IMG_20171013_205003_623

Berguru pada Nietzsche, Manusia “Dinamit” dari Jerman

Terbatasnya kesempatan dan dana untuk berlibur atau melanjutkan studi ke Jerman tidak menghalangi saya untuk jatuh cinta pada Jerman. Perkenalan saya dengan Deutschland tidak melalui dunia fisik, melainkan melalui dunia gagasan filsafat. Jerman tidak hanya saya kenal melalui pemain sepakbolanya yang top seperti Mesut Ozil. Jerman kini banyak saya kenal melalui produk literaturnya yang mengesankan dalam bidang filsafat, sastra dan musik. Tidak mengherankan jika bangsa ini dijuluki dengan bangsa para penyair dan pemikir serta pantas mencatumkan uber alles dalam lagu kebangsaannya.

Hati saya jatuh kagum pada Nietzsche diantara sekian banyak pemikir dan penyair Jerman. Setidaknya sosok Nietzsche memberi kesan unik dan begitu personal dalam kehidupan saya hingga saat ini. Namun kesan khusus dengan Nietzsche tidak menghilangkan kekaguman saya kepada filsuf dan penyair besar Jerman lainnya. Jerman memiliki tradisi pemikir yang hebat, itulah alasanku menyukai Jerman.

            Pertemuan saya dengan Nietzsche bermula saat wacana filsafat mulai cukup populer di kalangan kami, mahasiswa semester tiga di salah satu perguruan tinggi Surakarta. Kami beradu gagasan dan saling berlomba “memamerkan” tokoh pemikir baru yang telah dipelajari. Kemenangan dan kesenangan kami muncul saat berhasil membawakan satu tokoh filsuf baru berikut pemikirannya yang masih asing di telinga teman kami ke meja diskusi. Dari situlah nama Nietzsche muncul dari temanku. Gagasannya begitu memikat. Saat itu kami mendiskusikannya baru sebatas untuk ajang “keren” intelektualitas, belum sampai kepada pengambilan sikap hidup berikut konsekuensinya.

            Tak lama setelah mendengar nama Nietzsche, saya menyisihkan uang saku untuk membeli buku Sabda Zarathustra. Semula saya mengira buku bergambar sampul pengarangnya ini layaknya buku filsafat lainnya dengan gaya ilmiah dan terstruktur. Namun, sungguh tidak terduga karya ini ditulis dengan gaya aforisme, bukan menggunakan paragraf yang berisi logika sistematis dan ketat. Sebagai seorang yang menggeluti dunia sastra, gaya aforisme membuat saya semakin tertarik mengikuti kisah pengembaraan Zarathustra.

Teka-teki aforisme menantang pikiran saya untuk memecahkan maknanya. Menit demi menit saya tenggelam, mengupas dan mengunyah setiap kalimat-kalimat yang seolah-olah kontradiksi dengan segala pembalikan makna-makna yang telah mapan. Setiap makna baru yang saya peroleh dari perkataan Zarathustra adalah kebahagiaan yang tak kalah memuaskan dengan menjajal kuliner Jerman atau berlibur ke Neuschwanstein.

Berawal dari ajang pamer intelektualitas, gagasan Nietzsche perlahan menjadi penghayatan hidup. Hal itulah yang saya alami. Teman saya pun juga mulai merasakan kata-kata Nietzsche. Namun saya tidak mengetahui kisah hidup mereka lebih lanjut dengan gagasan filsafat Nietzsche setelah kami berpisah dari perguruan tinggi. Saya hanya akan mengisahkan momen krisis saya yang tertolong oleh pemilik gagasan ubermesch.

Nihilisme dan Kekacauan Dibutuhkan Agar Manusia Berkembang

Bukankah untuk mengisi gelas, kau harus mengkosongkannya terlebih dahulu ~Nietzsche Quotes

Manusia harus mengikhlaskan sesuatu agar ia bisa berkembang lebih sempurna. Manusia harus membebaskan diri dari segala hal agar mampu menciptakan dan menjalani hidupnya secara orisinal. Nihilisme adalah suatu ajaran skeptisme radikal menolak segala warisan nilai, pengetahuan, moral yang telah mapan agar manusia bebas untuk berkreasi. Melalui nihilisme, manusia mampu menciptan ide dan hidup baru, bukan mengulangi cara berpikir dan hidup yang direproduksi berabad-abad.

Nihilisme membuat kita berani berpikir kritis. Nihilisme juga berpengaruh besar pada kelahiran konsep falsifikasi dalam teori Karl Popper yang sangat terkenal di abad 21. Tanpa falsifikasi atau kritik maupun penghancuran terhadap ilmu dan budaya mapan, maka tidak akan terlahir sebuah budaya baru. Tanpa nihilisme kebudayaan akan berhenti berkembang dan dunia akan tamat.

            Nihilisme, bagi sebagian orang, akan terkesan sebuah ancaman sebab mengguncang tradisi yang telah mapan. Kehadiran nihilisme mengundang kekacauan sehingga membuat orang merasa terganggu. Padahal menurut tafsir mitologi Prometheus oleh Arnold Toynbee[1], kekacauan selalu ada saat datang perubahan kreatif yang mendorong kemajuan. Tanpa kekacauan, tidak akan lahir kemajuan dan kehidupan akan menjadi statis. Sebab itu, Nietzsche mengatakan bahwa seseorang harus memiliki kekacauan dalam dirinya.

            Secara pribadi, saya sebelumnya merasa tidak nyaman akan perubahan. Saya kecanduan terhadap stabilitas. Hal ini bersebrangan dengan realitas yang dinamis terkadang membuat saya terheran. Saya tidak percaya bahwa kesetiaan kekasih saya bisa luntur. Saya tidak percaya bahwa dedikasi saya terhadap organisasi tidak berbalas kebaikan. Saya tidak percaya jika kerja keras bisa membuahkan hal yang sia-sia. Sikap ini membuat hidup saya terpuruk selama 3 tahun.

            Saya mendambakan kedamaian, namu realita hidup adalah chaos. Hal inilah yang ditegaskan oleh Nietzschie. Saya pun bisa menerima realita hidup yang serba chaos melalui penjelasan bahwa kekacauan diperlukan agar kita dapat menjadi manusia yang berkembang. Kedamaian baru bisa kita peroleh dengan memenangkan setiap tantangan yang datang dari sifat kehidupan yang dinamis.

            Saya mulai melepaskan hal-hal yang saya percayai sebelumnya. Saya juga mengkontrol kecanduan saya terhadap stabilitas. Selama masa mengubah diri, saya sangat tidak nyaman. Namun, praktik paham nihilisme ini harus tetap saya jalankan agar saya dapat terlahir kembali menjadi pribadi baru. Saya harus keluar dari perangkap roda karma masa lalu. Saya pun akhirnya dapat melihat harapan hidup di tahun 2020 ini. Kita harus menggemari kekacauan. Jika tidak? Bagaimana Indonesia bisa merdeka jika pejuang dan rakyatnya tidak bersemangat menyambut kekacauan saat perang mengusir penjajah? 

Dunia Tidak Akan Selalu Mencintaimu, Maka Jadilah yang Terkuat

            Sebelumnya, saya sangat naif memandang dunia adalah tempat orang baik-baik. Saya hampir tidak percaya ada orang jahat sebelum akhirnya saya mengalami sikap semena-mena dari rekan organisasi. Saya sudah berusaha menjadi orang baik dan melakukan hal yang benar, namun saya hanya semakin mendapatkan intimidasi dan permusuhan. Rasa persahabatan yang saya berikan seolah tak ada arti dengan sikap-sikap kasar serta intrik yang membuat hidup saya tertekan.

            Kepercayaan saya bahwa semua orang adalah baik semakin membuat saya tersiksa. Siksaan itu datang dari berita yang menayangkan pembunuhan, peperangan dan kejahatan lainnya. Bahkan orang terdekat menjadi pelaku utama kekerasan menegaskan bahwa dunia tidak aman. Sulit sekali menerima realitas tersebut.

            Realitas hidup dan pengalaman pahit berpadu dengan nasib ekonomi yang tidak baik membuat saya putus kuliah. Saya mendapatkan pekerjaan yang sangat menguras waktu, fisik dan semangat hidup. Saya merasa sangat lelah, padahal hasil pekerjaan belum cukup untuk membiayai rencana melanjutkan kuliah. Disitulah saya merasa menjadi orang bernasib malang di dunia.

            Saat rasa putus asa melanda, saya teringat sudah lama sekali tidak mengisi otak dengan buku-buku. Saya putuskan untuk kembali membaca Sabda Zarathustra. Saya kembali kepada Zarathustra bukan sebagai pemuda yang memamerkan gengsi intelektual. Saya datang sebagai orang dengan kesungguhan hati dan haus akan petunjuk.

            Saya mendapatkan dasar-dasar pandangan hidup yang baru untuk menghadapi keadaan saya. Gagasan yang begitu menguatkan saya adalah vitalisme Nietzsche dan kecintaan terhadap nasib (amor fati). Vitalisme berarti semangat menjalani hidup sebab hidup sangat berharga. Penghargaan terhadap hidup tercetuskan dalam perkataan Nietzsche “Amor fati, love your fate, which is in fact your life”. Nietzsche mengatakan bahwa amor fati adalah formula besar yang ia persiapkan kepada manusia.

            Kecintaan takdir yang dimaksudkan oleh Nietzsche bukanlah kepasrahan menerima takdir tanpa syarat. Amor fati berarti menyambut takdir yang datang serta menghadapinya dengan penuh gairah walau sangat buruk sekalipun takdir tersebut. Nietzsche mengajak kita menerima hidup yang penuh ancaman dan bahaya dengan mengerahkan seluruh energi kreatif kita. Gagasan yang sangat indah bagi saya sebab amor fati dari konsep pemikiran Nietzsche memadukan antara menerima dan memberontak kepada takdir secara bersamaan.

            Saya pun berpikir, bagaimana jadinya jika orang tak mampu mencintai takdirnya. Kita bisa bayangkan hidup seorang penderes yang setiap hari dipaksa 100 pohon kelapa untuk bertahan hidup. Penderes sering kusaksikan terpaksa memanjat pohon walau hujan angin maupun terik matahari. Beban mereka tidak hanya terhenti disitu, harga gula merah di pasar yang seringkali tidak menguntungkan membuat kerja mereka hingga berdarah-darah tidak ada artinya. Mereka tidak memiliki pilihan hidup lain. Jika mereka tidak ada kesadaran akan penerimaan hidupnya, maka dapat dipastikan mereka lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya sekarang juga daripada harus hidup sengsara puluhan tahun.

            Saya juga menyaksikan seorang kakek desa hidup sebatang kara. Pekerjaan setiap harinya adalah mencari daun talas untuk dijual ke peternak ikan. Kakek kurang menjadi objek simpati oleh warga sebab dianggap hanya menyusahkan karena sering meminta uang. Maka ia harus berjalan ke atas bukit mencari daunt alas lalu menjualnya ke peternak ikan yang lokasinya sangat jauh di bawah. Ia harus berjalan kaki naik dan turun bukit untuk mendapatkan beberapa ribu rupiah. Hidupnya sungguh tragis susah dan kesepian. Saya pun menjadi malu mengeluh kepada nasib.

            Hidup memang kejam (chaos). Namun banyak orang yang tidak bisa menerimanya, khususnya pemuda saat ini. Kita dapat membaca berita dimana banyak pelaku bunuh diri berasal dari anak muda. Mereka merasa hidupnya tidak berharga dan tidak mendapat empati lingkungan sekitar untuk menolongnya. Kasus saya pun seperti itu, namun beruntung saya teringat pada Nietzsche. Jika tidak, mungkin saya menjadi penyumbang angka pemuda depresi berat Indonesia.

            Saya sepakat dengan vitalisme sebab pada akhirnya yang menentukan ketahanan hidup manusia adalah roh atau spiritnya. Selama masih ada kehendak yang meluap dalam dada, walau tubuh merapuh dan dunia membenci, kita akan mampu melaluinya. Sebab itu, kita harus menumbuhkan roh dan kehendak kita jika mau menang dalam kehidupan ini.

            Nietzsche melalui amor fati telah menyelamatkan hidup saya. Hidup saya menjadi lebih menyenangkan dengan landasan filsafat vitalismenya. Saya ingin suatu saat bisa berkunjung ke kuburannya untuk mengucapkan terimakasih. Saya ingin meresapi hidupnya yang tersimpan oleh tembok rumahnya maupun lokasi-lokasi yang pernah disinggahinya di Jerman.


[1] Arnold Toynbee, Sejarah Jejak Peradaban Manusia, Penerbit  Nusa Media, Bandung : 2015.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan