyat.

Kita juga dibuat miris dengan jutaan sarjana setiap tahun, namun belum mampu mengatasi kemiskinan. Kita belum mampu membangun produksi teknologi tersendiri sehingga masih bergantung pada produk luar negeri. Kita juga belum mampu mengolah kekayaan alamnya sendiri sehingga masih bergantung pada teknologi dan investasi bangsa asing. Hal ini disebabkan oleh corak pendidikan kita hanya membangun mental pekerja yang hanya mengerti mencari uang.

Pendidikan belum menanamkan kegemaran mengembangkan ilmu seperti yang pernah dilakukan oleh nenek moyang kita. Tanpa kegemaran terhadap kemajuan ilmu sepanjang hayat, kita tidak akan pernah menemukan seorang Newton, Einstein, maupun Beethoven dari bangsa kita.

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan